Friday, October 31, 2025

Monetisasi hobimu

Beberapa hari terakhir, dunia terasa seperti memaksa semua hal untuk bernilai materi.

“Monetisasi hobimu!” “Jadikan karya ini penghasilan!”
Setiap kata, setiap jepretan, seolah harus dihitung dalam dolar atau like.

Tapi bagaimana menjaga niat tetap Lillahi ta’ala di tengah semua itu?
Pertama, sadari niatmu sebelum mulai berkarya: bukan untuk trending, bukan untuk sorotan,
tapi untuk menyalurkan cinta yang Allah titipkan di dalam hatimu.

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan, seraya berkata: ‘Kami memberi makanan ini karena mengharapkan wajah Allah, kami tidak ingin balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.’”
(QS. Al-Insan: 8-9)

Kedua, jangan biarkan validasi dunia menandingi ridha-Nya.
Kalau orang nggak melihat, nggak apa-apa — yang penting Dia melihat.
Kalau karya tidak viral, tidak apa-apa — yang penting niatmu tetap murni.
Ketiga, jadikan setiap karya kecil itu sebagai sarana dzikir dan tafakur:
setiap foto bisa jadi pengingat keagungan-Nya,
setiap tulisan bisa jadi refleksi hati, bukan algoritma.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari & Muslim)

Dan ketika semua tergoda oleh angka, likes, atau views, ingat kata Rabiah Al-Adawiyah:
Jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka-Mu, bakarlah aku di dalamnya.
Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu, haramkanlah aku daripadanya.
Namun jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, jangan palingkan wajah-Mu dariku.

Karya, hobi, dan kata-kata kita bisa jadi doa jika lahir dari cinta sejati kepada-Nya, bukan karena tuntutan dunia.
Di sinilah keindahan seni dan ibadah bertemu: sederhana, murni, dan abadi.

“Create with your heart, offer it to Allah, and let the world be a witness, not a judge.”

Catatan Mas Bojreng

#DoItForLoveNotMoney #SoulOverCurrency #CreateForAllah #ArtWithIntention #BeyondTheLikes
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Thursday, October 30, 2025

You have to learn to crawl before you learn to walk.

Pernah nggak kamu merasa hidup ini kayak lomba lari tanpa garis start yang jelas? Semua orang terlihat bergegas—kejar target, cari hasil, buru pencapaian—sementara kamu masih di tahap “belajar jalan”. Rasanya pengin langsung ngebut, tapi entah kenapa langkah selalu tersandung di hal-hal kecil: proses, waktu, dan kesabaran. Padahal mungkin, justru di situlah rahasianya disembunyikan—di fase lambat yang sering kita anggap sia-sia.


Kita sering lupa, bahwa tumbuh itu nggak pernah instan. Alam aja butuh musim buat menumbuhkan bunga, apalagi manusia. Tapi zaman sekarang, siapa yang sabar nunggu benih jadi pohon? Semua pengin langsung panen. Kita dibesarkan dalam budaya serba cepat: sukses kilat, viral semalam, hasil tanpa perjalanan. Tapi, apa jadinya kalau hidup benar-benar dijalani seperti itu?

You have to learn to crawl before you learn to walk.

Kamu harus belajar merangkak dulu sebelum bisa berjalan. Kedengarannya sederhana, tapi itu pelajaran hidup yang paling sering diabaikan. Banyak orang mau “berlari” sebelum tahu cara menyeimbangkan langkahnya sendiri. Mereka pengin sampai cepat, tanpa sadar setiap tahap yang dilewati dengan sabar justru membentuk karakter, mengasah mental, dan menanamkan keteguhan. Karena dalam hidup, yang penting bukan cuma sampai—tapi bagaimana kamu sampai.

“Belajar Merangkak Sebelum Berlari adalah Tentang Proses, Integritas, dan Godaan Jalan Pintas”

Kita hidup di zaman instan. Kopi tinggal seduh, makanan tinggal klik, karier tinggal follow akun motivator dan ikut seminar “sukses 30 hari”. Tapi, sayangnya, kehidupan nyata nggak bisa di-microwave seperti mie instan.
Ada pepatah kuno yang bilang, “You have to learn to crawl before you learn to walk.” Kamu harus belajar merangkak dulu sebelum bisa berjalan. Kedengarannya klise, tapi justru di situ letak kebijaksanaannya. Semua yang bernilai tinggi lahir dari proses—panjang, kadang lambat, sering bikin frustrasi, tapi di situlah pembentukan karakter terjadi.

Bayangkan kalau bayi langsung bisa lari tanpa belajar merangkak. Lucu? Tidak juga. Bahaya malah. Dia bisa jatuh, terluka, dan nggak tahu cara menjaga keseimbangannya. Sama seperti hidup: kalau kita lompat tahap, kita kehilangan pelajaran penting tentang kesabaran, ketekunan, dan rendah hati.

Tidak Ada Proses Instan yang Patut Dibanggakan

Kesuksesan tanpa proses itu seperti foto yang difilter berlebihan—tampak sempurna di luar, tapi kosong di dalam.
Zaman sekarang banyak yang tergoda “potong kompas”. Mau cepat kaya, asal viral, asal naik jabatan, asal dapet hasil. Bahkan, kadang sampai “menghalalkan segala cara”.
Padahal, kalau kamu pikir lebih dalam, keberhasilan sejati bukan cuma soal hasil akhirnya, tapi juga cara mencapainya. Orang yang menanam dengan cara curang mungkin panen duluan, tapi buahnya pahit.

Proses yang Benar, Idealisme, dan Integritas

Proses yang benar bukan cuma soal disiplin, tapi juga soal integritas. Idealisme bukan untuk gaya-gayaan, tapi untuk menjaga arah agar kita nggak kehilangan nilai di tengah jalan.

Dalam Islam, hal ini bukan cuma anjuran etika, tapi prinsip hidup. Allah berfirman:
“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.’”
(QS. At-Taubah: 105)
Ayat ini sederhana tapi tajam. Allah nggak menilai hasil yang instan atau gemerlap, tapi melihat proses kerja kita—apakah dilakukan dengan jujur, sungguh-sungguh, dan berniat baik.

Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Sesungguhnya Allah mencintai apabila seseorang di antara kalian melakukan suatu pekerjaan, maka ia melakukannya dengan itqan (tepat, teliti, dan sebaik-baiknya).”
(HR. al-Baihaqi)
Itu artinya, Islam sangat menekankan proses yang benar. Tidak terburu-buru, tidak curang, dan tidak menipu.

Ketika Semua Serba Instan

Sekarang coba bayangkan dunia tanpa proses. Semua serba instan. Orang bisa jadi dokter tanpa belajar, jadi pemimpin tanpa pengalaman, jadi “influencer bijak” cuma karena punya wajah menarik dan pengikut banyak.
Hasilnya? Kacau.
Kita akan hidup di dunia yang penuh topeng dan kehampaan. Orang kehilangan makna kerja keras, kejujuran, bahkan kehilangan rasa bangga terhadap pencapaannya sendiri.
Tanpa proses, manusia kehilangan rasa syukur. Karena rasa syukur itu lahir dari perjalanan panjang—dari jatuh bangun, dari sabar menunggu, dari usaha yang konsisten.

“Tumbuh Dalam Kehendak-Nya”

Jangan tergesa memetik takdirmu,
sebab Allah menulis waktu dengan tinta kesabaran.
Setiap penantian adalah doa yang berwujud diam,
setiap luka adalah jalan pulang menuju pemahaman.

Biarlah engkau lambat, asal tidak lepas dari ridha-Nya,
karena kilat yang cepat pun sirna dalam sekejap.
Sedang yang meniti perlahan di bawah cahaya iman,
akan sampai, meski tak tahu kapan.

Akhir Kata Nikmati Prosesnya

Jadi kalau hari ini kamu merasa hidupmu “merangkak”, jangan malu. Itu bagian dari desain Ilahi. Setiap langkah kecil yang kamu ambil, meski lambat, sedang membangun pijakan untuk langkah besar berikutnya.
Dalam dunia yang serba cepat ini, justru melambat bisa jadi bentuk perlawanan paling elegan.
Karena yang terburu-buru ingin sampai, sering kali justru tersesat.
Tapi yang sabar meniti proses, insyaAllah sampai di tujuan dengan kepala tegak—dan hati tenang.

Pengingat diri Mas Bojreng

#EmbraceTheProcess #FaithInTheJourney #PatienceIsStrength #IntegrityOverInstant #GrowWithGrace
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Wednesday, October 29, 2025

Lakukan Karena Cinta — dan Karena Allah


Beberapa hari ini, orang-orang di sekitar saya mulai terdengar mirip algoritma:

“Kalau kamu suka motret, jual aja hasilnya.”
“Kalau suka nulis, monetisasi dong — sayang kalau nggak dipakai buat cari duit.”

Dan entah kenapa, setiap kali dengar itu saya cuma bisa senyum kecil.
Bukan karena saya anti duit — siapa sih yang nggak butuh?
Tapi karena buat saya, ada kenikmatan yang nggak bisa dibeli:
kenikmatan melakukan sesuatu cuma karena… saya cinta melakukannya.

Saya motret bukan buat likes.
Saya nulis bukan buat engagement.
Saya cuma pengen menikmati momen, mengabadikan rasa, tanpa harus dikonversi jadi angka.

Tapi di dunia yang segala halnya diukur dengan nilai tukar,
kesenangan tanpa imbalan itu kayak hal yang aneh, bahkan “nggak produktif”.
Seolah semua harus punya label: “apa manfaat finansialnya?”

Cuma kadang saya berpikir — apakah Da Vinci, Michelangelo, Van Gogh, Beethoven, atau Mozart pernah mikirin itu juga?
Apakah mereka berkarya demi royalti, atau demi menemukan bagian terdalam dari diri mereka sendiri?

Dan di titik itu saya sadar:
Mungkin saya tetap bisa melakukan semua ini — memotret, menulis, berkarya — bukan hanya karena suka,
tapi karena saya ingin menjadikannya bentuk ibadah.

Melakukan sesuatu Lillahi ta’ala — semata karena Allah.
Karena kalau setiap hembus napas bisa bernilai ibadah,
kenapa seni, tulisan, atau karya tidak bisa?

Islam nggak pernah melarang kita menikmati hal yang kita cintai.
Yang penting: arahkan cintanya kepada Yang Maha Layak Dicintai.

Nabi ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kalau niatnya karena Allah,
menulis bisa jadi dzikir,
memotret bisa jadi tafakur,
dan setiap langkah kecil bisa jadi amal besar.

Quotes:
“Lakukan karena cinta, dan karena Allah. Sebab yang dikerjakan Lillahi ta’ala tak butuh tepuk tangan — cukup ridha-Nya sebagai panggung.”

Pesan moral:
Kita hidup di zaman di mana segalanya bisa dijual, bahkan keikhlasan.
Tapi justru di situ nilai sejati muncul:
melakukan sesuatu bukan karena cuan, bukan karena sorotan,
tapi karena cinta yang tertuju hanya pada Allah.
Sebab yang dilakukan Lillahi ta’ala takkan pernah sia-sia — meski tak viral di dunia.

“Ketika Cinta Tak Butuh Penonton”

Aku menulis bukan untuk dibaca,
Aku memotret bukan untuk dilihat.
Ada tangan yang tak tampak menuntunku,
dan kepada-Nya semua rasa kembali patuh.

Di balik diam ada zikir yang halus,
di balik karya ada niat yang lurus.
Bukan dunia yang ingin kupuaskan,
hanya Dia yang ingin kutenangkan.

Catatan Mas Bojreng

#DoItForLoveNotMoney #SoulOverCurrency #CreateForAllah #ArtWithIntention #BeyondTheLikes
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Tuesday, October 28, 2025

Di Bawah Merah Putih yang Terlalu Berat untuk Ditiup Angin


Bendera itu berkibar, katanya tanda kita telah bebas.

Namun tiangnya tertancap di tanah hutang dan janji kosong.
Kainnya mengibar di atas kepala yang menunduk,
bukan karena hormat, tapi karena lapar yang tak sopan menegakkan punggung.

Di alun-alun, pesta dan kembang api meledak seperti tawa pejabat,
roti dibagi tipis-tipis agar rakyat tetap bersyukur,
sirkus ditambah, badut diperbanyak,
dan tepuk tangan jadi mata uang yang lebih berharga dari beras.

Sementara itu, di bawah bayang bendera yang gemetar,
seorang tukang becak menambatkan harinya pada mimpi yang sudah lelah.
Ia tahu, kemerdekaan itu seperti matahari sore —
indah dipandang, tapi pelan-pelan tenggelam di balik papan reklame.

Tidurlah, pak tua, istirahatlah sebentar dari negeri yang tak tahu malu.
Biarkan mereka berpesta atas namamu yang diam.
Benderamu masih tegak di udara,
tapi tubuhmu yang renta itulah tiang yang sebenarnya menahannya.

Mas Bojreng saatnya pulang
Refleksi 28 Oktober 1928

#FallenFreedom #RedAndWhiteIrony #BreadAndCircuses #SilentNation #RestOldMan
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Sunday, October 26, 2025

DNR bukan Tentang Menyerah

Dalam dunia kedokteran saya adalah seorang Mudblood (meminjam istilah dalam Hary Potter), kadang saya harus menjelaskan suatu keadaan medis dan tindakan pada keluarga saya yang termasuk dalam golongan Muggle.

4 bulan yang lalu adalah termasuk yang berat buat saya ketika saya memutuskan untuk menandatangani formulir DNR.

Aku tahu arti setiap kata di formulir itu.
Aku tahu bagaimana huruf D-N-R berdiri di atas kertas putih, dingin dan tegas: Do Not Resuscitate.
Sebagai dokter, aku pernah menjelaskan keputusan itu puluhan kali pada keluarga pasien lain — dengan nada tenang, dengan istilah medis yang rapi. Tapi kali ini, yang tertera di kolom nama adalah papaku sendiri.
Tanganku gemetar. Rasanya seperti menandatangani batas antara cinta dan kehilangan.
Di kepalaku, ilmu beradu dengan perasaan. Hatiku berontak, dalam diam dan sendiri air mata sempat menggenang, tapi sisi rasional tahu: CPR tidak akan mengubah apa pun, hanya memperpanjang derita yang sudah terlalu lama.

Setelah tinta mengering di kertas, aku harus berhadapan dengan hal yang lebih sulit: menjelaskan keputusan itu pada keluarga sendiri — dan pada dunia luar.
Beberapa kerabat memandang dengan mata bertanya, bahkan sinis: “Kok bisa seorang dokter malah menolak menyelamatkan ayahnya sendiri?”
Teman sejawat pun tak semua mengerti. Ada yang diam, ada yang menatap dengan pandangan samar antara simpati dan penghakiman.
Padahal bagiku, keputusan itu bukan tentang menyerah.
Itu tentang memahami batas — kapan sains berhenti berdaya, dan cinta mengambil alih dalam bentuk yang lain: membiarkan seseorang yang kita sayangi pulang dengan damai.

DNR, Saat Menolak Diselamatkan Adalah Bentuk Lain dari Cinta

Di ruang perawatan intensif yang dingin dan sunyi, monitor jantung memantulkan cahaya hijau ke wajah seseorang yang terbaring tak berdaya.
Angka-angka di layar menurun pelan.
Napasnya pendek, nyaris tak terdengar.
Dan di ujung ranjang, ada keluarga yang menggenggam tangan, menatap, lalu berbisik pelan pada dokter:
"Kalau nanti berhenti, tolong jangan dihidupkan lagi, ya..."
Kalimat itu terdengar ringan, tapi sesungguhnya mengandung pergulatan panjang:
antara harapan dan kenyataan, antara cinta yang ingin menahan dan kasih yang belajar melepaskan.
Di sanalah konsep DNR — Do Not Resuscitate — lahir: keputusan untuk tidak memaksa hidup, ketika kehidupan sendiri sudah ingin pulang.

Bukan Tentang Menyerah

Banyak orang salah paham. DNR sering dianggap sebagai tanda putus asa — padahal sejatinya, itu keputusan yang justru lahir dari kasih yang paling jujur.
DNR tidak berarti “membiarkan mati”. Ia hanya berarti tidak lagi melakukan perlawanan yang menyakitkan ketika perang sudah usai.
Kalau jantung berhenti, dokter tidak lagi melakukan CPR, tidak lagi memberi kejut listrik, tidak lagi memasukkan selang ke tenggorokan.
Tapi bukan berarti pasien dibiarkan sendirian.
Ia tetap diberi oksigen, pereda nyeri, doa, bahkan genggaman tangan yang menenangkan.
Hidupnya tak lagi diukur dari mesin, tapi dari napas yang masih hangat dan doa yang masih mengalir.

Kapan DNR Jadi Pilihan?
Biasanya, keputusan ini muncul di ujung perjalanan panjang — ketika penyakit sudah tidak bisa dilawan dengan obat, dan tubuh mulai menyerah pelan-pelan.
Ketika penyakit sudah menyebar ke mana-mana, atau paru-paru tak lagi mau bekerja tanpa bantuan mesin.
Dalam kondisi itu, resusitasi tidak lagi menyelamatkan, hanya menunda.
CPR hanya sementara mengembalikan jantung dan napas tapi tidak kesadaran.
Pasien “hidup” secara teknis — tapi bukan lagi dalam arti yang manusia pahami sebagai hidup.
Maka dokter dan keluarga duduk bersama, kadang dalam hening panjang, sebelum akhirnya satu kata keluar: ikhlas.

Hak yang Tak Boleh Diambil Siapa Pun

Meski keputusan DNR sering datang dari ruang rumah sakit, ia bukan milik dokter.
Hak untuk berkata “cukup” tetap milik pasien — atau keluarganya jika ia tak lagi bisa bicara.
Mereka berhak tahu seluruh kenyataan: kondisi tubuh, harapan, risiko, bahkan kemungkinan terbaik dan terburuk.
Tidak ada keputusan yang boleh dipaksakan. Tidak oleh siapa pun.
Dan di balik itu, ada satu hal yang lebih penting dari semua prosedur medis: martabat manusia.
Pasien berhak untuk tetap dirawat dengan lembut, dihormati, didampingi — bukan sekadar “dijaga agar tetap bernapas”.

Ketika Cinta Bertemu Dilema

Kadang cinta justru membuat kita takut membiarkan seseorang pergi.
Kita ingin terus berjuang, terus berharap, karena kita tak siap kehilangan.
Tapi di titik tertentu, perjuangan itu bisa berubah bentuk — dari “menyelamatkan” menjadi “menahan”.
DNR mengajak kita menatap kenyataan paling jujur: bahwa hidup bukan sekadar panjang, tapi juga tentang cara yang bermartabat untuk pulang.
Kadang cinta yang sejati bukan tentang menambah napas, tapi tentang memberi ruang bagi jiwa untuk beristirahat.

Islam dan Kelembutan dalam Menerima Takdir

Dalam pandangan Islam, hidup adalah amanah, tapi kematian bukan kegagalan.
Selama niatnya bukan untuk mempercepat ajal, Islam justru memberi ruang untuk keputusan seperti DNR.
Majma’ al-Fiqh al-Islami — semacam dewan fatwa dunia Islam — pernah menegaskan:
“Kalau dokter yang kompeten sepakat bahwa kondisi pasien tak bisa diperbaiki, maka penghentian alat bantu hidup diperbolehkan.”
Artinya, Islam memahami: ada batas di mana ikhtiar berubah menjadi penyiksaan.

Di titik itu, membiarkan tubuh kembali kepada fitrahnya bukan dosa — itu bentuk rahmah, kasih yang lembut dan bijak.
Yang tak boleh dilupakan hanyalah satu: manusia tetap harus dirawat, didoakan, dihormati.
Karena nyawa bukan sekadar detak jantung — ia juga kehadiran, doa, dan kehangatan orang-orang yang mencintai.

Tentang Ikhlas dan Keberanian

DNR bukan keputusan yang mudah.
Ia menuntut keberanian — bukan untuk menantang kematian, tapi untuk menerimanya dengan damai.
Ia menuntut keikhlasan untuk mengatakan, “Kami sudah berjuang, kini biarlah Tuhan yang melanjutkan.”
Mungkin di situlah makna terdalamnya: menolak diselamatkan bukan karena menyerah, tapi karena akhirnya kita sadar —
bahwa hidup bukan soal berapa lama kita bernapas, tapi seberapa tenang kita melepaskannya.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Kita milik Allah, dan kepada-Nya-lah kita pulang.

Sekarang, Papa sudah tidak sakit lagi. Tidak ada lagi selang, tidak ada lagi mesin yang berbunyi tanpa henti. Hanya doa yang masih mengalir setiap kali namanya saya sebut dalam sujud. Saya percaya, ia sudah kembali ke haribaan Allah SWT — tempat paling tenang yang bisa didapatkan oleh jiwa yang lelah. Tapi di setiap hening malam, saya masih sering berbisik pelan dalam hati: Ya Allah, ampunilah hamba atas keputusan itu. Jika aku khilaf, maka itu karena aku hanya ingin Papa tak lagi menderita.

Dan kepada Papa, saya selalu berkata dalam diam: Maafkan anakmu, Pa, kalau aku belum sempat membuatmu bangga. Tapi aku percaya, kasih sayangmu tetap ada di setiap langkahku — bahkan dalam keputusan paling berat yang pernah kuambil.

Di Ujung Nafas Ayah

Di ruang yang sunyi waktu berhenti,
kutatap wajahmu, setenang pagi.
Antara cinta dan keikhlasan,
kupeluk perpisahan tanpa kata.

Kini kau pulang lewat cahaya,
meninggalkan sakit bersama doa.
Kupasrahkan rinduku pada Tuhan,
sebab cinta tak mati, hanya berpulang.

Memori Mas Bojreng dalam sendiri

#LoveBeyondLife #LettingGoWithGrace #SilentGoodbye #FaithAndFarewell #EternalPeace
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Saturday, October 25, 2025

Jejak di Antara Waktu

Sudah empat minggu Papa berpulang ke haribaan Allah SWT, tapi rasanya seperti baru kemarin beliau tersenyum sambil menatap tajam — tatapan khas yang bisa bikin saya langsung sadar diri. Nasehat-nasehatnya masih terngiang, seolah suara itu belum pernah benar-benar pergi. Salah satu yang paling saya ingat itu waktu SMP dulu. Saya ketahuan belajar naik motor, pakai motor pinjaman pula. Papa manggil saya, duduk tenang tapi suaranya tegas, “Saya tahu kamu belajar naik motor. Umurmu berapa? Tahu aturan naik motor umur berapa? Kalau ada apa-apa, kamu tanggung sendiri.”

Ya sudah, habis itu saya langsung kapok. Gak berani lagi nyentuh motor sampai waktu yang tepat.

Dan lucunya, waktu saya kelas dua SMA, tiba-tiba Papa yang manggil, “Sekarang kamu belajar motor, sudah waktunya.” Saat itu saya baru paham — bukan soal larangannya, tapi soal waktunya. Papa selalu hidup “by the rules”. The rules is the rules, titik. Gak ada tapi, gak ada alasan.

Ketepatan waktu pun sama. Kalau Papa janjian jam tujuh, bisa dipastikan jam enam tiga puluh sudah nongkrong di tempat. “Kalau kamu telat, berarti kamu gak menghargai waktu orang lain,” begitu katanya.

Dalam pandangan Islam, patuh sama aturan dan tepat waktu itu bukan cuma soal disiplin, tapi soal akhlak. Rasulullah ﷺ pernah bilang, “Tanda orang munafik itu tiga: kalau bicara bohong, kalau janji ingkar, dan kalau dipercaya malah khianat.” (HR. Bukhari & Muslim). Jadi kalau kita janji jam tujuh tapi datang jam delapan, itu bukan cuma soal telat — tapi soal menepati amanah. Allah juga ngingetin, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan jangan rusak amalmu.” (QS. Muhammad: 33). Hidup taat aturan itu bukan berarti kaku, tapi justru cara kita nunjukin rasa hormat — ke orang lain, ke waktu, dan ke Allah yang kasih kita waktu itu sendiri.

Sekarang, setiap kali saya menepati waktu atau menahan diri buat gak jalan pintas, saya tahu itu warisan dari Papa. Hidup ini memang lebih tenang kalau dijalani dengan aturan dan ketepatan — bukan karena kaku, tapi karena di sanalah letak tanggung jawab dan integritas.

Papa mungkin sudah pergi, tapi nilai-nilainya masih jadi kompas yang menuntun langkah saya setiap hari.
Inshaa Allah pa, sampai sekarang kalau saya bikin appointment selalu diusahakan tepat jam nya.

Jejak di Antara Waktu

Di matamu, aku belajar diam,
bahwa kasih tak perlu suara.
Di langkahmu, waktu berhenti,
menyimpan arti dalam sederhana.

Kini engkau pergi tanpa jarak,
tapi hadir di setiap sunyi.
Hukum hidup tetap berlaku —
cinta abadi dalam disiplin yang suci.

Catatan Mas Bojreng teringat akan kenangan

#AlwaysOnTime #FollowTheRules #LegacyOfDiscipline #FromPapaWithLove #IntegrityLivesOn
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Friday, October 24, 2025

Piala Susu yang Tak Pernah Habis Cerita tentang Karsi Si Sapi


Di negeri jauh bernama Mahtog, di mana burung-burung bisa bicara dan sapi-sapi hidup ratusan tahun, hiduplah seekor sapi legendaris bernama Karsi. Dulu, tiap tetes susu Karsi jadi rebutan. Kental, harum, dan bergizi tinggi. Ia selalu menang di setiap lomba susu tahunan — bahkan juri-juri pun sering bilang, “Karsi bukan sapi biasa, dia simbol kemakmuran Mahtog.”

Waktu berlalu. Pemilik Karsi berganti beberapa kali. Tapi setiap pergantian, kasih sayang yang dulu hangat berubah jadi hitungan laba. Karsi masih diperah setiap pagi, tapi makanan yang dulu penuh vitamin kini cuma jerami seadanya. Air minumnya pun keruh, kandangnya semakin kumuh. Dari luar masih tampak megah — tembok dicat baru, papan nama “KANDANG SAPI JUARA KLASIK MAHTOG” masih berdiri gagah. Tapi masuk sedikit ke dalam, lantainya becek, udara apek, dan tikus-tikus berbaris seperti sedang rapat koordinasi.

Sementara itu, sang pemilik justru makin gemuk dan senang berpesta. Ia sering mengundang tamu, menghidangkan keju dan susu dari Karsi — sambil tertawa keras, membual tentang kejayaan masa lalu. Ia minum anggur sambil berkata, “Lihat betapa hebatnya sapi kita!” tanpa menoleh sedikit pun ke kandang tempat Karsi berdiri lemah. Ironisnya, tubuh Karsi semakin kurus kering, iga-iganya menonjol, tapi sang pemilik hanya menambah ukuran sabuknya dan jumlah pialanya di lemari.

Karsi tetap diperah. Tubuhnya makin kurus, matanya cekung, tapi pemiliknya sibuk bercerita pada tamu, menunjukkan foto-foto lama saat Karsi menang piala besar, berkata dengan bangga,
“Lihat ini… dulu Karsi bisa menghasilkan susu terbaik se-Mahtog! Dulu, semua sapi meniru Karsi!”

Sayangnya, kata “dulu” itu jadi mantra yang paling sering diucapkan di kandang itu. Sementara, kandang-kandang lain di sekitar mulai berbenah: ventilasi bagus, makanan bergizi, sapi-sapinya gemuk dan sehat. Susu mereka makin banyak, makin berkualitas. Tapi sang pemilik Karsi masih duduk di beranda depan kandang, tersenyum sambil menatap foto-foto lama dan berkata pada dirinya sendiri, “Tak apa, yang penting dulu kita pernah hebat.”

Malam-malam di Mahtog makin dingin. Tikus makin ramai berpesta di jerami busuk. Karsi berdiri diam, menatap bulan, napasnya berat. Seolah ia tahu, penghormatan masa lalu tak bisa menunda lapar, tak bisa menggantikan kasih sayang, tak bisa memperbaiki kandang yang roboh dari dalam.

“Tak ada yang lebih berbahaya bagi kejayaan,” kata seekor burung gagak yang hinggap di atap kandang, “selain pemilik yang lebih sibuk bernostalgia daripada berbenah.”

Dan kini, Karsi masih berdiri di tengah kandang yang bau dan retak, tubuhnya tinggal bayangan masa silam. Tapi kalau semuanya tetap seperti ini — kalau sang pemilik masih lebih suka berpidato tentang kejayaan daripada memberi makan — mungkin tinggal menunggu waktu sebelum Karsi mati berdiri, dengan tubuh kering, susu habis, dan foto-foto lamanya jadi bahan pamer terakhir.

Karena di Mahtog, seperti di banyak tempat lain, kematian kadang bukan datang karena usia — tapi karena ketidakpedulian yang dibiarkan hidup terlalu lama.
Dan mungkin benar. Di negeri yang penuh penghargaan masa lalu itu, kadang yang paling cepat mati bukanlah sapi, tapi akal sehat mereka yang memerahnya.

Piala Susu yang Tak Pernah Habis

Di kandang berlapis cat kejayaan,
tikus berbaris rapi seperti staf istana.
Sapi tua masih diperah dengan doa lama,
padahal susunya cuma tinggal nostalgia.

Pemilik tersenyum di depan foto berbingkai emas,
bicara tentang masa saat rumput masih hijau dan ikhlas.
Kini jerami busuk pun disebut kemakmuran,
dan lapar didefinisikan ulang sebagai kesetiaan.

Mas Bojreng bercerita tentang dunia fabel. Jangan baperan ya

#ForgottenGlory #SilentDecay #NostalgiaTrap #GoldenPastRustedNow #WhenCareDies
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Thursday, October 23, 2025

Sepi yang Jujur


Di antara rerumputan kering dan dedaunan gugur, seekor semut hitam berjalan sendirian. Namanya Laka. Ia bukan tersesat — ia memilih pergi. Koloni tempatnya dulu penuh dengan semangat kerja, tapi juga penuh sandiwara. Mereka bicara tentang kebersamaan, tapi diam-diam saling injak demi setitik gula. Laka muak melihat pura-pura itu. Ia ingin mencari tempat di mana jujur nggak dianggap bodoh, di mana kerja tulus nggak harus dibayar dengan pujian palsu.

Sepanjang jalan, Laka sering ditertawakan serangga lain. “Mana bisa semut hidup sendirian?” kata mereka. Tapi Laka cuma tersenyum tipis. Ia tahu, kadang kesepian lebih jujur daripada kebersamaan yang penuh topeng. Di bawah sinar matahari sore, ia terus melangkah — kecil, tapi mantap. Dalam diamnya, ia menemukan kebebasan: bahwa lebih baik jadi semut yang sepi tapi asli, daripada ramai dalam kepalsuan.

Sepi yang Jujur


Aku berjalan dari keramaian palsu,

meninggalkan tawa yang beracun lembut.

Di sunyi aku bicara pada hatiku,

dan kutemukan Tuhan tanpa suara.


Aku tak lagi takut sendiri,

sebab kebenaran tak butuh saksi.

Angin membisikkan rahasia damai,

di antara langkah semut dan nurani.


Catatan Laka... eh Catatan Mas Bojreng


#HonestSoul #TinyRebel #NoMaskJourney #AntWisdom #WalkYourTruth#ant #ants #antslife #antsofinstagram #macro #macroworld #macrophoto #macrophotography #bokeh #bokehlens #bokeh_kings#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng

Wednesday, October 22, 2025

Di Antara Kata dan Laku

Kalimat Batman, “It’s not who I am underneath, but what I do that defines me”, kelihatannya cuma dialog film superhero, tapi maknanya dalam banget — apalagi kalau ditarik ke kehidupan nyata. Banyak orang sibuk membangun citra “aku orang baik, aku punya prinsip”, tapi lupa bahwa nilai diri nggak diukur dari omongan, tapi dari aksi nyata.

Bruce Wayne nggak perlu ngumumin siapa dia, karena tindakannya udah bicara lebih lantang dari kata-kata. Intinya, identitas sejati bukan soal apa yang kita sembunyikan di dalam, tapi apa yang kita lakukan ketika nggak ada yang lihat.

Menariknya, Islam juga ngomong hal yang sama — bahkan lebih tajam. Allah berfirman, “Dan di antara manusia ada yang berkata: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,’ padahal mereka bukanlah orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 8). Ini bukan cuma soal munafik dalam arti berat, tapi tentang jarak antara ucapan dan tindakan. Nabi ﷺ juga pernah bilang, “Tanda orang munafik ada tiga: kalau bicara dia bohong, kalau berjanji dia ingkar, kalau dipercaya dia khianat.” (HR. Bukhari & Muslim). Artinya, integritas itu nggak bisa cuma jadi teori. Hati yang baik harus punya jejak di langkah dan laku.

Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Jadi, yang bikin seseorang berharga di sisi Allah bukan status, bukan penampilan, tapi apa yang ia lakukan dengan niat yang benar.

Pesannya: kebaikan nggak butuh panggung, amal nggak perlu caption. Jadilah orang yang perbuatannya membuktikan apa yang hatinya yakini — karena di hadapan Allah, bukan kata-kata yang didefinisikan, tapi amal yang diperhitungkan.

Di Antara Kata dan Laku

Jangan katakan engkau cahaya, bila langkahmu masih bersembunyi dalam gelap,
Karena dunia tak menilai dari bisik hati, tapi dari jejak yang kau tinggalkan di tanah.
Cinta pada kebenaran tak hidup dalam ucapan yang lembut,
Ia bernafas dalam keberanian saat tak ada mata yang melihat.

Iman bukan nyanyian yang indah di bibir,
Ia adalah kesunyian yang bekerja tanpa perlu nama.
Dan manusia, wahai jiwa, bukanlah siapa yang ia akui,
melainkan apa yang ia lakukan ketika tidak ada yang mengakuinya.

Catatan Mas Bojreng

#DoGoodForAllah #FaithInAction #IkhlasItuKeren #WalkTheTalk #AmalLebihNyata
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Tuesday, October 21, 2025

“Tidur yang Aman dan Nyaman Buat Ibu Hamil: Dari Mimpi Manis sampai Trimester Akhir”

 

Sering saya ditanya oleh seorang ibu hamil. Dok kalau saya tidur harus bagaimana?

Saya menjawab ya merem bu 😁

Malam itu seorang ibu hamil gelisah di ranjang. Perutnya yang makin besar bikin dia nggak tahu harus miring ke mana. Miring kanan terasa sesak, miring kiri cepat pegal, telentang malah kayak ada batu di dada. “Duh, posisi tidur ibu hamil tuh yang bener gimana sih?” gumamnya. Nah, kalau kamu kayak ibu hamil tersebut—selamat datang di klub ibu hamil yang tengah berjuang mencari posisi tidur yang damai di antara tendangan kecil dan pinggang nyut-nyutan. Tapi tenang, ada ilmu di balik kenyamanan itu, dan tiap trimester punya “aturan main”-nya sendiri.

Di trimester pertama, posisi tidur belum terlalu “drama”. Rahim masih kecil, jadi kamu bebas memilih—telentang, miring, bahkan tengkurap kalau masih nyaman, semua masih aman. Tapi mulai sekarang, biasakan tidur miring ke kiri. Ini posisi yang disarankan dokter karena bantu aliran darah dari jantung ke janin lewat plasenta, sekaligus bantu kerja ginjal membuang sisa cairan tubuh.

Masuk trimester kedua, rahim mulai menekan pembuluh darah besar di punggung, jadi posisi telentang mulai kurang aman. Kalau tetap dipaksakan, bisa bikin pusing atau mual karena aliran darah ke jantung berkurang. Solusinya: tidur miring ke kiri, selipkan bantal di antara lutut dan di bawah perut biar posisi tetap nyaman. Di trimester ketiga, tambahkan bantal di punggung agar nggak terguling telentang tanpa sadar, atau coba posisi setengah duduk kalau perut sudah “berat banget”.

Nah, soal mitos—banyak banget yang bikin ibu hamil malah tambah bingung. Ada yang bilang tidur miring kanan bikin bayi lilit tali pusar, atau miring kiri bikin janin “tertekan”. Faktanya, tali pusar melilit itu karena gerakan janin, bukan posisi tidur ibu. Tubuhmu jauh lebih pintar dari yang kamu kira: kalau posisi tidur nggak aman, tubuh akan protes—entah lewat rasa sesak, nyeri punggung, atau pegal. Jadi jangan kejar posisi “ideal” versi orang, tapi dengarkan tubuhmu sendiri. Seperti pesan pesan dari dokter: “Ibu yang bisa tidur tenang, itu tandanya bayinya juga ikut tenang.” Ingat, tidur bukan sekadar istirahat, tapi cara tubuhmu mempersiapkan tenaga untuk pertemuan paling indah: saat si kecil akhirnya lahir ke dunia. 🌙

Catatan Mas Bojreng

#TipsIbuHamil #TidurSehat #KehamilanBahagia
#PregnancyTips #HealthyMama #SleepWellBabyWell #MomToBeJourney #MaternityCare #catatanmasbojreng #masbojreng 

Sunday, October 19, 2025

Dari Layar Hijau ke Dunia AI: Anak Kuno yang Gak Bisa Gaptek

Sejak tahun 85-an, waktu anak-anak lain masih asik main gundu dan layangan, saya sudah duduk di depan komputer XT dengan layar hijau yang cuma bisa menampilkan huruf-huruf kotak kaku. Almarhum papa yang mengenalkan dunia itu — dunia WordStar, WordPerfect, Lotus, dBase, sampai bahasa pemrograman Basic dan Pascal yang waktu itu terdengar seperti mantra ajaib. Waktu SMP, komputer di rumah naik kelas jadi AT 386 lalu 486, tapi printer-nya tetap si setia LX 800 yang suaranya berisik banget tiap kali nyetak. Dari kecil, jari-jari saya sudah hafal tarian tombol QWERTY, seperti teman lama yang selalu setia menemani.

Papa selalu bilang, “Ikuti zaman, jangan sampai kamu yang dikibulin zaman.” Nasehat itu nempel banget di kepala. Kadang lucu juga, sekarang kalau ada yang ngira saya gaptek atau nggak ngerti teknologi, rasanya pengin ketawa—karena sejak SD, saya sudah hidup di antara deru kipas komputer dan tumpukan disket. Mungkin papa nggak sempat lihat dunia internet dan AI kayak sekarang, tapi semangatnya tetap relevan: jangan berhenti belajar, karena teknologi nggak nungguin siapa pun.

Quotes:
"Orang yang berhenti belajar akan digilas oleh waktu; sementara yang mau beradaptasi, akan menulis masa depannya sendiri."

Warisan dari Layar Hijau

Di depan layar hijau aku belajar diam,
huruf-huruf menari di antara bunyi kipas dan waktu,
ayah menanam benih ilmu di jemari kecilku,
tentang masa depan yang tak boleh ditinggal lalu.

Kini zaman berlari, tapi pesannya tetap bergaung,
“Jangan takut pada perubahan, takutlah bila berhenti tumbuh.”
Aku menulis takdirku di papan kunci yang sama,
dengan semangat seorang anak yang masih berbincang dengan bayang ayahnya.

Catatan Mas Bojreng

#FromGreenScreenToAI #TechNostalgia #NeverStopLearning #LegacyOfWisdom #OldSchoolToFuture
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Nasehat lirih..... ketika ada rasa rindu di hati

Dodolan soto ....

Sarapan sarapan...

Soto soto...

Serbet sudah disampirkan di bahu ... pencitraan dimulai....

Nasehat almarhum Papa masih sering datang tanpa diundang — kadang lewat suara di kepala, kadang lewat rasa di hati. Seolah beliau nggak pernah benar-benar pergi, cuma berpindah tempat. Setiap kali saya mulai lelah, ingin berhenti, atau kecewa sama perlakuan orang, saya bisa dengar jelas suaranya: “Jujur, sederhana, kerja keras, jangan cari pujian. Kalau kamu baik sama orang, lupakan. Tapi kalau orang baik sama kamu, jangan pernah kamu lupakan.” Kalimat itu nggak cuma nasihat, tapi semacam kompas hidup yang terus menuntun arah ketika langkah mulai kabur.

Saya masih ingat bagaimana Papa selalu menekankan untuk kerja sesuai aturan, jaga adab dan etika, jangan menunda, selesaikan dengan sungguh-sungguh. Katanya, semua harus dilakukan dengan senyum dan hati yang ikhlas, karena yang kita kejar bukan pujian manusia, tapi ridha Allah. Pesan terakhir yang paling membekas juga terus saya genggam: “Permudah urusan orang lain, nanti Allah yang permudah urusanmu. Bikin orang lain bahagia, nanti Allah yang bahagiain kamu.” Sekarang, setiap kali saya mencoba menjalani hidup dengan cara itu, rasanya Papa masih di sini — tenang, tersenyum dari tempat yang lebih damai, melihat anaknya berusaha menapaki jejak yang dulu pernah ia buat dengan begitu tulus.

Catatan Mas Bojreng pagi ini

#FathersWisdom #LegacyOfLove #GuidedByFaith #ForeverInMyHeart #RestInPeacePapa #catatanmasbojreng #masbojreng

Wednesday, October 15, 2025

Bisikan yang Pernah Diajar Papa


Astaghfirullah…

Panas menjalar ke dada, nyala tanpa suara,
Namun terngiang lembut petuah lama:
Berwudhulah, Nak, sebelum amarah menjelma bara.

Di sudut hati, nasihat itu mengetuk perlahan,
“Jauhilah mereka yang menyalakan murka,
Diam dan menyingkirlah…
Bukan semua api perlu kau lawan.”

Empati kini bagai daun kering tersapu angin,
Jarang singgah, sering dilupakan,
Manusia sibuk menjunjung diri,
Lupa menengok luka di hati sesama.

Maka aku kembali, menunduk hening,
Air wudhu menyapa kulit yang panas,
Istighfar menyejukkan jiwa yang retak,
Dan hati pun pulang… ke teduhnya ajaran papa.

Mas Bojreng menyingkir


#Reflection #InnerPeace #SelfControl #EmpathyMatters #SpiritualCalm
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Tuesday, October 14, 2025

Sajadah yang Kembali

Sajadah ini oleh-oleh dari orangtuaku, sepulang haji tahun 1987. Sejak itu selalu kupakai setiap kali sholat ied — Idul Fitri maupun Idul Adha. Ada semacam keharuan setiap kali membentangkannya, seolah ikut terbentang juga kenangan masa kecil, wangi tanah pagi, dan suara takbir yang menggema di udara.


Lalu suatu hari sajadah itu hilang. Entah di mana. Mungkin terselip saat pindahan rumah, mungkin tertinggal di masa lalu. Aku sudah lama berhenti mencari, hanya sesekali teringat… dan menghela napas.

Sampai hari itu tiba — hari saat papa pergi untuk selamanya.
Di tengah duka yang menekan dada, tiba-tiba sajadah itu muncul kembali. Begitu saja. Tergeletak di dekat tempat tidur papa, tempat beliau biasa beristirahat. Tak ada yang tahu bagaimana bisa sampai di situ. Seakan ia datang sendiri, pulang untuk menunaikan tugas terakhirnya.
Sajadah itu kami bentangkan di atas keranda, tepat di bagian kepala. Ia menemani dari rumah sampai ke masjid, dari sholat jenazah hingga ke pemakaman. Di atasnya, doa-doa mengalir, air mata jatuh, dan keheningan jadi bahasa paling dalam.

Kini sajadah itu bersamaku di Tegal. Menjadi tempatku bersujud, lama dan sering. Di atasnya aku berbicara kepada Allah, memanggil-Nya dengan suara yang kadang hanya terdengar oleh hati.
Ya Allah,
jangan hilangkan kenikmatan bersujud di hadapan-Mu.
Ya Muqallib al-qulub, tsabbit qalbi ‘ala deenik.
Dan setiap kali kening ini menyentuh sajadah itu, rasanya seperti menyentuh jejak kasih seorang ayah yang tak pernah benar-benar pergi.

Sajadah yang Pulang Sendiri
Di ujung sepi, sajadah tua itu pulang sendiri,
membawa wangi tanah sujud dan sisa napas ayahku.
Di serat-seratnya masih tersimpan doa yang belum selesai,
dan rindu yang tak pernah sempat berpamitan.

Kini di atasnya aku bersujud berlama-lama,
menyusuri jejak kasih yang tak tampak mata.
Kupeluk hening, kupanggil nama Allah,
agar hatiku tetap teguh di jalan-Nya.

Mas Bojreng dalam diam

#PrayerMat #EternalLove #FaithAndMemory #WhisperToGod #HeartInSujood
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Monday, October 13, 2025

Seminggu Setelah Kau Pulang, Pa


Sudah seminggu, Pa,

kau kembali ke Allah,
tapi suaramu masih di rumah,
bergema di dada yang belum sempat reda.

Kau ajarkan aku jujur,
tegar tanpa tepuk tangan,
berdiri di jalan lurus
meski sepi yang menemani.

Kau bilang, “Jika kau berbuat baik, lupakan.
Tapi jika orang berbuat baik padamu, ingat selamanya.”
Kalimat itu kini jadi doa,
aku simpan di antara napas dan langkah.

Kini kau tak lagi sakit, Pa,
hanya damai yang menyelimuti.
Aku masih belajar menjadi seperti yang kau contohkan —
menjadi baik, tanpa perlu terlihat baik.

Mas Bojreng dalam diam

#FatherInHeaven #LegacyOfHonesty #ForeverInMyHeart #LessonsOfLove #RestInPeacePapa
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Saturday, October 11, 2025

Kejserens nye Klæder. Sebuah cerita dari masa kecilku dahulu


Entah kenapa saya teringat kisah karya HC Andersen yang pernah saya baca waktu masih kecil dahulu, kisah menarik dengan judul aslinya adalah Kejserens nye Klæder. 

Di sebuah negeri yang makmur tapi agak narsistik, hiduplah seorang kaisar yang cintanya pada pakaian melebihi cinta rakyatnya pada kehidupan itu sendiri. Setiap jam ganti baju, setiap hari pamer gaya. Kalau ada ajang “Fashion Emperor of the Year”, dia pasti langganan juara. Urusan perang, ekonomi, atau rakyat kelaparan? Ah, nanti dulu—yang penting mantel baru sudah datang atau belum.

Suatu hari, dua orang asing datang dengan senyum licik dan mulut manis. Mereka mengaku penenun hebat dari negeri jauh, membawa penemuan ajaib: kain yang begitu istimewa sampai-sampai orang bodoh atau yang tak pantas dengan jabatannya tidak akan bisa melihatnya. Bukan cuma mode, tapi juga alat tes kecerdasan dan moral! Sang kaisar langsung terpikat—karena, hei, siapa yang mau dianggap bodoh?

Maka dimulailah proyek besar itu. Dua “penenun” palsu diberi benang, emas, dan fasilitas mewah untuk menenun di alat tenun kosong. Hari demi hari, mereka berpura-pura bekerja keras, menggulung udara, memotong angin, sementara para pejabat datang memeriksa hasil “karya” mereka. Tapi karena tak ingin tampak tolol, semua pura-pura kagum.
“Wah, indah sekali warnanya!”
“Coraknya sungguh halus!”
Padahal yang mereka tatap cuma kekosongan yang menyolok mata.
Akhirnya giliran kaisar sendiri datang. Ia melotot, tapi—tidak ada apa pun di sana. Kosong. Tapi tentu, gengsinya terlalu mahal untuk diobral dengan kejujuran. Jadi dia pun ikut memuji. “Luar biasa! Anggun sekali! Aku akan mengenakannya saat parade besar nanti!”

Dan tibalah hari itu. Dua penipu itu “membantu” sang kaisar mengenakan baju yang tidak ada, memuji betapa pas potongannya, betapa lembut bahannya. Kaisar berdiri di depan cermin, telanjang bulat tapi penuh keyakinan. Lalu ia berjalan keluar, dengan kepala tegak dan tubuh berkilau oleh… cahaya matahari dan rasa percaya diri palsu.
Rakyat bersorak. Semua ikut berpura-pura, karena takut disebut bodoh. “Indah sekali! Lihat jubahnya yang gemerlap!” Tapi di tengah kerumunan, suara polos seorang anak kecil menembus segala kepalsuan itu:
“Lho, kaisarnya nggak pakai baju!”
Hening sejenak. Semua mata terbuka. Lalu bisik-bisik menjalar seperti angin: “Anaknya benar… kaisarnya telanjang.” Tapi kaisar, walau tahu dirinya sudah terbongkar, tetap melangkah dengan dada tegap. Karena apa lagi yang bisa ia lakukan, selain pura-pura percaya pada kebohongan yang sudah telanjur jadi tontonan publik?

Cerita ini kelihatannya lucu, tapi tajam banget sindirannya. Andersen, lewat dongeng sederhana ini, menelanjangi penyakit klasik manusia: takut jujur karena takut malu. Kadang yang membuat dunia penuh kepura-puraan bukanlah para penipu, tapi orang-orang yang diam, pura-pura tidak melihat, agar tetap aman dalam ilusi bersama.
Jujur itu memang berisiko—tapi, seperti anak kecil dalam cerita itu, keberanian berkata apa adanya sering jadi satu-satunya cara untuk menyelamatkan akal sehat di tengah parade kebodohan massal.

Kaisar dan Bayangan

Ia berjalan di jalan kemegahan, telanjang dalam kebesaran palsu,
Diselimuti tepuk tangan yang terbuat dari ketakutan dan dusta,
Namun kebenaran meniti di bibir seorang anak kecil,
Menelanjangi kemuliaan yang hanya sebatas kain ilusi.

Betapa sering manusia berpakaian dari pujian kosong,
Takut pada jujur lebih dari takut pada aib,
Padahal keindahan sejati bukan pada sutra yang membungkus tubuh,
Melainkan pada keberanian menampakkan diri apa adanya.

Catatan Mas Bojreng berdasarkan cerita dari HC Andersen

#TheEmperorsNewClothes #TruthAndIllusion #FearAndPride #VoiceOfInnocence #NakedHonesty
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Wednesday, October 8, 2025

Senja di Pelukan Doa


Tempat tidur kini sunyi
Papa tak lagi merintih
Mataku hanya menatap
Rindu menetes pelan

Doa kupanjat ke langit
Husnul khotimah untukmu
Hati tetap mencoba tabah
Cinta abadi tak terganti

Mas Bojreng dalam diam

#Farewell #EternalLove #InLovingMemory #PeacefulRest #PrayersToHeaven
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng

Monday, October 6, 2025

Jejak Sunyi Seorang Ayah

 

Di matamu, aku belajar arti teguh,

Idealisme bukan sekadar kata—ia napasmu,
Disiplinmu mengalir bagai sungai jernih,
Integritasmu tegak seperti pohon tua menolak badai.

Engkau ajarkanku menakar tiap langkah,
Ketelitianmu seperti tukang ukir pada kayu kehidupan,
Engkau tak bersuara, namun teladanmu lantang,
Dalam kesederhanaan, engkau menyimpan kemuliaan.

Engkau berkata tanpa kata: “Jangan kejar dunia,”
Nilai bukan pada emas, tapi pada jiwa yang lurus,
“Sabarlah, kendalikan bara dalam dada,” katamu,
“Berhentilah saat adzan memanggil—langkahkan kakimu ke masjid.”

Kini, rumah terasa sunyi tanpa nasihatmu,
Tapi warisanmu bukan harta, melainkan arah,
Langkahku kerap gontai menapak jejakmu,
Namun bayangmu selalu menuntunku dalam diam.

Papa… maafkan anakmu,
Bila belum mampu membuatmu bangga,
Kini engkau telah tenang, tak lagi sakit,
Dalam doa, kutitipkan rinduku pada Allah SWT.

Mas Bojreng dalam diam

#FatherLegacy #SilentWisdom #TimelessValues #GuidingLight #EternalLove
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Di Teras Senja, Percakapan Sunyi Seorang Tua dengan Tuhannya

Seorang pria tua duduk di teras rumahnya, ditemani secangkir kopi yang sudah dingin dan pikiran yang tak mau diam. Dulu, ia bekerja karena c...