Wednesday, January 31, 2024

Biarlah saya menjadi diri saya sendiri

Mencoba menuliskan apa yang saya rasakan dan pikirkan hasil perbincangan dengan istri saya tadi pagi.

Biarkanlah Saya Tetap Menjadi Diri Saya: Sebuah Refleksi Tentang Kejujuran dan Kemandirian


Dalam putaran roda kehidupan yang seringkali tidak terduga, mungkin tak ada yang lebih berharga dari keberanian untuk tetap menjadi diri sendiri. Kehidupan yang penuh warna ini terkadang memaksa kita untuk mengikuti arus yang tidak selalu sejalan dengan prinsip dan keyakinan kita. Tapi, mari teguhkan dalam hati untuk selalu mempertahankan esensi diri, dengan segala apa adanya.


Tak perlu malu atau ragu akan keunikan yang kita miliki. Keunikan itulah yang menandai keberadaan kita dalam kerumunan. Seperti kata pepatah, "Pada akhirnya, orang-orang akan lupa apa yang kamu katakan, akan lupa apa yang kamu lakukan, tapi orang-orang tidak akan pernah lupa bagaimana perasaan yang kamu berikan kepada mereka." Kejujuran dan ketulusan itulah yang menjadi ruh dari setiap interaksi yang berkesan.


Mengapa harus jujur dan berterus terang? Karena dalam kejujuran terdapat ketenangan hati dan pikiran. Kebohongan, walau sekecil apa pun, akan membebani hati dengan tatapan yang tidak tulus dan senyum yang terpaksa. Kejujuran adalah keberanian untuk menerima kenyataan dan keterbukaan untuk berbagi realitas kita dengan dunia luar.


Namun, kejujuran juga memerlukan keberanian lainnya: keberanian untuk mengikuti jalan yang Allah SWT tunjukkan. Dalam setiap langkah kita, kepercayaan terhadap rencana Ilahi menjadi penting. Bahwa kita harus meyakini, apa yang telah digariskan Allah itu pasti yang terbaik bagi kita. Serahkan segala galau dan bimbang kepadaNya, karena di tanganNya lah kita akan menemukan kedamaian dan petunjuk yang hakiki.


Dalam kemandirian, kita menemukan kekuatan. Bergantung kepada manusia lain bisa jadi sebuah keharusan dalam interaksi sosial, namun dalam esensi yang lebih dalam, kemandirian adalah bijaksana. Menjadi individu yang mandiri bukan berarti menolak untuk bekerja sama atau membantu sesama, tapi lebih kepada kemampuan untuk berdiri di atas kaki sendiri, mengambil keputusan sendiri, dan memikul tanggung jawab atas pilihan tersebut tanpa terlalu bergantung pada orang lain.


Kemandirian adalah proses belajar untuk percaya kepada kemampuan diri. Tidak mudah memang, karena manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan yang lain. Tapi, dalam setiap kerumunan, tiap individu harus bisa menemukan suaranya sendiri, bukan sekadar merujuk pada suara mayoritas. Menemukan suara itu butuh waktu, dan kemandirian memberi kita ruang untuk mengenal diri sendiri lebih dalam.


Berkaca pada pengalaman, bukankah banyak dari kita yang akhirnya menemukan kekuatan terbesar saat kita tidak memiliki siapa-siapa kecuali Allah dan diri sendiri? Saat kita jatuh, dan tak ada tangan lain yang mengulur, saat itulah kita belajar untuk bangkit. Saat kita berjalan dalam kesendirian, dan tak seorang pun yang mengiringi, saat itulah kita belajar untuk berhati-hati dalam setiap langkah.


Tidak selalu mudah untuk menjadi diri kita yang sebenarnya, untuk terus jujur dan mandiri dalam setiap kondisi. Akan tetapi, yakinlah bahwa di setiap kesulitan itu ada kemudahan. Allah SWT tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan kita. Percayalah bahwa setiap ujian adalah asah, asih, dan asuh dariNya agar kita terus tumbuh dan berkembang menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.


Maka, biarlah kita tetap menjadi diri kita yang sebenarnya, dengan semua kekurangan dan kelebihan sebagai manusia biasa. Tetaplah berusaha jujur dan berterus terang dengan apa adanya. Teruslah percaya pada jalan yang Allah telah tunjukkan dengan kepasrahan yang tulus. Ketika kita melangkah dengan penuh keyakinan, Inshaa Allah, kita akan menemukan bahwa esensi dari hidup adalah bukan hanya untuk dijalani, tetapi untuk dihargai sebagai anugerah terindah yang tak ternilai.


Catatan Mas Bojreng


#myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng

Tuesday, January 30, 2024

Kepalsuan atau kepura puraan?

Pada suatu masa didalam kehidupan saya, dimana senyum ya senyum, marah ya marah, ketika kemunafikan tidak ada pada saat itu. Kalau suka ya langsung bilang suka, kalau tidak suka ya bilang tidak suka.

Kalau ada yang macem macem ya biasanya tiba tiba bisa ada perkelahian langsung, habis berkelahi selesai. 

Dimana tidak ada kepura puraan dan tidak ada kepalsuan.

Dan sekarang sampai lah saya dimasa dimana banyak sekali kepura puraan dan kepalsuan. Ah entah lah.


Kepalsuan dan Kepura-puraan: Antara Dua Wajah


Kita hidup dalam dunia di mana kadang-kadang apa yang terlihat di permukaan tidak mencerminkan kebenaran di dalam hati seseorang. Kepalsuan dan kepura-puraan menjadi dua realitas yang seringkali kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Dalam banyak kasus, apa yang kita lihat di wajah seseorang mungkin saja hanya sebuah tirai yang menyembunyikan perasaan yang sebenarnya di dalam hatinya.


Di era media sosial dan tuntutan untuk mempertahankan citra yang sempurna, fenomena ini semakin menonjol. Orang-orang seringkali terjebak dalam menciptakan gambaran palsu tentang kebahagiaan, keberhasilan, dan kehidupan yang sempurna. Mereka menampilkan versi diri yang diromantisasi, yang terkadang sangat jauh dari keadaan sebenarnya. Dibalik senyum manis dan foto-foto penuh kebahagiaan, mungkin ada kecemasan, kesedihan, atau bahkan keputusasaan yang tersembunyi.


Pandangan Islam terhadap kepalsuan dan kepura-puraan ini sangat jelas. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT menegaskan pentingnya kejujuran dan integritas. Firman-Nya dalam surah Al-Baqarah (2:42) menyatakan, "Dan janganlah kamu campurkan yang benar dengan yang bathil, dan janganlah kamu sembunyikan yang benar itu, sedang kamu mengetahui."


Islam menekankan bahwa kejujuran harus terpancar dari dalam hati dan tercermin dalam tindakan serta perkataan seseorang. Tidak hanya berbicara tentang kejujuran di hadapan orang lain, tetapi juga jujur kepada diri sendiri dan terutama kepada Allah SWT. Kepalsuan dan kepura-puraan dianggap sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai etika Islam.


Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, "Empat sifat yang, jika ada pada seseorang, maka dia adalah seorang munafik murni, dan barangsiapa yang memiliki satu sifat dari keempat sifat ini, maka dia memiliki sifat munafik sampai dia meninggalkannya: jika dia dipercayai, dia berkhianat; jika dia berbicara, dia berdusta; jika dia berjanji, dia ingkar; dan jika dia bertengkar, dia menjadi kasar." (Sahih Bukhari)


Hal ini menggambarkan betapa seriusnya Islam dalam melarang tindakan kepura-puraan dan kepalsuan. Menjadi jujur dan tulus dalam segala aspek kehidupan adalah tuntutan agama yang harus dipegang teguh oleh setiap Muslim.


Dalam perspektif Islam, setiap perbuatan baik atau buruk yang dilakukan oleh seseorang akan dihitung dan diperhitungkan pada hari kiamat. Oleh karena itu, menyembunyikan kebenaran atau bersikap palsu tidak hanya merugikan orang lain tetapi juga diri sendiri di akhirat kelak.


Namun, Islam juga memberikan pemahaman yang mendalam tentang manusia dan fitrahnya. Kadang-kadang, kepalsuan dan kepura-puraan muncul karena tekanan sosial atau ketidakmampuan seseorang untuk mengungkapkan perasaannya dengan jujur. Islam mendorong umatnya untuk saling membantu dan memahami, menciptakan lingkungan di mana seseorang dapat merasa aman untuk menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi.


Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya melihat kebaikan pada setiap individu dan memberikan nasihat dengan penuh kasih sayang. Ini menciptakan budaya tolong-menolong dan mengurangi tekanan untuk menyembunyikan kelemahan atau kesalahan. Dalam Islam, mendukung satu sama lain untuk menjadi pribadi yang lebih baik di mata Allah lebih dihargai daripada menciptakan citra palsu yang tidak nyata.


Sebagai umat Muslim, kita diajarkan untuk berusaha menjadi lebih jujur dan tulus dalam setiap aspek kehidupan kita. Mengakui kelemahan dan kesalahan kita bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah pertama menuju kebaikan dan perbaikan diri. Dengan memahami bahwa kejujuran membawa keberkahan dan kebahagiaan, kita dapat melepaskan diri dari jerat kepalsuan dan kepura-puraan, menuju jalan yang benar di mata Allah SWT.


Tetaplah berusaha menjadi diri sendiri, be genuine,be sincere, be apa adanya.


Akhirnya semua akan tersingkap dan terungkap.

Saya hanyalah manusia biasa yang dalam diamnya juga mempunyai pikiran dan perasaan. Biarlah saya menghindar dan menjauh dari semua kepura puraan dan kepalsuan yang ada.


Catatan Mas Bojreng, ketika melihat suatu kepalsuan yang terbuka


Ketika saya menulis ini sedang dalam keadaan emosi yang labil


Astaghfirullahaladzim

Astaghfirullahaladzim

Astaghfirullahaladzim


#myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng

Monday, January 29, 2024

Hampa....

Ketika Hampa Menggema di Hati

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang semakin merajalela dengan berbagai aktivitasnya, tak jarang kita dihadapkan pada kekosongan yang amat dalam. Kehampaan ini bisa muncul tanpa dibarengi dengan penurunan materi atau kehilangan fisik. Ia datang begitu saja, mendadak, seolah mengingatkan bahwa ada sesuatu yang krusial, namun tak terdefinisikan, yang hilang dari genggaman jiwa.


Hampa di hati bagaikan angin yang menerpa dari arah yang tidak diketahui. Tidak terlihat, namun kehadirannya mendesak. Ketika rasa ini menghampiri, segala yang biasanya menjadi sumber sukacita seakan kehilangan warna. Tawa terdengar hambar, talk semangat kokoh rapuh, dan apa yang biasanya mengalir mudah menjadi begitu berat.


Di saat hati diselimuti hampa, lidah pun secara tidak sadar menjadi gemar melafadzkan istighfar, memohon ampun atas ketidakmampuan jiwa untuk senantiasa merasakan kedekatan dengan Sang Pencipta. Istighfar menjadi penanda sebuah pencarian, upaya untuk kembali kepada keadaan asal di mana hati ini bersih, jernih, tidak ternoda oleh rasa hampa yang mencengkeram.


Mengapa kita beristighfar? Istighfar bukan hanya tentang memohon ampun atas dosa-dosa yang telah lakukan. Lebih dari itu, istighfar adalah ungkapan kerinduan jiwa yang mendamba untuk kembali pada fitrahnya, kondisi di mana ia selaras dan sejalan dengan tuntunan-Nya. Setiap kalimat 'Astaghfirullah' yang terucap adalah langkah mendekati hakikat diri sejati — jiwa yang tenang dalam dekapan kasih Ilahi.


Dalam keheningan, ketika kesibukan dunia terpisah sejenak, kita menyadari bahwa rasa hampa tersebut bisa jadi adalah isyarat untuk introspeksi, untuk mendalami diri sendiri. Adakah kita telah mengabaikan nilai-nilai rohani yang seharusnya menjadi penyokong jiwa? Ataukah kita terjebak dalam irama duniawi yang begitu cepat hingga lupa akan melodi kehidupan yang lebih tenang dan mendalam?


Mungkin, di saat itulah kita perlu menyediakan waktu untuk berdialog dengan diri sendiri, merenung tentang apa sebenarnya yang menjadi prioritas dalam hidup ini. Ketika bingkai materi tak lagi mampu mengisi kekosongan ruh, sudah saatnya kita merenungi esensi spiritualitas dalam menemukan kedamaian.


Istighfar menganjurkan kita untuk tidak hanya terpaku pada kesalahan dan kekhilafan, tetapi juga menawarkan jalan untuk mengisi kembali kehampaan yang menggelayut itu dengan penerimaan diri dan pembaharuan niat. Ia adalah semacam terapi rohani, dimana dengan mengucapkannya, kita membersihkan hati, membebaskan diri dari keterikatan yang meracuni, baik secara batiniah maupun lahiriah.


Dalam tiap bacaan istighfar, ada kesempatan untuk memulai lembaran baru, untuk mengisi kembali lubang yang terasa hampa dengan cinta dan ridha-Nya. Tak selalu mudah, tentu saja. Akan tetapi, dalam setiap upaya memperbanyak istighfar, kita menumbuhkan benih harapan; harapan untuk hati yang lebih lapang, untuk jiwa yang lebih tenang, dan untuk hidup yang lebih berarti.


Dewasa ini, sangat biasa jika rasa hampa itu hadir di dada di kala kita sepi, saat kita terpisah dari hingar-bingar dunia luar dan terbenam dalam keheningan diri sendiri. Akan tetapi, ruang hampa inilah yang dapat menjadi titik balik; sebuah kesadaran untuk mengisi kekosongan dengan kebaikan, dengan memperkaya diri dengan kedekatan kepada yang Maha Kuasa.


Mari kita melihat rasa hampa itu sebagai ruangan kosong yang memerlukan isi. Dan dengan istighfar, kita memulai proses pengisian tersebut dengan yang terbaik. Mungkin kita tak akan pernah sepenuhnya bebas dari rasa hampa — namun kita dapat belajar mengelolanya, mengisinya, dan pada akhirnya, menyelaraskannya dengan frekuensi kehidupan yang lebih harmonis dan bermakna.


Jadi, biarkan istighfar menjadi mantra yang lembut namun kuat, yang mengubah kehampaan menjadi kesempatan bagi kita untuk kembali, bersekutu kembali dengan rajutan takdir, dengan rencana-Nya yang penuh misteri namun selalu dalam rangka kebaikan bagi kita semua. Di sinilah, dalam pembisikan istighfar, kita temukan kembali keluhuran rohani yang, mungkin tanpa kita sadari, selama ini terus menanti untuk dipenuhi.


Astagfirullahaladzim

Astagfirullahaladzim

Astagfirullahaladzim


Catatan Mas Bojreng di poli siang hari ini 😁😁

Ketika Istighfar harus banyak diucapkan..

Bersujud aku di hadapan Mu Ya Allah...


#myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng

Sunday, January 28, 2024

Kerja tidak berharap pujian

Kerjakan saja, jangan berharap mendapat pujian, senyum jangan lupa...

Bekerja bukan sekadar aktivitas untuk menghasilkan uang, namun merupakan ekspresi dari jiwa yang paling dalam. Sebuah perwujudan dari niat yang luhur, yang sejatinya tak hanya untuk kepentingan duniawi tetapi juga untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan batin. Ikhlas dalam bekerja, membumbui hari dengan senyum, serta melakukan tugas tanpa rasa paksaan, adalah resep sederhana untuk mendapatkan kepuasan yang nyata dalam setiap urusan, termasuk pekerjaan.


Ikhlas adalah kata yang ringan dicapai, namun berat dalam pelaksanaannya. Ikhlas berarti melayani pekerjaan seakan-akan melihat wajah-Nya, bekerja bukan karena desakan dari luar, tetapi dorongan dari dalam hati yang paling dalam. Ketika seseorang bekerja dengan ikhlas, ia tidak lagi terfokus pada apa yang bisa didapat, tetapi pada apa yang bisa diberikan. Pujian dan imbalan mungkin akan datang, tetapi bagi mereka yang ikhlas, itu hanya bonus, bukan tujuan.


Senyum adalah simbol dari energi positif, secercah harapan dalam setiap bentuk interaksi. Di tempat kerja, senyum bukan sekadar ekspresi wajah, tetapi manifestasi dari sikap yang siap untuk memberikan yang terbaik. Senyum yang tulus, yang dilandasi oleh ketulusan hati, dapat mengubah atmosfer kerja menjadi lebih hangat dan kolaboratif. Ia adalah jembatan yang menghubungkan hati dan pikiran untuk mencapai tujuan bersama.


Bekerja tanpa paksaan merupakan manifestasi dari kebebasan yang sesungguhnya. Paksaan mengubah bekerja menjadi sebuah perbudakan modern, di mana semangat dan inisiatif terkubur oleh beban yang terasa tidak lagi milik kita. Sebaliknya, bekerja dengan kesadaran penuh akan tanggung jawab, tanpa terbebani oleh paksaan, menjadikan pekerjaan sebagai panggilan jiwa yang merdeka, di mana setiap detail pekerjaan menjadi bentuk pengabdian yang hakiki.


Namun, pekerjaan yang luhur ini dapat tercoreng oleh beberapa sikap yang harus dihindari. Pertama, janganlah bekerja dengan motivasi untuk mendapatkan pujian semata. Pujian adalah seringai palsu yang dapat melalaikan dari esensi pekerjaan itu sendiri. Kedua, janganlah menggunakan ilmu yang dimiliki untuk membohongi orang lain demi kepentingan pribadi. Pengetahuan adalah amanah yang harus dipergunakan untuk kebaikan, bukan sebagai alat manipulasi.


Ketiga, menghindari sikap sok pintar, belagu, dan sombong saat bekerja adalah penting. Kesombongan adalah awan pekat yang menyelimuti kecerdasan dan kebijaksanaan. Pekerjaan yang terbaik adalah yang lahir dari kerendahan hati, di mana seseorang terbuka terhadap pembelajaran dan berbagi pengalaman dengan rekan kerja, bukan bersaing untuk menonjolkan diri.


Dan yang paling penting, niatkan selalu pekerjaan Lillahi Ta'ala – yakni semata-mata untuk Allah. Niat yang suci inilah yang akan mengubah setiap tetes keringat yang jatuh menjadi permata yang berharga di sisi-Nya. Setiap langkah kerja akan menjadi ibadah, setiap keberhasilan menjadi syukur, dan setiap kesulitan menjadi kesabaran.


Bekerja dengan ikhlas, senyum, dan tanpa paksaan membentuk fondasi etos kerja yang kuat, di mana setiap pekerja menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari mesin yang lebih besar yang bergerak menuju kemajuan dan kebaikan bersama. Melalui pendekatan ini, seseorang tidak hanya akan merasa lebih terhubung dengan pekerjaannya, tetapi juga dengan orang-orang di sekitarnya, serta dengan nilai-nilai spiritual yang lebih mendalam.


Jadi bekerja dengan ikhlas dan tanpa paksaan, sambil senantiasa menghadirkan senyum, bukanlah sekedar perihal teknis dalam menjalankan tugas-tugas, melainkan sebuah seni hidup yang memerlukan kesadaran yang tinggi dan komitmen untuk terus menerapkan nilai-nilai ini dalam setiap aspek kehidupan. Dalam dunia yang sering kali menuntut lebih dari apa yang kita miliki, pilihlah untuk bekerja dengan hati, karena di situlah letak kebahagiaan yang hakiki.


Bekerja Secara Ikhlas, Senyum, dan Tanpa Paksaan: Jalan Menuju Kebahagiaan dan Kepuasan Hati


Mengingat, merenung dan berpikir yang kemudian dituliskan didalam gua saya

Catatan Mas Bojreng di sore hari ini...

Serbet tidak lupa sudah semampir di bahu 


#myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng

Saturday, January 27, 2024

Hanya manusia biasa bukan "Special One"

 "Saya Hanyalah Manusia Biasa"

Di medan kehidupan yang beragam ini, saya menempuh jalan sebagai seorang manusia biasa. Pada esensinya, kita semua adalah sama, ciptaan Allah SWT, yang tidak satu pun dari kita hadir tanpa cacat ataupun tanpa kesalahan. Di balik tirai kehidupan yang penuh dengan prasangka dan penghakiman, kita harus mengakui bahwa kita semua berjalan dengan keterbatasan.


Saya mungkin tampak baik di hadapan orang lain, namun hanya Allah SWT yang mengetahui isi hati dan memahami setiap makna di balik tindakan. Seperti kata Muhammad bin Wasi’ rahimahullah yang begitu menyentuh, “Seandainya dosa itu memiliki bau, maka niscaya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk duduk bersamaku.” Istilah ini menjadi semacam cermin bagi jiwa yang mengingatkan kita bahwa setiap manusia memiliki kesalahan yang, jika terlihat, akan membuat kita malu ke hadirat-Nya. Oleh karena itu, saya selalu mengenang anugerah Allah SWT yang telah menutupi aib saya, melindungi saya dari malu yang tidak terkatakan.


Sebagai seorang manusia biasa, saya diliputi oleh berbagai perasaan dan emosi. Ada hari-hari ketika saya merasa hampa dan rapuh, namun juga ada hari-hari yang dipenuhi dengan syukur atas nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Keseimbangan emosi ini mengingatkan kepada saya bahwa kehidupan ini adalah tentang pertumbuhan dan pencarian keseimbangan yang konstan antara kebahagiaan dan kesedihan, antara kemenangan dan kekalahan, serta antara harapan dan keputusasaan.


Setiap hari adalah pelajaran baru, setiap interaksi adalah kesempatan untuk belajar sabar dan pemaaf. Berdoa menjadi kekuatan yang menyejukkan jiwa, dan istighfar adalah balsam yang menyembuhkan luka spiritual. Dalam setiap tarikan nafas, saya terus mengulang-ulang permohonan ampun kepada Allah SWT, berharap Dia akan menghapuskan kesalahan dan menggantinya dengan kebaikan.


Pengajaran yang saya terima dari Al-Quran sangat mempengaruhi pandangan saya terhadap kehidupan. Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi, "Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.'" (QS Al-An'am: 162). Ayat suci ini mengingatkan saya bahwa setiap aspek kehidupan—dari ritual keagamaan hingga urusan duniawi, hingga kepada kematian itu sendiri—seharusnya dilakukan dengan niat yang lurus dan untuk mendapat ridha Allah.


Dalam memahami bahwa saya hanyalah manusia biasa, saya mendapatkan kenyataan yang membebaskan. Tidak ada tekanan untuk menjadi sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Kesalahan saya adalah peluang untuk belajar, dan setiap kegagalan adalah peluang untuk bangkit lebih kuat. Setiap tawa dan air mata adalah pengalaman yang membentuk hati dan jiwa saya, menciptakan narrasi pribadi yang unik—sebuah perjalanan dari kehidupan duniawi menuju kehidupan abadi di akhirat.


Menyadari kelemahan dan kebutuhan akan ampunan membuat hati ini selalu rendah, karena setiap manusia berbagi kebutuhan yang sama untuk belas kasihan dan cinta kasih Allah SWT. Di saat-saat terendah, doa merupakan penghubung saya dengan Pencipta, dan saat sakit atau bahagia, saya mengetahui bahwa Allah tidak pernah berjarak lebih dari sejengkal dari hati saya.


Dalam rutinitas sehari-hari, saya merenung akan tanggung jawab yang diamanahkan kepada saya. Bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk menjadi cerminan bagi sesama dan terutama untuk generasi yang akan datang. Ini bukan tentang menetapkan standar yang tidak realistis untuk kemuliaan, melainkan tentang mencapai potensi penuh sebagai manusia biasa dalam kekuasaan yang Maha Kuasa.


Menjadi manusia biasa berarti saya memiliki kebebasan untuk memilih—untuk memilih kebaikan atas kejahatan, keadilan atas ketidakadilan, dan kasih sayang atas kebencian. Pilihan ini tercermin dalam tindakan sehari-hari, dalam kata-kata yang saya ucapkan, serta dalam keheningan pikiran saya. Setiap keputusan mengukir jalur yang saya tempuh, menciptakan narasi yang sama kompleksnya dengan harapan dan doa yang menyertainya.


Melalui semua ini, gagasan bahwa saya adalah manusia biasa—dan sangat bersyukurnya saya atas fakta tersebut—isinya tak lain yang mengarahkan saya kembali kepada hakikat yang sederhana namun mendalam: Saya ada karena rahmat Allah SWT dan dalam tiap langkah hidup, di setiap momen, saya berupaya untuk memenuhi tujuan penciptaan saya dengan rendah hati, penuh rasa syukur, dan dengan ketaatan yang tulus. Hidup saya adalah narasi yang terjalin erat dengan iman, harapan, dan cinta kepada Pencipta.


Pemikiran, pengingat diri dan perenungan dini hari tadi.


Catatan Mas Bojreng


#myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng

Friday, January 26, 2024

Hai rambut, kau sudah memutih tapi belum sadar tentang kematian?

Alhamdulillah ketika saat praktek bisa sambil membaca dan menulis.

Mendapat banyak pengingat diri dari buku ini. Salah satunya adalah di stage 4 atau bab 4 buku ini yang akan saya coba tuliskan menurut pemikiran saya. Kata kata yang tertulis dibuku ini adalah.


Hai rambut, kau sudah memutih tapi belum sadar tentang kematian?


Di ambang senja kehidupan, di mana rambut mulai menua serupa dengan perak langit yang mulai redup akan cahaya, seringkali kita lupa akan hakikat akhir dari sebuah perjalanan. Rambut memutih bukan sekadar tanda usia, melainkan penanda bahwa setiap lembaran hidup bergerak mendekati titik akhirnya: kematian.


Dalam ajaran Islam, mengingat kematian bukanlah tema yang harus dihindari atau ditakuti. Sebaliknya, hal ini diajarkan sebagai bagian esensial dari kehidupan yang seharusnya meningkatkan kesadaran akan fana dan menginspirasi umat untuk hidup lebih bermakna. Menjamaknya uban di kepala merupakan salah satu peringatan alami yang seringkali diabaikan. Betapa seringnya kita asyik bermain dengan benang-benang perak di mahkota kepala tanpa menyadari bahwa sejatinya mereka adalah seruan lembut akan sebuah keharusan – keharusan untuk introspeksi dan mempersiapkan diri untuk perjumpaan dengan yang Maha Kuasa.


Islam mengajarkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah perhentian sementara. Setiap muslim diajak untuk selalu mengingat kematian, bukan dengan keputusasaan atau rasa takut, tetapi dengan persiapan diri dan amal. Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah kematian sebagai pemberi nasihat,” menunjukkan bahwa kematian adalah pembimbing yang bijak menuntun kita agar selalu mempersiapkan diri dengan bekal iman dan amal shalih.


Rambut yang telah memutih seharusnya bisa lebih dari sekadar membuat kita merenungi tentang masa lalu. Ia harus jadi pengingat bahwa waktu semakin sempit, dan setiap menit serta detik yang berlalu adalah kesempatan untuk memperbaiki diri, lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, serta meninggalkan jejak positif bagi orang lain. Ketika wajah di cermin mulai dihiasi kerutan dan senyum kusam, adalah momen introspeksi, bukan sekadar untuk menerima bahwa zaman muda telah berlalu, tapi lebih jauh lagi, untuk bertanya: Apakah aku telah merancang kehidupan yang membawa kepada kebahagiaan abadi?


Mengingat kematian sejatinya adalah membangkitkan semangat untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya. Tidak hanya dengan beramal, tapi juga dengan menyebarkan kebaikan, ilmu, dan kasih sayang. Rambut yang memutih bagaikan kanvas catatan perjalanan, setiap helaian mencatat cerita, perbuatan, dan kebijaksanaan hidup yang dapat menjadi teladan. Saat menyisir helaian rambut putih, seyogyanya juga menyisir hati dan niat untuk selalu terjaga dalam kebaikan.


Mengingat kematian dalam Islam juga mengajarkan bahwa semuanya adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali. Kita diajak untuk tidak terlalu melekat dengan dunia dan segala kesementaraannya. Semua yang kita miliki dan segala yang kita banggakan di dunia ini, dari kekayaan, kekuasaan, hingga keindahan fisik, tak lain hanya titipan yang suatu saat harus dikembalikan. Jadi, ketika rambut mulai memutih, adalah tepat untuk mengingat bahwa kematian adalah kepastian yang akan mengembalikan kita pada kehidupan yang hakiki.


Para ulama dan sufi telah banyak menyampaikan tentang pentingnya zuhud atau keadaan tidak terikat dengan dunia. Merenungi kematian merupakan salah satu cara untuk mencapai keadaan itu. Seseorang yang sering mengingat kematian akan lebih mudah menemukan kedamaian dalam hati karena ia tahu bahwa ujian kehidupan adalah sementara dan sejati adalah akhirat.


Rambut yang memutih layaknya lentera yang terus berkedip, mengingatkan bahwa masa untuk berlaku adil, berbuat dengan penuh kasih sayang, dan beramal shalih semakin terbatas. Dalam diam, uban berbicara, "Teruskan perbuatan baikmu, perbaikilah yang terlanjur salah, dan penuhilah duniamu dengan amal yang menyentuh langit." Bukankah setiap helaian rambut yang beruban itu adalah catatan yang turut disampaikan kepada malaikat pencatat amal?


Jadi, biarlah rambut yang telah memutih mengingatkan kita bukan hanya kepada usia yang terus bertambah, melainkan kepada kesempatan yang menyusut untuk menjemput rida Allah SWT. Mari kita renungi dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan, agar kala senja kehidupan tiba, kita dapat menghadap Ilahi dengan hati yang tenang, penuh rasa syukur atas segala nikmat dan cobaan yang telah membentuk kita.


Jadi ya buku yang bagus menurut saya dengan banyaknya pengingat diri untuk saya.


Catatan Mas Bojreng


#myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng

Thursday, January 25, 2024

Adab dan Etika di Atas Ilmu dan Harta: Membalut Kekuatan dengan Kerendahan Hati

Sarapan dulu... jangan lupa sarapan ...

Mau dimasakin apa?

Ketika melihat status guru dari guru saya jadi teringat saat pendidikan dahulu... 

Bahwa kedepankan selalu "attutide and ethics".

Pada saat dititipin mahasiswa dari luar negeri eh luar kota Tegal juga Inshaa Allah itu yang saya kedepankan.


Jadi bagaimanakah dalam keseharian itu?

Apa yang penting dalam kehidupan ini? 

Adab dan Etika di Atas Ilmu dan Harta: Membalut Kekuatan dengan Kerendahan Hati


Dalam kaleidoskop kehidupan manusia, ilmu dan harta menjadi dua pilar yang sering dijadikan tolok ukur keberhasilan individu. Namun, apakah menjadi orang paling berilmu atau paling kaya sudah cukup untuk dianggap berhasil? Islam, dengan segala kebijaksanaannya, memberikan pandangan bahwa di atas segalanya, adab (tata krama) dan etika (moralitas) merupakan mahkota yang sejatinya wajib dipatrikan pada kepala setiap pemilik ilmu dan harta. Saya mencoba merangkum dan nembikin artikel ini mencoba untuk mengajak merenungkan dan berbuat sebagaimana yang diajarkan oleh agama yang indah ini, tentang bagaimana berkata, bersikap, dan berperilaku di atas dua kekayaan terbesar manusia: ilmu dan harta. Mohon tidak diperdebatkan tulisan saya ini.😁, karena ini hanyalah pemikiran dan perenungan saya yang bodoh ini.


Memahami Kedudukan Ilmu dan Harta dalam Islam


Sebelum mengupas lebih jauh tentang adab dan etika terkait ilmu dan harta, penting bagi kita untuk mengerti dulu posisi kedua aset berharga tersebut dalam Islam. Ilmu dalam rangkaian ajaran Islam adalah cahaya yang memandu umat menuju ke jalan yang lurus. Harta, di sisi lain, adalah sarana untuk memperoleh kehidupan yang layak dan bagi sebagian orang, bisa menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui zakat dan infaq.


Perilaku Berkata: Ketika Ilmu Menjadi Suara


Bila kita dianugerahi ilmu, bagaimana kita menggunakan ilmu itu untuk berkata-kata adalah manifestasi nyata dari adab. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa seorang muslim harus berkata yang baik atau diam. Ilmu tidak diperuntukkan untuk disombongkan, melainkan untuk memberi manfaat. Setiap kata yang keluar dari mulut seorang alim (orang yang berilmu) haruslah menyejukkan hati mendengarnya, bukan menyakiti atau menunjukkan kesombongan.


Mendapatkan Harta: Sikap Kita Terhadap Kekayaan


Harta di dunia ini tidak lebih dari titipan. Oleh sebab itu, sikap rendah hati harus melekat pada diri seorang muslim, meskipun Allah memberkahi dengan harta yang berlimpah. Adab mendapatkan harta ialah dengan cara yang halal dan menggunakannya juga dalam hal yang halal serta bermanfaat, sesuai dengan ajaran Islam.


Berperilaku dalam Keseharian: Menjadi Contoh Melalui Tindakan


Adab dan etika bukanlah tentang perkataan semata, tetapi juga tentang tindakan sehari-hari. Berperilaku baik dalam segala situasi menunjukkan bahwa ilmu telah membawa pengaruh positif dalam diri seseorang. Dan bagi yang memiliki harta, perilaku yang rendah hati dengan tidak berfoya-foya serta selalu bersedia membantu sesama merupakan cerminan dari etika yang baik.


Menggunakan Ilmu dengan Baik: Kewajiban Untuk Bermakna


Islam memandang ilmu sebagai amanah yang harus digunakan untuk kebaikan. Hal itu tercantum dalam salah satu hadis, di mana dikatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Ini menekankan bahwa mempunyai ilmu mengharuskan seseorang untuk terus mengamalkan dan menyebarluaskannya dengan cara yang mengedepankan kearifan dan kasih sayang.


Kesombongan dan Kekerendahan Hati: Titian Menuju Kebijaksanaan


Peringatan akan bahaya kesombongan sering disampaikan dalam ajaran Islam. Ingatlah kisah Iblis yang terusir dari surga karena tidak mau bersujud kepada Adam, yang dijadikan Allah dari tanah, sementara ia (Iblis) dari api dan merasa lebih mulia. Kisah ini menjadi simbol abadi tentang bagaimana kesombongan bisa merusak nilai-nilai yang ingin dicapai melalui ilmu dan harta. Sebaliknya, kerendahan hati adalah kunci yang membuka pintu-pintu kebijaksanaan dan kebaikan.


Jadi mengedepankan adab dan etika dalam berkata,  bersikap dan berperilaku dalam keseharian.


Memiliki ilmu dan harta itu penting, tetapi memiliki adab dan etika adalah yang utama. Dalam agama Islam, ilmu dan harta yang tidak disertai dengan adab dan etika ibarat pohon yang tidak berbuah, indah di pandang mata tetapi tidak memberi manfaat yang nyata. Oleh karena itu, mari kita gunakan ilmu dan harta yang kita miliki dengan penuh tanggung jawab dan dengan aturan-aturan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW agar kita menjadi muslim yang sebenar-benarnya, yang tidak hanya kaya akan ilmu dan harta tetapi juga kaya akan adab dan etika yang luhur.


Catatan dan pengingat diri seorang manusia yang kecil dan bodoh, masih harus banyak belajar dan berpikir lanjut. Saat ini kangen ketemu dengan guru guru saya untuk mendapatkan wejangan dan nasehat.


Catatan Mas Bojreng, di pagi nan mendung ini.

Serbet sudah semampir di bahu.. maklum hanya batur srimulatan.


#pencitraan #myselfreminder  #catatanmasbojreng #masbojreng

Wednesday, January 24, 2024

Filosofiku tentang kopi

 Aku minum kopi secara sederhana, apa adanya dan perlahan

Filosofi tentang meminum kopi dapat sangat dalam dan penuh dengan makna. Di satu sisi, menikmati kopi sering kali dianggap sebagai momen untuk mengambil jeda, merenung, dan bersantai dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari. Ini adalah cara untuk melambatkan waktu sejenak, menikmati kehadiran diri dan lingkungan tanpa tekanan.


Dalam konteks kesederhanaan, meminum kopi bisa menjadi simbol dari menemukan kenikmatan dalam hal-hal yang sederhana. Kopi tidak harus mahal atau dengan pernak-pernik yang berlebihan; yang terpenting adalah pengalaman dan kepuasan yang diperoleh dari ritual meracik dan meminumnya. Seseorang yang menghargai kopi sering kali menemukan kenyamanan dalam rutinitas ini, menemukan kedamaian dalam aroma dan rasa yang kaya yang ia sediakan.


Sedangkan dari perspektif 'hidup apa adanya' dan 'tidak hidup dalam ketergesaan', meminum kopi bisa menjadi sarana untuk menerima keadaan saat ini dan menikmatinya tanpa buru-buru. Dalam budaya yang serba cepat, di mana setiap menit tampaknya diisi dengan kegiatan dan tuntutan, berhenti untuk menyeruput kopi dapat menjadi bentuk perlawanan—sebuah pengingat bahwa hidup tidak selalu tentang produktivitas, tetapi juga tentang memanfaatkan waktu untuk kebaikan diri sendiri.


Jadi, filosofi menikmati kopi bisa diartikan sebagai penghargaan terhadap momen-momen kecil, pengalaman sensorik yang tulus, dan peluang untuk menyelaraskan kembali diri kita dengan ritme yang lebih alami dan berkelanjutan dari kehidupan kita.


Catatan Mas Bojreng


#coffee #coffeeblogger #coffeevibes #coffeelove #coffeeculture #coffeeholic #coffeehouse #coffeeblack #coffeetime #coffeegram #coffeebreak #coffeenation #coffeelovers #coffeebean #coffeeloversonly #coffeeaddict #coffeeloversoftheworld #coffeeshop #coffeelife #coffeeloversofinstagram #coffeelover #food #foods #foodphotography #foodphotographer #phonephotography #phonephotographer

#catatanmasbojreng #masbojreng

Tuesday, January 23, 2024

Family come first

 **Family Time: Menyediakan Waktu, Bukan Menyisihkan Waktu**

Malam mingguan dengan keluarga, walaupun masing masing dengan ke "hobby" an nya masing masing didalam rumah.😁😁


Dalam kesibukan hidup yang seringkali membingungkan, kita dapat terjebak dalam rutinitas yang secara tidak sadar menjauhkan kita dari keluarga. Istilah 'menyisihkan waktu' sering digunakan untuk menggambarkan upaya kita dalam menemukan celah dalam kesibukan untuk berada bersama dengan keluarga. Namun, ada perbedaan mendasar antara 'menyisihkan' dan 'menyediakan waktu’. *Menyediakan waktu* adalah suatu tindakan aktif yang menandakan prioritas dan komitmen, sedangkan *menyisihkan waktu* sering kali berkonotasi sebagai sesuatu yang dilakukan apabila ada kesempatan. 


Dalam konteks keluarga, menyediakan waktu menunjukkan nilai dan kasih sayang yang mendalam. Waktu yang dikhususkan untuk keluarga adalah investasi yang tidak ternilai harganya. Anak-anak yang tumbuh dalam pangkuan keluarga yang sering menghabiskan waktu bersama cenderung memiliki kesehatan emosional yang lebih baik, kinerja akademik yang lebih tinggi, dan kemampuan sosial yang lebih kuat. 


Mengapa menyediakan waktu untuk keluarga begitu penting? Karena keluarga adalah fondasi pertama dan utama dalam membentuk karakter dan nilai-nilai kehidupan. Interaksi antara anggota keluarga tidak hanya mengajarkan anak-anak tentang bagaimana membangun hubungan interpersonal yang baik, tetapi juga membantu mereka memahami identitas diri dan peran mereka dalam masyarakat. It's through routine family dinners, weekend outings, or even simple nightly conversations where bonds are strengthened and lessons are learned.


Namun, dalam masyarakat modern yang penuh dengan tuntutan dan distraksi, sering kali kita menemukan alasan untuk tidak menyediakan waktu yang berkualitas dengan keluarga. Ironisnya, sementara teknologi telah menciptakan cara-cara baru untuk terkoneksi, sering kali hal tersebut malah membuat kita lebih terisolasi secara emosional dari orang-orang yang kita sayangi.


Lantas, bagaimana pandangan Islam terhadap 'family time'? Dalam Islam, keluarga diberikan peran yang sangat sentral. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW penuh dengan nasihat tentang pentingnya menjaga hubungan kekeluargaan. Misalnya, dalam Al-Quran surah Al-Isra’ (17:23-24), Allah SWT mengingatkan umat manusia untuk berbuat baik kepada orang tua dengan penuh kesopanan dan kerendahan hati. 


Islam juga mengajarkan agar setiap muslim menjadikan rumah mereka sebagai dasar tangguh yang mendukung ibadah, pendidikan, dan keintiman emosional. Keluarga tidak hanya tempat untuk kembali dan beristirahat, tetapi juga tempat dimana akhlak dan iman dijaga dan disuburkan. Rasulullah SAW pun secara rutin menekankan pentingnya kebersamaan keluarga. Beliau tidak hanya menghabiskan waktu dengan keluarganya tetapi juga mengikutsertakan mereka dalam kegiatan sosial dan keagamaan, menunjukkan bahwa keluarga adalah bagian integral dari kehidupan sosial yang sehat.


Ma’amulat (kebiasaan sehari-hari) dalam Islam yang mencakup shalat berjamaah, makan bersama, dan belajar ilmu agama, secara alamiah memberi kesempatan kepada setiap anggota keluarga untuk menyediakan waktu mereka bersama. Kegiatan ini bukan hanya menjaga ikatan keluarga tetapi juga memperkuat keimanan dan praktek keagamaan.


Lebih jauh lagi, Islam tidak hanya menekankan pentingnya waktu yang dihabiskan bersama, tapi juga kualitas interaksi tersebut. Berkualitas maksudnya adalah waktu yang dihabiskan dalam kebersamaan harus bebas dari hal-hal yang melalaikan atau yang dilarang oleh agama, tetapi diisi dengan kegiatan yang membangun keharmonisan dan kebaikan bersama. 


Maka, dalam lingkup ajaran Islam, menyediakan waktu untuk keluarga adalah bentuk ibadah dan merupakan cara untuk memperoleh berkah dan ridha Allah SWT. Keluarga yang kuat dan bersatu juga akan menghasilkan masyarakat yang kuat; karena pada akhirnya, masyarakat adalah kumpulan dari keluarga-keluarga.


Untuk menginternalisasi konsep ini dalam kehidupan sehari-hari, ada beberapa langkah yang bisa diambil. Misalnya, membuat jadwal keluarga, dimana anggota keluarga setuju untuk menghabiskan waktu bersama pada waktu-waktu tertentu, dan kegiatan tersebut dibuat sukarela dan menyenangkan untuk semua anggota keluarga. Bisa juga dengan mengadakan diskusi keluarga tentang apa saja yang mereka ingin lakukan bersama, sehingga setiap orang merasa memiliki keterlibatan dan komitmen pada 'family time'.


*Keluarga adalah anugerah yang tak ternilai*, dan menyediakan waktu untuk mereka adalah inti dari mengapresiasi anugerah tersebut. Dalam perputaran waktu yang tak pernah berhenti, menyediakan waktu untuk keluarga adalah pilihan yang akan membuahkan hasil tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang. It is the simplest yet most profound legacy we can leave behind – a legacy of time well spent, of love affirmed, and life cherished together.


Jadi sediakan waktu dan bukan menyisihkan atau menyisakan waktu untuk keluarga. 


Catatan Mas Bojreng

Batman Gembul n Fam


#family #keluarga #myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng

Monday, January 22, 2024

Masih baca koran?

Masih ada tempatnya kah koran atau surat kabar kertas di era internet atau digital ini?

Minggir dulu sebentar, baca koran terlabih dahulu melihat isinya apa.

Saat di Semarang , saya melihat banyak penjual koran di bangjo bangjo, penjualnya sekarang kebanyakan adalah orang orang yang sudah tua sekali baik laki maupun perempuan bahkan kadang anak anak kecil.

Sempat saya berpikiran wow ini adalah teknik marketing yang bagus karena orang Indonesia akan cenderung lebih gampang iba dan kasihan jadi membeli produknya.


Ya sudahlah, sepertinya untuk berita harian jelas kalah cepat dari berita yang ada di internet, teknik penulisan dan penyampaian akan berbeda pula dibanding jaman dahulu.


Buat saya kpran atau surat kabar sebagai kenangan atau mengenang pada suatu masa lalu. Ketika pagi menyapa dengan cahaya mataharinya yang hangat, ritual membuka halaman surat kabar sambil menyeruput secangkir kopi pernah menjadi ikon kegiatan masyarakat di penjuru dunia. Surat kabar, sebagai medium informasi dan edukasi telah lama menjadi fondasi bagi penyebaran berita dan pembentukan opini publik. Dari cetak yang rapat dengan tinta sampai suara gemerisik kertas yang terlipat, surat kabar telah menjadi jendela dunia untuk jutaan orang. Namun, era digital telah menyeruak, membawa transformasi yang signifikan terhadap media massa, khususnya surat kabar, yang membuka babak baru dalam sejarah penyajian dan konsumsi informasi.


Digitalisasi dan Internet: Gelombang Perubahan

Kedatangan era digital dan penetrasi internet yang luas telah mengubah landscape media berita secara drastis. Ketersediaan akses internet yang semakin meningkat dan penetrasi smartphone yang masif telah mendemokratisasikan informasi. Jauh sebelum surya mencapai puncaknya, berita terbaru telah tersedia di ujung jari, selangkah lebih maju dari surat kabar tradisional yang menunggu distribusi fisik.


Transformasi Format Berita

Perubahan medium dari cetak ke digital bukan hanya sekadar perubahan cara kita mengakses berita, tapi juga telah mengubah format berita itu sendiri. Surat kabar digital tidak lagi terikat oleh batasan halaman dan dapat menawarkan konten multimedia seperti video, audio, dan interaktivitas yang tidak mungkin dilakukan oleh cetakan. Ini memungkinkan pengalaman yang lebih kaya dan lebih mendalam untuk pembaca.


Kecepatan Penyebaran Berita

Kecepatan menjadi aset yang tak tergantikan di era digital. Di masa lampau, surat kabar harus melalui proses cetak dan distribusi yang memakan waktu. Namun, berita online dapat dikirim hampir seketika ke pembaca di seluruh dunia. Sekarang, perkembangan terbaru dari sebuah kejadian bisa di-update secara real-time, tanpa harus menunggu edisi cetak berikutnya.


Keberagaman Perspektif dan Demokratisasi Informasi

Surat kabar tradisional terbatas oleh ruang yang tersedia dan kebijakan editorial. Dalam kontras, berita digital menawarkan keberagaman yang jauh lebih kaya. Bloggers, warga jurnalis, dan pakar dapat menyampaikan pandangan mereka langsung ke audiens global. Keberagaman sumber ini telah mendemokratisasi informasi dan memungkinkan perspektif yang lebih luas untuk muncul dalam diskursus publik.


Tantangan Terhadap Keaslian dan Kepercayaan

Namun, gelombang perubahan ini juga membawa tantangan. Salah satunya adalah pertempuran melawan berita palsu dan hoaks yang menyebar dengan cepat melalui platform digital. Di era surat kabar, proses editorial yang ketat dan jurnalisme yang berbasis investigasi memberikan sejenis jaminan kualitas dan kepercayaan. Di sisi lain, era digital memerlukan kejelian dan kritisisme yang lebih akut dari para pembaca dalam menilai keaslian dan kebenaran sebuah berita.


Interaksi Pengguna dan Personalisasi Berita

Perkembangan teknologi digital juga memungkinkan model interaksi dua arah antara pembaca dan pembuat berita. Pembaca tidak lagi sekadar konsumen informasi; mereka juga berperan dalam membentuk berita melalui komentar dan berbagi artikel. Algoritma canggih memungkinkan personalisasi berita, sehingga masing-masing pembaca mendapatkan konten yang relevan dengan minat mereka, berpotensi mendalamkan keterlibatan mereka dengan topik tertentu.


Derap Langkah Surat Kabar Cetak

Di tengah banjir perubahan yang dibawa oleh era digital, surat kabar cetak menghadapi tantangan signifikan untuk bertahan. Penurunan sirkulasi surat kabar menjadi indikasi jelas, namun banyak yang berargumen bahwa ada nilai yang terjaga dalam cetak yang tidak bisa digantikan sepenuhnya oleh digital. Bagi sebagian pembaca, ritual membaca surat kabar cetak masih memiliki tempat istimewa, menawarkan pengalaman yang lebih terfokus dan minim distraksi dibanding perangkat digital.


Masa Depan Berita: Adaptasi dan Koeksistensi

Surat kabar di era digital harus beradaptasi untuk bertahan hidup. Ini berarti berinovasi bukan hanya dalam cara berita disampaikan, tapi juga dalam model bisnis. Paywalls, langganan digital, dan konten bersponsor adalah beberapa metode yang diterapkan untuk menjaga keberlangsungan finansial sambil tetap menyediakan informasi berkualitas.


Dalam mencari keseimbangan antara tradisional dan modern, media berita harus merangkul teknologi baru sambil mempertahankan standar jurnalisme yang tinggi. Surat kabar, baik cetak atau digital, pada intinya adalah tentang menyajikan kisah – dan cerita yang kuat akan selalu menemukan pendengarnya, tidak peduli mediumnya.


Dalam betuk yang cepat berubah, satu hal yang pasti: peran surat kabar dan jurnalisme dalam membangun masyarakat yang informasi akan tetap penting. Meskipun format dan metode penyampaian berita akan terus berkembang, kebutuhan masyarakat akan berita yang andal dan wawasan yang mendalam akan tetap konstan, menjadi bintang pemandu dalam era informasi yang terus bergerak ini.


Mungkin suatu saat koran akan punah dan hilang...

Daily Bugle atau Daily Planet akan hilang dan tidak akan dikenal hahaha..


Ya sudahlah orang bilang ini kemajuan jaman, ya buat saya sarana nostalgia


Catatan Mas Bojreng


#catatanmasbojreng #masbojreng

Sunday, January 21, 2024

Ojo kakehan alesan wae

Alhamdulillah, hujan turun semenjak dini hari tadi.


Allahumma shoyyiban nafi'an'." Artinya: Ya Allah, turunkan lah pada kami hujan yang bermanfaat.


Ketika berangkat subuh subuh diiringi hujan yang membasahi bumi ini sepanjang perjalanan teringat akan kejadian saat masih kuliah dahulu. Pada saat itu saya  kursus bahasa Inggris di salah satu tempat kursus Bahasa Inggris di jalan Menteri Supeno dan kebetulan pengajarnya saat itu seorang cewek masih muda cantik native speaker dari Irlandia, wuih senang selalu mendengarkan dialek dari arah sana, jadi pasti berangkat kursus dengan semangat selalu, gak pernah bolos. 


Nah kebetulan pada suatu hari hujan deras, saya tetap berangkat. Dari 8 orang peserta kursus yang datang hanya 2 orang setelah setengah jam dimulai pun tidak bertambah. Si Bule bertanya kenapa kok yang datang hanya sedikit ya. Saya dengan santainya mungkin karena hujan miss...

Eh di jawab si Bule sambil mengernyitkan dahi nya.. hujan? Hujan kan hanya air, di tempat nya dia hampir selalu hujan .. hujan kok dijadikan alasan, bagaimana bangsa Indonesia maju....

Duh isin juga diejek kayak gitu.. tapi dalam hati ya bener sih... alasan.. selalu dengan gampang kita mencari alasan ..


Dah lah gak usah cari alasan alasan demi menutupi kesalahan atau kebohongan yang dilakukan.

Nek wong semarang.. rak sah kakehan cangkem golek alesan


Dalam kehidupan manusia, kesalahan adalah suatu yang tidak terelakkan oleh siapa pun. Adakalanya, dalam momen-momen kesalahan atau kebohongan tersebut, kita sebagai manusia ditantang untuk memilih jalan yang akan kita tempuh: mengakui kesalahan dengan rendah hati atau mencari alasan untuk membentengi diri dari akibat yang mungkin terjadi. Islam, dengan ajaran kaya yang diberikan, secara tegas memberikan kita bimbingan mengenai bagaimana kita sebaiknya bersikap dalam menghadapi situasi sepeti ini.


Pertama, Islam mengajarkan pentingnya taubat dan pengakuan kesalahan. Al-Qur'an secara jelas memberi petunjuk bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat salah, namun pintu taubat selalu terbuka luas bagi mereka yang ingin kembali ke jalan yang benar. Allah SWT berfirman, “Dan semua anak Adam itu bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah ialah mereka yang bertaubat.” (Hadits riwayat At-Tirmidzi)


Mencari alasan untuk menyembunyikan kesalahan atau kebohongan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dapat menunjukkan keengganan untuk bertanggung jawab atas perbuatan, dan juga dapat mengarah pada sifat munafik yang sangat dicela dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Tanda-tanda orang munafik itu tiga: apabila berkata, ia berdusta; apabila berjanji, ia mungkir; dan apabila dipercayai, ia berkhianat.” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim) 


Islam juga mengedepankan pentingnya keilmuan yang benar dan penggunaan ilmu tersebut dengan cara yang etis dan bertanggung jawab. Allah SWT telah memerintahkan umat manusia untuk mencari ilmu dan memakainya sesuai dengan tuntunan-Nya. Penggunaan ilmu tidak hanya terbatas pada pencapaian pribadi atau material, tapi juga harus berkontribusi pada kebaikan dan kesejahteraan lingkungan sosial.


Adab dan etika merupakan bagian tak terpisahkan dari setiap aspek kehidupan dalam Islam. Baik dalam kata-kata maupun tindakan, seorang Muslim diajak untuk selalu mengedepankan etika yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini termasuk dalam cara kita mengakui dan memperbaiki kesalahan kita.


Tidak mencari pembenaran atas kesalahan dan kebohongan, serta bertindak sesuai dengan ilmu yang benar sambil memelihara etika yang baik, adalah manifestasi dari keimanan yang kuat dan karakter yang mulia. Dalam pandangan Islam, mengambil jalan ini tidak hanya akan mengantarkan pada kedamaian pribadi, tapi juga akan berdampak positif pada keharmonisan dalam masyarakat.


Dengan demikian, Islam mengajarkan kita untuk menjadi individu yang berintegritas: mengakui kesalahan, meminta maaf, dan berusaha untuk tidak mengulanginya, serta berperilaku sesuai dengan ajaran yang bernilai dan menghormati etika yang telah digariskan oleh ajaran yang luhur ini. Ini adalah jalan yang membawa kepada kedewasaan spiritual dan sosial, yang pada akhirnya akan menuntun umat manusia pada kehidupan yang lebih bermartabat dan harmonis.


Catatan Mas Bojreng sambil mulai poli dini hari hahaha


#myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng

Saturday, January 20, 2024

Aku hanyalah makhluk ciptaan Nya yang kecil

Kubersujud memohon ampunan kepada Mu ya Allah

Pengingat diri pada pagi ini.

Manusia Hanyalah Makhluk Kecil di Hadapan Allah SWT


Dalam kehidupan ini, sering kali kita terjebak dalam pesona dunia yang fana. Tidak jarang pula kita terbuai dengan berbagai pencapaian yang seakan membuat kita merasa superior. Namun, sejatinya kita harus selalu mengingat bahwa di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala, kita adalah makhluk yang sangat kecil. Tidak ada alasan bagi kita untuk bersikap sombong dan angkuh, sebab segala yang ada pada diri kita, baik itu harta, tahta, ataupun ilmu, semuanya adalah pinjaman dan amanah dari-Nya.


Begitu banyak manusia yang berjalan di muka bumi ini tanpa menyadari esensi keberadaan mereka. Mereka lupa bahwa semesta ini dikuasai dan diatur oleh Allah, Pencipta yang Maha Kuasa. Bumi yang kita pijak, udara yang kita hirup, dan segala nikmat yang kita rasakan tiap hari adalah bukti nyata dari kasih sayang-Nya yang tak terbatas. Lantas, untuk apa kita bersikap sombong? Apakah kita lupa bahwa di hadapan-Nya, kita tidaklah berarti?


Sifat arogansi dan keangkuhan menjadi benteng yang menghalangi kelembutan hati, mengaburkan mata hati untuk melihat sesama. Berkata tidak peduli dan tidak mau menolong adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan ajaran-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk saling menolong dan berempati satu sama lain, mengingatkan bahwa kebaikan yang kita lakukan, sekecil apa pun, adalah buah dari iman yang bersemayam di dalam jiwa.


Renungan yang mendalam seharusnya menghantarkan kita pada satu keputusan yang teguh untuk meniatkan segala tindakan Lillahi Ta'ala, untuk Allah semata, tanpa mengharap balasan atau pujian dari sesama. Realita ini harus menjadi landasan bagi setiap kata yang terucap dan tindakan yang diambil. Kita harus belajar untuk melepaskan diri dari keinginan duniawi yang tiada henti, serta terus mengasah kepekaan sosial di antara sesama manusia.


Di tengah kesibukan dunia, kita seringkali lupa untuk bersimpuh di hadapan-Nya, mengakui segala dosa dan kesalahan kita. Beristighfar dan memohon ampunan kepada Allah SWT seharusnya menjadi bagian rutin dari hidup kita sebagai Muslim. Tidak ada satupun dari kita yang terlepas dari kesalahan, oleh karena itu penting bagi kita untuk senantiasa kembali kepada-Nya, memohon agar hati ini dijernihkan, dan dikembalikan kepada fitrah yang suci.


Detik-detik kehidupan yang terus berjalan mengingatkan kita bahwasannya kesempatan untuk memperbaiki diri adalah terbatas. Masa yang kita habiskan untuk kesombongan dan ketidakpedulian adalah masa yang sia-sia. Setiap waktu yang terlewatkan tanpa ingatan kepada Allah, tanpa bakti dan manfaat bagi sesama, adalah kerugian yang tak terukur. Oleh karena itu, lebih baik kita gunakan waktu yang ada untuk memperkaya jiwa dengan kerendahan hati dan amal kebaikan yang ikhlas.


Melintasi kehidupan dengan kesadaran akan kedekatan kita dengan Allah SWT akan membawa dampak yang luar biasa. Hidup akan lebih terasa bermakna jika kita senantiasa mengingat bahwa kita ada karena-Nya, hidup atas kehendak-Nya, dan setiap langkah kita adalah untuk mencari ridha-Nya. Di saat kita benar-benar merenungkan kebesaran-Nya, hati ini tidak akan pernah tertarik untuk bersikap sombong, sebab kita akan tersadar bahwa tanpa Dia, kita bukanlah apa-apa.


Marilah kita memperbaharui niat dalam hati, menghidupkan kembali semangat untuk melayani-Nya dan mencari kecintaan-Nya. Melalui setiap detak nadi dan kesempatan yang diberikan, semoga kita dapat menjadi khadim (pelayan) yang baik untuk agama ini, bagi sesama, dan yang terutama adalah penghambaan yang tulus untuk Allah SWT.


Kita mengakhiri dengan doa yang tulus, agar Allah SWT senantiasa memandu kita, mengampuni dosa-dosa kita, dan menguatkan kita di jalan yang diridhai-Nya. Semoga kita senantiasa dijauhkan dari sifat takabur dan apapun yang dapat menjauhkan kita dari rahmat dan kasih sayang-Nya.


Amin.


Catatan Mas Bojreng...


#myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng

"Empat Pilar Kesehatan di Usia 40: Olahraga, Nutrisi, Pencegahan, dan Kesadaran Mental"

Menjaga kesehatan di usia 40 tahun menjadi salah satu prioritas penting yang seharusnya diperhatikan oleh setiap orang. Di ambang usia pertengahan, tubuh manusia mulai menunjukkan tanda-tanda penuaan yang tidak hanya terlihat fisik melalui kerutan atau uban, tetapi juga pada tingkat fisiologis, di mana proses regenerasi sel mulai melambat. Maka dari itu, ada beberapa langkah proaktif yang dapat diambil untuk berinvestasi dalam kesehatan sebelum penyakit datang menghampiri.


Penting untuk diingat bahwa "health is not everything but without it everything will be nothing". Frasa ini mengingatkan kita tentang nilai kesehatan yang mendasar di dalam kehidupan manusia, terutama setelah menginjak usia 40 tahun. Untuk menjaga kebugaran dan kesehatan pada usia ini, dianjurkan untuk mengikuti beberapa rekomendasi kegiatan fisik dan nutrisi.


Olah Raga yang Direkomendasikan


1. Walking atau Berjalan Kaki: Ini adalah latihan aerobik berintensitas rendah yang bagus untuk jantung. Lakukan setidaknya 30 menit sehari untuk hasil optimal.


2. Renang: Aktivitas ini sangat baik untuk orang berusia 40 tahun karena memiliki risiko cedera rendah dan melatih seluruh bagian tubuh.


3. Yoga: Mengkombinasikan aspek fisik, mental, dan spiritual, yoga membantu meningkatkan fleksibilitas, kekuatan otot, dan keseimbangan, serta mengurangi stres.


4. Cycling atau Bersepeda: Baik dilakukan di dalam (stationary bike) atau di luar ruangan, bersepeda merupakan latihan aerobik dan kekuatan yang luar biasa untuk kaki, plus, rendah dampak pada lutut.


5. Strength Training atau Latihan Kekuatan: Hal ini penting untuk menjaga massa otot, yang cenderung berkurang dengan usia. Melakukan latihan dengan beban ringan atau body-weight exercises sangat bermanfaat.


6. Tai Chi: Latihan ini melibatkan gerakan perlahan dan lembut untuk meningkatkan keseimbangan, fleksibilitas, dan kekuatan.


Pada usia pertengahan ini, disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter atau pelatih profesional sebelum memulai atau memodifikasi rutinitas latihan, khususnya jika ada kondisi medis yang telah ada.


Pola Makan untuk Usia 40 Tahun


Pemilihan makanan yang tepat sangat penting dalam mencegah penyakit kronis dan menjaga kesehatan. Berikut adalah beberapa prinsip dasar:


1. Konsumsi Makanan Utuh: Pilihlah makanan utuh daripada makanan olahan. Sumber makanan utuh seperti sayuran, buah-buahan, biji-bijian, kacang-kacangan, dan ikan kaya akan nutrisi yang esensial.


2. Kurangi Gula dan Garam: Kelebihan gula dan garam dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti obesitas, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung.


3. Protein Berkualitas Tinggi: Sumber protein seperti ikan, ayam tanpa kulit, kacang-kacangan, dan produk susu rendah lemak sangat penting untuk memelihara massa otot.


4. Lemak Sehat: Asupan lemak tak jenuh yang terdapat pada alpukat, kacang-kacangan, dan minyak zaitun dapat membantu mengurangi kadar kolesterol dan risiko penyakit kardiovaskular.


5. Cukup Cairan: Usia lanjut sering terkait dengan penurunan sensasi haus, sehingga penting untuk minum banyak cairan, terutama air, walaupun tidak merasa dahaga.


6. Pertimbangkan Suplemen: Terkadang, kebutuhan vitamin dan mineral mungkin sulit dipenuhi hanya melalui diet. Suplemen seperti vitamin D, kalsium, dan omega-3 mungkin diperlukan berdasarkan saran dokter.


 Jaga Sehat Sebelum Sakit


Pencegahan adalah kunci. Melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, mengelola stres, tidur yang cukup, dan menjaga hubungan sosial yang baik adalah beberapa aspek yang menunjang upaya pencegahan.


Fokus Kesehatan Mental


Seringkali, kesehatan mental tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Kesehatan mental yang baik dapat mendukung kesehatan fisik. Praktik meditasi, mindfulness, atau hobi yang memenuhi secara pribadi sangat berkontribusi terhadap kesehatan mental.


Kesimpulan


Dekade keempat dalam kehidupan dapat menjadi masa yang penuh energi dan produktivitas jika kesehatan dijaga dengan benar. Melalui kombinasi olahraga yang tepat, pola makan seimbang, pencegahan, dan perawatan terhadap kesehatan mental, individu berusia 40 tahun dapat mempertahankan kebugaran dan kebahagiaan yang maksimal. Komitmen terhadap gaya hidup sehat pada usia ini tidak hanya akan mempengaruhi kualitas hidup saat ini tapi juga menjadi investasi untuk masa depan yang lebih sehat dan memuaskan.


Mencoba menulis artikel kesehatan, ketika melihat diri sendiri. Memang menulis ini lebih gampang dari nglakoninya.


Catatan Mas Bojreng


#myselfreminder #artikelkesehatan #sehat #kesehatan #catatanmasbojreng #masbojreng

Friday, January 19, 2024

Untuk apa sisa umurku?

Mendapat pengingat diri pagi ini

Disisa umurku ini......

Apa yang harus diperbuat??


Di dalam kehidupan ini, setiap detik yang berlalu adalah misteri dan takdir yang hanya diketahui oleh Sang Pencipta. Menurut ajaran Islam, usia seseorang adalah rahasia Illahi yang tidak dapat diprediksi atau diketahui oleh manusia. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman yang bermakna, "Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal" (Surah Luqman: 34). Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap mukmin untuk hidup dengan kesadaran bahwa setiap hari yang diberikan adalah sebuah anugerah dan kesempatan untuk beribadah dan melakukan kebaikan.


Pertama, kita harus menyadari bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara dan ujian dari Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, "Ketahuilah bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan, dan kesenangan, dan perhiasan, dan saling membanggakan dan berlomba dalam bertambahnya harta dan anak-anak, seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, kamu lihat berubah menjadi kuning, kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu" (Al-Hadid: 20). Kita dituntut untuk selalu ingat bahwa dunia ini bukanlah tujuan akhir, tetapi hanya sebuah persinggahan menuju kehidupan yang abadi di akhirat.


Kedua, setiap muslim harus memanfaatkan usianya sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Ini berarti, setiap individu perlu mengisi hari-harinya dengan amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menjadi bekal di akhirat nanti. Mulai dari perbuatan wajib seperti sholat lima waktu, puasa, zakat, dan haji (bagi yang mampu) hingga amalan sunnah dan aktivitas yang membawa manfaat bagi orang lain dan lingkungan sekitar. Selama umur masih ada, seorang muslim senantiasa harus memperbanyak doa, ibadah, dan memohon ampunan atas dosa-dosanya.


Ketiga, Islam mengajarkan tentang pentingnya ilmu dan belajar sepanjang hayat. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim." Mencari ilmu tidak hanya tentang agama saja, tapi juga ilmu dunia yang bermanfaat. Belajar dan mengajar merupakan salah satu cara muslim memanfaatkan masa hidupnya di dunia ini dengan baik.


Keempat, seseorang yang beriman harus selalu melakukan introspeksi atau muhasabah. Ini adalah proses mengkaji diri sendiri untuk mengetahui sejauh mana kita telah menjalankannya ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Di malam hari sebelum tidur, adalah waktu yang baik untuk mengingat kembali apa yang telah dilakukan di siang hari, memperbaiki kesalahan, dan berniat untuk menjadi lebih baik lagi di hari berikutnya.


Kelima, dalam Islam diajarkan untuk selalu menjaga hubungan baik dengan sesama manusia dan makhluk hidup lainnya. Islam tidak hanya fokus pada ibadah vertikal (hablumminallah), tapi juga ibadah horizontal (hablumminannas), yaitu menjalin hubungan baik dengan sesama manusia. Sabar, berbuat baik, dan membantu mereka yang membutuhkan, adalah bagian dari mengisi sisa usia kita dengan berkah dan kebaikan.


Keenam, berdakwah dan menyebarkan ajaran Islam dengan hikmah juga merupakan bagian penting dalam menjalani sisa hidup kita. Ini bukan hanya tugas para ulama, tapi setiap muslim harus menjadi duta Islam dalam kapasitas dan lingkungan masing-masing.


Ketujuh, dan mungkin paling penting, adalah selalu berserah diri kepada Allah SWT. Seorang mukmin harus memahami bahwa segala yang terjadi ada dalam pengaturan-Nya, dan bahwa apa yang ditakdirkan oleh Allah adalah yang terbaik, meski terkadang kita tidak memahaminya. Karena itu, penting untuk selalu memohon petunjuk-Nya dalam setiap langkah dan keputusan dalam hidup.


Melakukan semua ini dalam sisa usia kita tidaklah mudah, namun dengan niat yang tulus dan usaha yang gigih, Allah SWT akan memberikan kekuatan dan bimbingan kepada hamba-hamba-Nya. Dalam hidup yang penuh dengan ketidakpastian, syariat Islam memberikan kita pedoman yang jelas tentang bagaimana menjalani setiap hari dengan maksud dan tujuan yang baik.bergunakan waktu yang ada dengan bijak.


Pengingat diri di pagi hari ini...


Catatan Mas Bojreng


#myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng

Mengapa Kita Harus Menilai Esensi, Bukan Hanya Penampilan

Entah kenapa ada yang mengganggu sekali hari ini. Menulis ini dengan rasa kecewa dan putus asa yang mungkin akan berlanjut kearah ketidakpedulian.

"Melampaui Fasad: Mengapa Kita Harus Menilai Esensi, Bukan Hanya Penampilan"


Dalam dunia yang serba cepat dan visual saat ini, peribahasa lama 'don't judge a book by its cover' seringkali dilupakan. Meskipun kita diajarkan untuk tidak menilai sesuatu hanya dari penampilannya, banyak di antara kita yang masih terjebak dalam persepsi permukaan tanpa meluangkan waktu untuk memahami isi yang sebenarnya.


Menilai buku dari sampulnya adalah metafora yang menggambarkan betapa seringnya kita mengevaluasi segala sesuatu—mulai dari buku hingga manusia—berdasarkan penampilan luar mereka. Di era media sosial ini, di mana citra menjadi semacam mata uang, banyak yang berupaya keras memoles penampilannya demi menciptakan kesan pertama yang sempurna.


Yang mengherankan, banyak di antara kita yang sadar bahwa penampilan luar tidak selalu mencerminkan inti sejati dari sesuatu. Penampilan bisa diciptakan, dimanipulasi, dan disempurnakan hingga ke detail yang terkecil. Tetapi ketulusan, pemikiran, dan karakter seseorang tidak dapat dinilai hanya dengan melihat apa yang terpampang di permukaan. 


Ketika seseorang berupaya mempercantik penampilan luar mereka lebih dari mengembangkan apa yang ada di dalam, kita mungkin berhadapan dengan sebuah fasad yang menarik. Penampilan luar yang menawan mungkin dapat menarik minat kita pada awalnya, namun tanpa kedalaman dan substansi, daya tarik itu cepat pudar. 


Hal ini berlaku tidak hanya dalam interaksi sosial tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan lainnya, seperti saat memilih produk, mengambil keputusan bisnis, atau bahkan saat berpolitik. Pilihan yang nampaknya menarik secara estetis tidak selalu yang terbaik atau yang paling bermakna.


Kita mungkin perlu belajar untuk meluangkan waktu mengeksplorasi lebih dalam dan melihat di luar sekedar tampilan luar. Ini berarti mengedepankan dialog, empati, dan pemahaman untuk menilai nilai intrinsik dari apa yang kita hadapi. Ketika kita mulai menghargai isi dibandingkan hanya sampulnya, kita membuka diri terhadap kekayaan dan kedalaman yang tidak akan pernah kita temukan jika kita terus terpaku pada penampilan luar saja.


Mengakui adanya kecenderungan untuk menilai dari penampilan luar dan secara aktif bekerja melawan bias tersebut adalah langkah pertama menuju pemahaman yang lebih otentik dan relasi yang lebih bermakna. Mari kita ingat bahwa banyak hal yang indah dan bernilai dalam hidup ini seringkali tidak mengumbar penampilan luar yang mencolok tetapi memerlukan usaha lebih untuk ditemukan dan diapresiasi.


Ketika berbagai macam rasa berkecamuk didalam hati, ketika mulut sudah terasa kelu.

Hanya karena teringat selalu.


“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yasin: 65)


Catatan Mas Bojreng disiang hari nan terik ini.


#myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng

Thursday, January 18, 2024

Kepercayaan adalah amanah yang harus dijaga

Menjaga kepercayaan sebagai tanggungjawab.

Kepercayaan merupakan dasar yang kokoh dalam setiap aspek kehidupan manusia, termasuk dalam konteks individu, sosial, dan agama. Menjaga kepercayaan adalah suatu bentuk tanggung jawab moral dan etika yang mengikat setiap orang, dimana dalam Islam, kepercayaan dianggap sebagai amanah yang harus dijaga dengan integritas.


Dalam Islam, kepercayaan (amanah) adalah salah satu nilai utama yang harus dipelihara karena merupakan ciri khas dari seorang Muslim. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak dapat dipercaya dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya.” Menjaga amanah bukan hanya terbatas pada pemeliharaan harta benda, tetapi juga menyangkut ucapan, rahasia, dan semua bentuk tanggung jawab yang diemban oleh seseorang.


Menjaga kepercayaan berarti menghormati dan memenuhi janji serta kewajiban yang telah diberikan kepada kita. Ia menjadi sebuah prinsip yang tidak bisa ditawar lagi dalam urusan personal hingga ke urusan yang bersifat umum atau publik. Dalam konteks interpersonal, menjaga kepercayaan berarti menjadi pribadi yang konsisten antara ucapan dan perbuatan. Orang yang dapat dipercaya akan menghargai ucapannya sendiri sebagaimana ia menghargai perjanjian dengan yang lain.


Prinsip “respect is earned, not given” berkaitan erat dengan bagaimana seseorang menjaga kepercayaan. Penghargaan atau rasa hormat yang didapat dari orang lain merupakan hasil dari tindakan-tindakan mereka yang konsisten dan dapat dipercaya. Rasa hormat tidak datang begitu saja tanpa usaha dan demonstrasi karakter yang kuat; ia harus diupayakan dan dibangun melalui tindakan yang teruji waktu.


Masalah timbul ketika kepercayaan itu rusak, terutama jika penyebabnya adalah kebohongan atau pengkhianatan. Islam memberikan pandangan yang sangat serius mengenai pengkhianatan amanah. Rasulullah SAW menyatakan bahwa salah satu ciri-ciri orang munafik adalah ketika dia berbicara, dia berbohong; ketika dia berjanji, dia mengingkarinya; dan ketika dipercaya, dia khianat. Kehilangan kepercayaan bisa berdampak jauh, tidak hanya pada hubungan interpersonal tetapi pada reputasi dan karakter seseorang di mata masyarakat.


Keretakan dalam kepercayaan dapat mengakibatkan kerusakan hubungan dan membutuhkan waktu serta usaha yang signifikan untuk memulihkannya. Dalam banyak kasus, pemulihan kepercayaan memerlukan tindakan yang konsisten dari pihak yang telah mengkhianati untuk menunjukkan kesungguhan mereka dalam berubah dan menjadi lebih dapat dipercaya.


Untuk memperbaiki kepercayaan yang telah rusak, langkah pertama adalah mengakui kesalahan yang telah dilakukan. Pengakuan ini harus diikuti dengan tindakan konkret untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Dalam Islam, proses ini melibatkan taubat yang ikhlas, memohon maaf kepada yang terluka, dan berusaha keras untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.


Di sisi lain, bagi pihak yang kepercayaannya telah dikhianati, memberikan maaf bisa menjadi proses yang sulit dan membutuhkan waktu. Islam mendorong umatnya untuk memaafkan karena sedekah hati dan untuk menjaga kerukunan dalam masyarakat.


Walaupun memulihkan kepercayaan adalah proses yang sulit dan panjang, hal itu tidak mustahil. Melalui kesabaratan, kemurahan hati, serta kesungguhan dalam bertindak sesuai dengan prinsip kejujuran dan transparansi, kepercayaan yang hilang dapat diperoleh kembali meski membutuhkan perubahan dari dalam diri individu itu sendiri.


Pada dasarnya, kepercayaan adalah fondasi yang menentukan kualitas dan kedalaman hubungan antar manusia serta antara manusia dengan Tuhannya. Sebagaimana dalam hubungan manusia dengan Allah, Islam mengajarkan bahwa kepercayaan kepada-Nya adalah inti dari ibadah, dimana muslim diharapkan untuk selalu mengandalkan, bertawakkal, dan beriman dengan sepenuh hati kepada Allah SWT.


Oleh karena itu, menjaga kepercayaan harus disertai dengan kesadaran yang terus-menerus atas nilai dan tanggung jawabnya. Kepercayaan adalah amanah yang suci, yang harus dijaga dengan penuh rasa tanggung jawab dan integritas, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkup yang lebih luas dari kehidupan sosial dan spiritual.


Alhamdulillah bisa sambil menulis nulis di pagi hari sambil mengingatkan diri bagaimana susahnya menjaga kepercayaan dan tidak merusak apabila sudah dipercaya akan sesuatu hal. Segala sesuatunya akan dipertanggungjawabkan. Sebagaimana sudah ditulis dalam Al Quran

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yasin: 65)


Pengingat diri sendiri


Catatan Mas Bojreng


#myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng

Wednesday, January 17, 2024

Sejarah ditulis oleh pemenang

Baca buku sejarah dahulu, dari jaman SD sampai belajar salah satu mapel yang saya sukai adalah sejarah bahkan sempat alternatif pengen jadi arkeolog biar kayak Indiana Jones 😁😁😁

Kenapa sejarah?


Sejarah adalah cerita yang; itulah cerminan dari jalan yang telah ditempuh. Banyak suara-suara dari masa lalu yang bisu, hanya bisa dikenang melalui buku, benda, dan situs yang mereka tinggalkan. Sejarah bukan sekadar catatan tahun-tahun penting atau peristiwa-peristiwa besar yang mengubah dunia. Ia adalah mosaic kehidupan manusia, asa dan duka yang dilalui setiap insan.


Ketika kita berbicara tentang sejarah, kita juga berbicara tentang memori kolektif yang menghubungkan kita dengan generasi sebelumnya hingga generasi yang akan datang. Kita ingin dikenang bukan hanya atas apa yang kita capai, melainkan bagaimana kita mencapai dan bagaimana kita mempengaruhi kehidupan orang lain.


Menciptakan sejarah adalah tentang memberikan sumbangsih yang akan bertahan lama; adalah tentang menanam pohon di bawah taman yang mungkin kita tidak sempat duduk di bawah teduhnya, namun generasi berikutnya akan. Sejarah adalah kenangan dan warisan yang kita serahkan, dan setiap tindakan kita hari ini adalah catatan untuk masa depan. Ini adalah panggilan bagi kita untuk hidup dengan penuh arti, untuk tidak sekadar lewat sebagai nomor atau nama, tetapi sebagai kisah yang akan menginspirasi, mengajar, dan memotivasi.


Di penghujung hari, bagaimana kita ingin dikenang nantinya tergantung pada pilihan-pilihan yang kita buat sekarang. Sejarah adalah bukti bahwa hidup kita tidak sia-sia; adalah buku tanpa halaman terakhir, di mana setiap individu memiliki kesempatan untuk menulis babnya sendiri. Jadi, mari menulis sejarah kita dengan cinta, membagikan kebaikan, dan memberikan yang terbaik bagi dunia, karena pada akhirnya, itu adalah cerita bagaimana kita ingin dikenang nantinya.


Bahkan ada yang bilang bahwa sejarah ditulis oleh kaum pemenang... 


#catatanmasbojreng #masbojreng

Perjalanan dari hidup ke mati

Refleksi Keabadian: Perjalanan Hidup dan Kematian 

Perjalanan hidup manusia ibarat sebuah alur cerita yang penuh dengan teka-teki dan misteri. Sejak lahir hingga menutup mata, setiap individu menjalani kisah yang unik, mengejar apa yang mereka anggap sebagai esensi kehidupan. Pada hakekatnya, setiap napas yang dihirup adalah tahapan demi tahapan menuju ke sebuah destinasi pasti: kematian. Namun, di balik tirai kematian tersembunyi pelajaran hidup yang mendalam, sebuah filosofi kehidupan yang tidak pernah selesai mengundang renungan. Dalam konteks Islam, perjalanan ini tidak sekedar rangkaian waktu, tapi lebih kepada pembuktian diri dan pemurnian jiwa.


Dalam Islam, kehidupan dipandang sebagai anugerah, sebuah keniscayaan yang harus dipertanggungjawabkan. Manusia diberikan waktu di dunia ini tidak untuk hidup secara sia-sia, tetapi untuk beribadah, beramal, merefleksikan diri, dan terus mencari hikmah di balik setiap detik yang berlalu. Pencarian ini bukan saja terkait dengan kekayaan duniawi atau pencarian makna eksistensial semata, tapi juga tentang bagaimana seseorang bisa mendekat kepada Penciptanya, memperbaiki diri, dan menyiapkan bekal untuk kehidupan yang abadi di akhirat.


Filosofi pencarian dalam Islam tidak terlepas dari pemahaman bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara, serupa dengan pepatah Arab yang mengatakan, "Kun fī al-dunyā ka-annaka ghārib aw ‘ābiru sabīl," yang berarti, “Jadilah di dunia ini seolah-olah engkau orang asing atau pelintas jalan.” Hal ini mendasari pandangan bahwa kehidupan sejati tidak ditemukan dalam hal-hal yang fana, tetapi pada apa yang bersifat kekal dan tidak bisa dilihat oleh mata kepala.


Setiap kehidupan akan mengalami kematian, sebuah realitas yang tak terbantahkan yang seringkali membuat manusia merasa takut atau cemas. Namun, di mata Islam, kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan transisi ke fase yang berikutnya dari eksistensi manusia. Kematian dianggap sebagai kejadian besar yang mengantarkan manusia dari kehidupan duniawi kehidupan akhirat, tempat di mana segala amal akan dinilai.


Islam mengajarkan umatnya untuk selalu ingat akan kematian, bukan karena untuk menyebarkan rasa takut, tetapi untuk mengingatkan agar selalu bersiap. "Kullu nafsin za'iqatul maut" – "Setiap jiwa akan merasakan mati" (QS. Ali-Imran [3]:185). Ayat ini bertujuan untuk membumikan kesadaran agar tidak terlalu larut dalam kehidupan duniawi dan melupakan tujuan akhir yang hakiki.


Pandangan Islam terhadap kehidupan dan kematian juga terintegrasi dalam konsep takdir. Semua yang terjadi dalam hidup, baik yang terasa manis maupun pahit, adalah bagian dari takdir yang telah ditetapkan. Ini tidak berarti manusia harus pasif menghadapi kehidupan; sebaliknya, mereka diajak untuk senantiasa berusaha, berdoa, dan bertawakkal, mengakui bahwa kehendak terakhir adalah milik Allah SWT.


Apa yang dicari dalam kehidupan seorang Muslim, jika ditanya, akan mengarah pada satu jawaban sederhana namun mendalam: Ridha Allah. Ridha atau kerelaan Allah diperoleh melalui berbagai cara, yaitu dengan mengikuti syariat-Nya, membumikan akhlak yang mulia, serta berusaha untuk konstan dalam perbaikan diri dan kebaikan sosial, sekaligus mempersiapkan diri untuk pertemuan dengan Sang Khalik.


Penutup perjalanan kehidupan seorang Muslim tidak lain ialah sebuah awal yang baru, permulaan dari kehidupan akhirat yang kekal. Kematian menjadi pintu menuju dimensi lain yang penuh rahasia, di mana waktu tidak lagi berarti dan di mana keabadian menjadi milik jiwa-jiwa yang telah berusaha dengan tulus di jalan Allah.


Muslim diajak untuk menjalani kehidupan dengan pandangan yang luas, menghargai setiap momen sebagai kesempatan untuk belajar, beramal dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Di atas semua itu, hidup menurut Islam adalah tentang menemukan keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara keinginan pribadi dan ketetapan Ilahi, antara kehidupan sementara ini dengan keabadian yang dijanjikan. Ini adalah perjalanan yang di dalamnya setiap langkah dihitung, setiap tindakan direnungkan, dan setiap nafas dianggap berharga dalam skala kehidupan yang kekal.


Perenungan dan pemikiran hari ini...

Saya hanyalah manusia yang kecil dan hina.


Catatan Mas Bojreng


#myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng

Tuesday, January 16, 2024

Ketidakpedulian adalah puncak kekecewaan

Pulang praktek cuci baju dulu, maap gak pake serbet tapi  pakai anduk ajalah yang ada haha biar ciri pencitraan tetep ada.

Kemarin sempat membaca status adik kelas saya yang sudah menjadi seorang konsulan yang cukup mewakili perasaan saya yaitu tentang ketidakpedulian adalah puncak dari akumulasi kekecewaan.


Langsung deh baca buku psikologi yang ada di gua saya dan mencoba menuliskannya.


Ketidakpedulian sering kali dianggap sebagai reaksi alami individu terhadap berbagai situasi yang dihadapinya. Namun, apabila ditelaah, ketidakpedulian bukan hanya tindakan spontan, namun memang bisa menjadi puncak dari akumulasi kekecewaan. Fenomena ini merupakan hasil dari rentetan emosi negatif yang berlarut-larut, yang akhirnya mereduksi tingkat kepedulian seseorang terhadap sesuatu atau seseorang. Terciptanya sikap acuh tak acuh ini merupakan hasil dari proses yang kompleks dan panjang, menjadi sebuah bentuk pertahanan diri psikologis terhadap rasa sakit emosional.


Pentingnya Mengenali Kekecewaan Sebagai Proses


Kekecewaan merupakan respons emosional terhadap harapan atau harapan yang tidak terpenuhi. Manusia sebagai makhluk yang berharap, secara alamiah memiliki ekspektasi terhadap berbagai hal dalam kehidupannya: relasi interpersonal, karier, pendidikan, dan lain-lain. Kekecewaan muncul saat kenyataan jauh dari apa yang diharapkan. Proses menghadapi kekecewaan ini tidak selalu linear dan sering kali memunculkan serangkaian emosi negatif.


Dalam mengelola kekecewaan, seseorang mungkin memilih untuk mengabaikan atau menghilangkan ekspresi dari emosi negatif ini, tetapi hal ini seringkali hanya merupakan solusi jangka pendek. Pada fase ini, individu belum sepenuhnya tidak peduli, tapi mulai menarik diri dari situasi yang mengecewakan, sebagai usaha menjaga kesejahteraan emosi.


Evakuasi Emosi dan Proses Menuju Ketidakpedulian


Apabila kekecewaan tidak ditangani dengan cara yang sehat, yaitu dengan mengakui, menghadapi, dan mencari solusi untuk rasa kekecewaan itu, maka emosi negatif bisa jadi terakumulasi. Setiap pengalaman kekecewaan yang ditumpuk, seperti lapisan debu yang terus menumpuk, akan membebani jiwa dan mengaburkan pandangan positif terhadap kehidupan. Ini dapat terwujud dalam bentuk sikap sinis atau mudah marah, yang pada akhirnya melahirkan sikap ketidakpedulian yang lebih mendalam.


Ketidakpedulian sebagai Armor Psikologis


Dalam dunia di mana ketidakpastian adalah standar, hanya sedikit yang bisa sepenuhnya terlindungi dari kekecewaan. Ketidakpedulian yang muncul dari akumulasi kekecewaan tersebut, secara tidak sadar, bisa menjadi armor atau baju pelindung psikologis. Lewat ketidakpedulian, individu mencoba untuk mengisolasi dan memproteksi dirinya dari rasa sakit yang mungkin ditimbulkan oleh kekecewaan lebih lanjut.


Proses ini dapat menjadi sangat merusak karena dengan membangun tembok ketidakpedulian, individu juga menghalangi pengalaman-pengalaman yang mengandung potensi positif. Mereka mungkin akan kehilangan kesempatan untuk membina hubungan yang dekat, mengejar peluang baru, atau menikmati momen-momen kecil yang membuat kehidupan berharga.


Dampak Ketidakpedulian pada Diri dan Sekitar


Ketidakpedulian yang hadir sebagai hasil akumulasi kekecewaan dapat memiliki dampak yang signifikan baik pada individu yang mengalaminya maupun pada orang-orang di sekitarnya. Secara internal, individu mungkin akan merasa terasing, kesepian, dan terkadang depresi. Mereka juga bisa kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya disukai dan melihat kehidupan tanpa tujuan atau makna.


Secara eksternal, sikap ini bisa mempengaruhi hubungan interpersonal. Ketidakpedulian bisa ditafsirkan sebagai ketidakramahan atau rasa tidak suka, yang bisa mengakibatkan kesalahpahaman dan konflik dalam hubungan. Hal ini juga dapat menghambat keefektifan kerja tim, karena kolaborasi yang baik sangat membutuhkan tingkat empati dan keterlibatan dari setiap anggotanya.


Menyembuhkan Luka dan Menumbuhkan Kembali Kepedulian


Menyembuhkan luka kekecewaan dan membangkitkan kembali kepedulian adalah proses yang tidak mudah namun tidak mustahil. Ini membutuhkan introspeksi yang mendalam dan keinginan untuk memperbaiki diri. Proses kesembuhan ini bisa dimulai dengan mengakui rasa kekecewaan, memahami mengapa ini terjadi, dan belajar menerima realitas.


Kemudian, langkah berikutnya adalah membangun kembali koneksi dengan diri sendiri dan orang lain. Ini mungkin melibatkan terapi psikologis, meditasi, atau latihan kesadaran lainnya. Langkah ini penting untuk memulihkan kepekaan dan empati terhadap pengalaman pribadi dan pengalaman orang lain.


Kepedulian sebagai Kebutuhan Sosial dan Pribadi


Manusia adalah makhluk sosial dan kepedulian tidak hanya merupakan etika sosial tetapi juga kebutuhan yang mendasar untuk kesehatan psikologis. Keterlibatan dalam komunitas, kerja sukarela, atau kegiatan lain yang mengarah pada pemberian manfaat kepada orang lain bisa menjadi cara mengaktifkan kembali kepedulian yang telah lama hilang.


Jadi ketidakpedulian adalah lebih dari sekadar sikap; ini adalah manifestasi dari rasa sakit yang belum terselesaikan, dan ia menandakan kebutuhan untuk penyembuhan. Melalui proses pengakuan, evaluasi, dan reengagement dengan dunia sekitarnya, individu dapat perlahan-lahan melepas armor ketidakpedulian dan membuka diri terhadap kehidupan yang lebih kaya secara emosional dan hubungan yang lebih penuh makna. Kekecewaan yang telah lama terkumpul tidak perlu menjadi beban seumur hidup. Melalui pekerjaan yang sadar dan terarah, ketidakpedulian dapat diatasi, mengantarkan pada era baru dimana kepedulian terhadap diri sendiri dan orang lain dihidupkan kembali, memberikan ruang bagi pertumbuhan, pembelajaran dan kedamaian yang lebih dalam.


Bisa jadi sekarang saya menjadi cenderung "tidak peduli" lagi.


Catatan Mas Bojreng malam ini sambil melakukan pencitraan.


#pencitraan #myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng

Titip Hati pada Allah

Sebagian hati kutinggal di sana, di sisi ranjang dan napas renta. Tak terucap kata, hanya diam yang bercerita, tapi ada kewajiban yang ta...