Wednesday, November 5, 2025

Cerita anak seorang guru

Saya anak seorang guru. Dari kecil, saya akrab dengan aroma kapur tulis dan suara ayah yang selalu sabar menjelaskan sesuatu dengan cara yang entah bagaimana—selalu bisa membuat orang tenang. Tapi jujur, saya dulu yakin: saya tidak akan seperti beliau. Terlalu berat. Terlalu idealis. Saya ingin dunia yang berbeda—lebih dinamis, lebih hidup, lebih… saya. Maka saya memilih kedokteran. Dunia di mana hidup dan mati sering hanya berjarak satu keputusan. Saya jadi dokter kandungan, seorang klinisi yang hidup di antara tangisan pertama bayi dan air mata lega seorang ibu. Saya pikir, cukup sampai di situ peran saya: menyembuhkan, bukan mengajar.

Tapi hidup kadang punya cara halus untuk bercanda. Sekarang, saya bekerja di rumah sakit tempat para dokter muda menimba pengalaman. Mereka datang dengan semangat membara, dengan idealisme yang belum sempat tergoda kenyataan. Dan pelan-pelan saya sadar—tanpa niat, tanpa rencana—saya sedang mengulang jejak ayah saya. Saya menjadi “guru.” Tapi entahlah, saya masih belum siap menyebut diri saya begitu. Kata itu terasa besar, penuh tanggung jawab.

Aku lebih suka nyebutnya: berbagi. Berbagi cerita, berbagi pengalaman, juga berbagi kesalahan yang dulu pernah terjadi. Buatku, kedokteran itu nggak cuma soal teori atau ilmu. Di dalamnya ada sains, tapi juga hati dan rasa. Ilmu bisa kasih tahu apa yang terjadi, tapi empati yang bikin kita ngerti siapa yang sedang kita hadapi.

Ibnu Sina, tokoh besar dari dunia Islam, pernah bilang kalau tugas seorang tabib itu bukan cuma ngurus tubuh, tapi juga jiwa. Katanya, keseimbangan antara raga dan ruh itu kunci dari penyembuhan yang sesungguhnya. Dan entah kenapa, aku ngerasa itu masih relevan banget. Soalnya, sering kali yang datang ke ruang periksa bukan cuma penyakitnya, tapi juga rasa takut, sepi, atau kehilangan harapan.

Beberapa abad setelah Ibnu Sina, muncul dr. Hunter “Patch” Adams—dokter nyentrik yang percaya bahwa tawa dan cinta juga bisa jadi obat. Ia bilang, “You treat a disease, you win, you lose. You treat a person, I guarantee you’ll win no matter what the outcome.” Dua tokoh dari dua zaman berbeda, tapi suaranya sama: bahwa kedokteran sejati bukan tentang penyakit, tapi tentang manusia.

Namun, jujur saja—menjadi dokter hari ini tak semudah dulu. Dunia berubah. Sistem makin kaku, birokrasi makin rumit, pasien makin kritis (kadang karena Dr. Google lebih dulu memberi “diagnosis”). Generasi muda dokter tumbuh di zaman yang serba cepat, serba digital, serba diukur dengan angka. Tapi seperti kata Ali bin Abi Thalib, “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Maka tugas kita bukan memaksa mereka jadi seperti kita, tapi membantu mereka menemukan idealisme mereka sendiri—tanpa kehilangan arah.

Idealismemu akan diuji. Integritasmu akan digoda. Etikamu akan diuji di tempat-tempat tak terduga—kadang bukan di ruang operasi, tapi di ruang rapat, di balik laporan, atau dalam pilihan kecil yang tidak ada saksi. Tapi justru di situlah maknanya. Karena sumpah dokter bukan sekadar kalimat indah saat wisuda. Itu kompas hidup. Dan ketika sistem mulai terasa terlalu dingin, satu-satunya yang bisa membuat kita tetap hangat adalah hati.

Saya sering bilang pada para co-ass yang belajar bersama saya, “Tak apa takut. Yang penting jangan berhenti jadi manusia.” Karena di balik jas putih dan gelar panjang, dokter tetaplah manusia biasa. Kita bisa salah, bisa lelah, bisa sedih. Kita pun berdoa—kadang diam-diam, kadang dalam hening di ruang bersalin yang sepi. Berdoa agar diberi ketenangan dalam keputusan yang sulit, agar tangan ini tetap menjadi alat kebaikan, bukan sekadar profesi.

Dan kini saya mengerti, mungkin darah seorang guru memang tidak bisa dihindari. Tapi ternyata, itu bukan beban—melainkan anugerah. Karena ngajar itu bukan tentang siapa yang paling pinter, tapi siapa yang paling mau berbagi. Kayak yang pernah dibilang Ibnu Sina, “Ilmu tanpa amal itu cuma jadi hiasan, dan amal tanpa ilmu bisa nyasar ke mana-mana.”
.” Maka saya belajar untuk terus belajar. Bahwa dokter sejati bukan hanya menyembuhkan tubuh, tapi menyalakan jiwa—jiwa pasien, jiwa murid, dan jiwa kita sendiri.

Dan di atas semuanya, saya belajar untuk hidup dengan kesadaran bahwa kelak, semua amal, semua pilihan, semua tindakan akan bersuara—meski lisan terdiam. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Yasin ayat 65:
"Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami, dan kaki mereka akan memberi kesaksian tentang apa yang dahulu mereka kerjakan."
Ayat itu selalu membuat saya berhenti sejenak. Mengingatkan bahwa profesi ini bukan sekadar pekerjaan, tapi juga kesaksian hidup. Bahwa setiap tindakan adalah kalimat yang akan dibacakan kembali suatu hari nanti. Maka, saya ingin tangan ini hanya menulis kebaikan, kaki ini hanya melangkah menuju kemanusiaan, dan hati ini tetap jujur pada nurani.

Mungkin, di sanalah makna sejati profesi ini: bukan sekadar menjaga kehidupan, tapi menjaga nilai-nilai yang membuat hidup layak dijalani. Dan selama saya masih bisa melakukannya dengan hati—dengan tangan yang kelak bersaksi baik di hadapan-Nya—saya tahu, dunia kedokteran masih punya harapan.

Papa, Sang Guru

Engkau menanam kata di tanah hati,
dengan sabar, tak menuntut panen.
Kini aku berjalan di jejakmu yang sunyi,
mengajar tanpa sadar, mencinta tanpa pamrih.

Di ruang hidup yang penuh detak dan doa,
aku belajar bahwa ilmu pun punya jiwa.
Dari tanganmu, Papa, aku paham akhirnya—
menyembuhkan dan mengajar, sejatinya sama: melayani cinta.

Mas Bojreng refleksi 4 Oktober 2025

#LegacyOfTeaching #HeartOfHealing #WisdomAndCompassion #LessonsFromFather #HumanityInMedicine
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

No comments:

Post a Comment

Di Teras Senja, Percakapan Sunyi Seorang Tua dengan Tuhannya

Seorang pria tua duduk di teras rumahnya, ditemani secangkir kopi yang sudah dingin dan pikiran yang tak mau diam. Dulu, ia bekerja karena c...