Wednesday, October 29, 2025

Lakukan Karena Cinta — dan Karena Allah


Beberapa hari ini, orang-orang di sekitar saya mulai terdengar mirip algoritma:

“Kalau kamu suka motret, jual aja hasilnya.”
“Kalau suka nulis, monetisasi dong — sayang kalau nggak dipakai buat cari duit.”

Dan entah kenapa, setiap kali dengar itu saya cuma bisa senyum kecil.
Bukan karena saya anti duit — siapa sih yang nggak butuh?
Tapi karena buat saya, ada kenikmatan yang nggak bisa dibeli:
kenikmatan melakukan sesuatu cuma karena… saya cinta melakukannya.

Saya motret bukan buat likes.
Saya nulis bukan buat engagement.
Saya cuma pengen menikmati momen, mengabadikan rasa, tanpa harus dikonversi jadi angka.

Tapi di dunia yang segala halnya diukur dengan nilai tukar,
kesenangan tanpa imbalan itu kayak hal yang aneh, bahkan “nggak produktif”.
Seolah semua harus punya label: “apa manfaat finansialnya?”

Cuma kadang saya berpikir — apakah Da Vinci, Michelangelo, Van Gogh, Beethoven, atau Mozart pernah mikirin itu juga?
Apakah mereka berkarya demi royalti, atau demi menemukan bagian terdalam dari diri mereka sendiri?

Dan di titik itu saya sadar:
Mungkin saya tetap bisa melakukan semua ini — memotret, menulis, berkarya — bukan hanya karena suka,
tapi karena saya ingin menjadikannya bentuk ibadah.

Melakukan sesuatu Lillahi ta’ala — semata karena Allah.
Karena kalau setiap hembus napas bisa bernilai ibadah,
kenapa seni, tulisan, atau karya tidak bisa?

Islam nggak pernah melarang kita menikmati hal yang kita cintai.
Yang penting: arahkan cintanya kepada Yang Maha Layak Dicintai.

Nabi ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kalau niatnya karena Allah,
menulis bisa jadi dzikir,
memotret bisa jadi tafakur,
dan setiap langkah kecil bisa jadi amal besar.

Quotes:
“Lakukan karena cinta, dan karena Allah. Sebab yang dikerjakan Lillahi ta’ala tak butuh tepuk tangan — cukup ridha-Nya sebagai panggung.”

Pesan moral:
Kita hidup di zaman di mana segalanya bisa dijual, bahkan keikhlasan.
Tapi justru di situ nilai sejati muncul:
melakukan sesuatu bukan karena cuan, bukan karena sorotan,
tapi karena cinta yang tertuju hanya pada Allah.
Sebab yang dilakukan Lillahi ta’ala takkan pernah sia-sia — meski tak viral di dunia.

“Ketika Cinta Tak Butuh Penonton”

Aku menulis bukan untuk dibaca,
Aku memotret bukan untuk dilihat.
Ada tangan yang tak tampak menuntunku,
dan kepada-Nya semua rasa kembali patuh.

Di balik diam ada zikir yang halus,
di balik karya ada niat yang lurus.
Bukan dunia yang ingin kupuaskan,
hanya Dia yang ingin kutenangkan.

Catatan Mas Bojreng

#DoItForLoveNotMoney #SoulOverCurrency #CreateForAllah #ArtWithIntention #BeyondTheLikes
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

No comments:

Post a Comment

Di Teras Senja, Percakapan Sunyi Seorang Tua dengan Tuhannya

Seorang pria tua duduk di teras rumahnya, ditemani secangkir kopi yang sudah dingin dan pikiran yang tak mau diam. Dulu, ia bekerja karena c...