Di negeri jauh bernama Mahtog, di mana burung-burung bisa bicara dan sapi-sapi hidup ratusan tahun, hiduplah seekor sapi legendaris bernama Karsi. Dulu, tiap tetes susu Karsi jadi rebutan. Kental, harum, dan bergizi tinggi. Ia selalu menang di setiap lomba susu tahunan — bahkan juri-juri pun sering bilang, “Karsi bukan sapi biasa, dia simbol kemakmuran Mahtog.”Waktu berlalu. Pemilik Karsi berganti beberapa kali. Tapi setiap pergantian, kasih sayang yang dulu hangat berubah jadi hitungan laba. Karsi masih diperah setiap pagi, tapi makanan yang dulu penuh vitamin kini cuma jerami seadanya. Air minumnya pun keruh, kandangnya semakin kumuh. Dari luar masih tampak megah — tembok dicat baru, papan nama “KANDANG SAPI JUARA KLASIK MAHTOG” masih berdiri gagah. Tapi masuk sedikit ke dalam, lantainya becek, udara apek, dan tikus-tikus berbaris seperti sedang rapat koordinasi.
Sementara itu, sang pemilik justru makin gemuk dan senang berpesta. Ia sering mengundang tamu, menghidangkan keju dan susu dari Karsi — sambil tertawa keras, membual tentang kejayaan masa lalu. Ia minum anggur sambil berkata, “Lihat betapa hebatnya sapi kita!” tanpa menoleh sedikit pun ke kandang tempat Karsi berdiri lemah. Ironisnya, tubuh Karsi semakin kurus kering, iga-iganya menonjol, tapi sang pemilik hanya menambah ukuran sabuknya dan jumlah pialanya di lemari.
Karsi tetap diperah. Tubuhnya makin kurus, matanya cekung, tapi pemiliknya sibuk bercerita pada tamu, menunjukkan foto-foto lama saat Karsi menang piala besar, berkata dengan bangga,
“Lihat ini… dulu Karsi bisa menghasilkan susu terbaik se-Mahtog! Dulu, semua sapi meniru Karsi!”
Sayangnya, kata “dulu” itu jadi mantra yang paling sering diucapkan di kandang itu. Sementara, kandang-kandang lain di sekitar mulai berbenah: ventilasi bagus, makanan bergizi, sapi-sapinya gemuk dan sehat. Susu mereka makin banyak, makin berkualitas. Tapi sang pemilik Karsi masih duduk di beranda depan kandang, tersenyum sambil menatap foto-foto lama dan berkata pada dirinya sendiri, “Tak apa, yang penting dulu kita pernah hebat.”
Malam-malam di Mahtog makin dingin. Tikus makin ramai berpesta di jerami busuk. Karsi berdiri diam, menatap bulan, napasnya berat. Seolah ia tahu, penghormatan masa lalu tak bisa menunda lapar, tak bisa menggantikan kasih sayang, tak bisa memperbaiki kandang yang roboh dari dalam.
“Tak ada yang lebih berbahaya bagi kejayaan,” kata seekor burung gagak yang hinggap di atap kandang, “selain pemilik yang lebih sibuk bernostalgia daripada berbenah.”
Dan kini, Karsi masih berdiri di tengah kandang yang bau dan retak, tubuhnya tinggal bayangan masa silam. Tapi kalau semuanya tetap seperti ini — kalau sang pemilik masih lebih suka berpidato tentang kejayaan daripada memberi makan — mungkin tinggal menunggu waktu sebelum Karsi mati berdiri, dengan tubuh kering, susu habis, dan foto-foto lamanya jadi bahan pamer terakhir.
Karena di Mahtog, seperti di banyak tempat lain, kematian kadang bukan datang karena usia — tapi karena ketidakpedulian yang dibiarkan hidup terlalu lama.
Dan mungkin benar. Di negeri yang penuh penghargaan masa lalu itu, kadang yang paling cepat mati bukanlah sapi, tapi akal sehat mereka yang memerahnya.
Piala Susu yang Tak Pernah Habis
Di kandang berlapis cat kejayaan,
tikus berbaris rapi seperti staf istana.
Sapi tua masih diperah dengan doa lama,
padahal susunya cuma tinggal nostalgia.
Pemilik tersenyum di depan foto berbingkai emas,
bicara tentang masa saat rumput masih hijau dan ikhlas.
Kini jerami busuk pun disebut kemakmuran,
dan lapar didefinisikan ulang sebagai kesetiaan.
Mas Bojreng bercerita tentang dunia fabel. Jangan baperan ya
#ForgottenGlory #SilentDecay #NostalgiaTrap #GoldenPastRustedNow #WhenCareDies
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng

No comments:
Post a Comment