"Saya Hanyalah Manusia Biasa"
Di medan kehidupan yang beragam ini, saya menempuh jalan sebagai seorang manusia biasa. Pada esensinya, kita semua adalah sama, ciptaan Allah SWT, yang tidak satu pun dari kita hadir tanpa cacat ataupun tanpa kesalahan. Di balik tirai kehidupan yang penuh dengan prasangka dan penghakiman, kita harus mengakui bahwa kita semua berjalan dengan keterbatasan.
Saya mungkin tampak baik di hadapan orang lain, namun hanya Allah SWT yang mengetahui isi hati dan memahami setiap makna di balik tindakan. Seperti kata Muhammad bin Wasi’ rahimahullah yang begitu menyentuh, “Seandainya dosa itu memiliki bau, maka niscaya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk duduk bersamaku.” Istilah ini menjadi semacam cermin bagi jiwa yang mengingatkan kita bahwa setiap manusia memiliki kesalahan yang, jika terlihat, akan membuat kita malu ke hadirat-Nya. Oleh karena itu, saya selalu mengenang anugerah Allah SWT yang telah menutupi aib saya, melindungi saya dari malu yang tidak terkatakan.
Sebagai seorang manusia biasa, saya diliputi oleh berbagai perasaan dan emosi. Ada hari-hari ketika saya merasa hampa dan rapuh, namun juga ada hari-hari yang dipenuhi dengan syukur atas nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Keseimbangan emosi ini mengingatkan kepada saya bahwa kehidupan ini adalah tentang pertumbuhan dan pencarian keseimbangan yang konstan antara kebahagiaan dan kesedihan, antara kemenangan dan kekalahan, serta antara harapan dan keputusasaan.
Setiap hari adalah pelajaran baru, setiap interaksi adalah kesempatan untuk belajar sabar dan pemaaf. Berdoa menjadi kekuatan yang menyejukkan jiwa, dan istighfar adalah balsam yang menyembuhkan luka spiritual. Dalam setiap tarikan nafas, saya terus mengulang-ulang permohonan ampun kepada Allah SWT, berharap Dia akan menghapuskan kesalahan dan menggantinya dengan kebaikan.
Pengajaran yang saya terima dari Al-Quran sangat mempengaruhi pandangan saya terhadap kehidupan. Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi, "Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.'" (QS Al-An'am: 162). Ayat suci ini mengingatkan saya bahwa setiap aspek kehidupan—dari ritual keagamaan hingga urusan duniawi, hingga kepada kematian itu sendiri—seharusnya dilakukan dengan niat yang lurus dan untuk mendapat ridha Allah.
Dalam memahami bahwa saya hanyalah manusia biasa, saya mendapatkan kenyataan yang membebaskan. Tidak ada tekanan untuk menjadi sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Kesalahan saya adalah peluang untuk belajar, dan setiap kegagalan adalah peluang untuk bangkit lebih kuat. Setiap tawa dan air mata adalah pengalaman yang membentuk hati dan jiwa saya, menciptakan narrasi pribadi yang unik—sebuah perjalanan dari kehidupan duniawi menuju kehidupan abadi di akhirat.
Menyadari kelemahan dan kebutuhan akan ampunan membuat hati ini selalu rendah, karena setiap manusia berbagi kebutuhan yang sama untuk belas kasihan dan cinta kasih Allah SWT. Di saat-saat terendah, doa merupakan penghubung saya dengan Pencipta, dan saat sakit atau bahagia, saya mengetahui bahwa Allah tidak pernah berjarak lebih dari sejengkal dari hati saya.
Dalam rutinitas sehari-hari, saya merenung akan tanggung jawab yang diamanahkan kepada saya. Bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk menjadi cerminan bagi sesama dan terutama untuk generasi yang akan datang. Ini bukan tentang menetapkan standar yang tidak realistis untuk kemuliaan, melainkan tentang mencapai potensi penuh sebagai manusia biasa dalam kekuasaan yang Maha Kuasa.
Menjadi manusia biasa berarti saya memiliki kebebasan untuk memilih—untuk memilih kebaikan atas kejahatan, keadilan atas ketidakadilan, dan kasih sayang atas kebencian. Pilihan ini tercermin dalam tindakan sehari-hari, dalam kata-kata yang saya ucapkan, serta dalam keheningan pikiran saya. Setiap keputusan mengukir jalur yang saya tempuh, menciptakan narasi yang sama kompleksnya dengan harapan dan doa yang menyertainya.
Melalui semua ini, gagasan bahwa saya adalah manusia biasa—dan sangat bersyukurnya saya atas fakta tersebut—isinya tak lain yang mengarahkan saya kembali kepada hakikat yang sederhana namun mendalam: Saya ada karena rahmat Allah SWT dan dalam tiap langkah hidup, di setiap momen, saya berupaya untuk memenuhi tujuan penciptaan saya dengan rendah hati, penuh rasa syukur, dan dengan ketaatan yang tulus. Hidup saya adalah narasi yang terjalin erat dengan iman, harapan, dan cinta kepada Pencipta.
Pemikiran, pengingat diri dan perenungan dini hari tadi.
Catatan Mas Bojreng
#myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng
No comments:
Post a Comment