Pagi ini, setelah menutup Al-Qur’an, ada rasa hangat dan hening yang aneh tapi nyaman. Rasanya kayak baru selesai ngobrol panjang sama sahabat lama yang ngerti banget kita—tapi sahabatnya nggak kelihatan. Sahabatnya Allah. Aku duduk sebentar di pojok kamar, memandangi cahaya rembulam yang menyelinap lewat jendela. Ada rasa lega, tapi juga seperti energi baru yang perlahan masuk ke dada dan pikiran.
Di saat itu, aku langsung teringat Almarhum Papa. Beliau selalu bilang sejak aku kecil, “Ingat, ayat pertama yang turun itu Iqra, baca! Bukan cuma baca buku, tapi baca hidup juga. Jangan cuma pinter di kepala tapi kosong di hati.” Kata-kata itu dulu terdengar sederhana, hampir seperti klise, tapi sekarang rasanya seperti lonceng yang terus berdentang di kepala, mengingatkan siapa aku dan ke mana aku harus melangkah.
Makanya, sejak aku masih kecil, Almarhum Papa selalu mengajakku ke toko buku. Bukan sekadar jalan-jalan atau beli buku baru, tapi supaya aku terbiasa melihat dunia lewat tiap halaman. Kadang aku bosan memilih buku, kadang aku ribut sama Papa soal mana buku yang lebih menarik, tapi beliau selalu sabar. Beliau ingin aku membiasakan diri membaca, bertanya, merenung, bahkan tersenyum atau terharu sendiri karena cerita yang dibaca. Kebiasaan itu ternyata bikin aku terbiasa membuka pikiran, melihat banyak sudut pandang, dan nggak gampang sempit atau cepat menilai orang lain.
Aku ingat satu momen di toko buku langganan kami. Aku waktu itu masih kelas tiga SD, cuma pengin beli komik favorit. Papa menepuk pundakku pelan, sambil menunjuk rak buku yang penuh warna dan bertuliskan “Cerita Dunia dan Kehidupan.” Beliau bilang, “Lihat ini, Nak. Baca ini suatu hari nanti, jangan cuma komik. Dunia orang lain bisa kita kenal lewat buku. Pikiranmu bakal makin luas.” Aku waktu itu cuma angguk-angguk, tapi entah kenapa kata-kata itu tertanam perlahan, meski belum terasa efeknya.
Seiring waktu, buku-buku itu menjadi teman yang setia. Novel membuatku ikut merasakan hidup orang lain; biografi mengajarkan perjuangan orang-orang yang tak selalu mudah; buku sejarah dan sains memaksa berpikir kritis, mempertanyakan, dan mencari kebenaran sendiri. Semua itu memperluas perspektif, melatih empati, bahkan kadang memaksa aku menatap diri sendiri dengan jujur. Tanpa sadar, membaca sejak kecil membentuk cara aku memahami dunia—dunia yang luas, kompleks, tapi juga penuh warna.
Tapi Almarhum Papa selalu menekankan satu hal: Al-Qur’an tetap nomor satu. Membaca Al-Qur’an bukan cuma menuntaskan halaman atau menghafal ayat, tapi meresapi maknanya. Rasanya berbeda ketika ayat itu mulai “nyangkut” di hati dan perlahan mengubah cara kita bertindak sehari-hari. Hati dan pikiran jadi nyambung, hidup terasa lebih bermakna.
Sekarang, banyak sekali slogan literasi di mana-mana. “Baca itu keren!” atau “Salam literasi!” Tapi kadang, aku merasa banyak yang berhenti di situ. Banyak orang ikut-ikutan, tapi tidak merasakan apa makna membaca sebenarnya. Almarhum Papa dulu selalu bilang, membaca itu bukan sekadar kata-kata di halaman, tapi soal membuka diri, memahami dunia, dan mengubah cara kita melihat hidup.
Aku jadi sadar, membaca itu seperti percakapan panjang. Dengan buku, kita ngobrol sama pikiran penulis, sama cerita yang ditulis, bahkan sama diri kita sendiri. Dengan Al-Qur’an, kita ngobrol sama Allah, dan hati kita ikut tersentuh pelan-pelan. Kalau kita mau, membaca bisa membuka jendela dunia, memberi perspektif baru, dan membuat kita berani jadi versi diri kita yang lebih baik.
Ada momen lain yang masih aku ingat jelas: suatu sore, aku dan Almarhum Papa duduk di ruang tamu, secangkir teh hangat di tangan, aku membuka buku biografi seorang ilmuwan. Papa duduk di sebelahku, membiarkan aku membaca sendiri, tapi sesekali beliau menatap, tersenyum, lalu berkomentar ringan, “Pintar ya orang ini… tapi inget, Nak, kita nggak cuma belajar dari orang lain. Belajar dari hidup sendiri juga penting.” Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi menempel. Membaca bukan cuma soal tahu banyak, tapi soal bisa memetik pelajaran, meresapi, dan menerapkannya dalam kehidupan.
Aku juga ingat malam-malam saat Almarhum
Papa mengingatkan aku untuk membaca Al-Qur’an. Kadang aku malas, kadang ngantuk, tapi beliau selalu menekankan: “Jangan cuma selesai baca, tapi resapi. Biar tiap ayat nyampe ke hati. Biar hidupmu nggak cuma jalan di permukaan.” Sekarang, kalimat itu terasa seperti mantra. Rasanya setiap halaman Al-Qur’an yang kubaca adalah percakapan langsung dengan Allah, mengingatkan aku tentang apa yang penting dalam hidup, tentang kebaikan, tentang sabar, tentang bersyukur.
Dan kalau dipikir-pikir, membaca buku lain pun sama pentingnya. Novel bikin aku ikut merasakan emosi orang lain; buku sains memaksa aku berpikir logis; sejarah memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang nggak pernah aku pikirkan sebelumnya. Semua itu memperluas cara pandang, bikin kita nggak gampang menilai orang lain cuma dari satu sisi, dan bahkan bikin kita lebih empati terhadap diri sendiri.
Almarhum Papa selalu menutup nasihatnya dengan kalimat sederhana tapi berat maknanya: “Baca, resapi, jalankan. Jangan cuma tahu, tapi hidupkan. Biar hidup nggak cuma jalan di permukaan, tapi nyentuh makna.”
Pagi ini, setelah menutup Al-Qur’an, aku nggak merasa selesai. Malah rasanya baru mulai bab baru: membaca dunia, membaca buku, membaca diri sendiri, dan tentu saja terus membaca Al-Qur’an. Pesan Almarhum Papa tetap menempel di hati: jangan sampai literasi cuma slogan. Baca, resapi, dan jalankan. Biarkan hidup terasa penuh makna, bukan cuma lewat kata-kata.
Dan aku jadi tersenyum sendiri, membayangkan apabila Almarhum Papa duduk di sebelah, tersenyum seperti dulu. Rasanya, setiap lembar halaman yang kubaca, setiap ayat demi ayat yang kubaca, adalah hadiah kecil dari beliau yang diwariskan: bukan sekadar kata-kata, tapi the way of life .
Kadang aku mikir, cara kita ngelihat dunia, cara kita menghormati orang lain, bahkan cara kita bangun diri sendiri, semuanya balik lagi ke satu hal: gimana kita mau belajar. Dan buatku, belajar paling asik itu lewat membaca.
Membaca itu nggak harus selalu serius kayak di sekolah. Nggak perlu juga dianggap tugas atau kewajiban yang berat. Buat aku, membaca itu teman yang selalu siap nemenin kapan aja. Kadang jadi sahabat, kadang guru yang nyentil halus, kadang malah jadi penuntun yang muncul diam-diam waktu lagi butuh arah.
Dan di antara semua hal yang aku baca, Al-Qur’an selalu jadi titik balik. Ada sesuatu yang nggak bisa dijelasin cuma lewat logika. Semakin dibaca, makin terasa tenang. Ayat-ayatnya bukan cuma ngasih tahu apa yang benar atau salah, tapi juga ngajarin cara ngerasain hidup.
Buat aku, membaca Al-Qur’an itu bikin kepala terbuka dan bikin hati tenang. Kalau dua-duanya dibaca pakai hati, bukan cuma mata, pelan-pelan cara kita ngelihat dunia juga ikut berubah. Kita jadi lebih sabar, lebih ngerti, dan mungkin juga lebih manusiawi.
Aku menarik napas panjang, memejamkan mata sebentar, lalu tersenyum kecil. Ingatan tentang Almarhum Papa muncul lagi—dengan senyum khasnya dan suara lembutnya waktu bilang, “Baca, resapi, jalankan.”
Hari ini rasanya bukan cuma tentang menutup mushaf dan bilang “akhirnya khatam,” tapi tentang mulai lagi. Mulai membaca dunia, membaca diri sendiri, dan meneruskan pesan yang Papa tinggalin. Pesan yang sederhana tapi berat maknanya.
Dan kalau boleh berharap, semoga siapa pun yang baca ini juga bisa ngerasain hal yang sama. Nggak perlu buru-buru, nggak harus dipaksain. Cukup mulai aja dulu. Baca dengan hati yang terbuka. Karena dari situ, pelan-pelan, dunia bisa terasa lebih luas… dan hidup, lebih bermakna.
Dalam Hening Kata yang Terbaca
Di tiap huruf, dunia menua pelan,
Di tiap ayat, hati kembali pulang.
Membaca bukan melihat, tapi merasakan,
Antara kertas dan langit, jiwa berpegangan.
Al-Qur’an membuka dan menuntun,
Satu menenangkan, satu menumbuhkan.
Dan di tengah sunyi nasihat Papa,
Aku belajar membaca kehidupan.
Mas Bojreng dini hari ini
#ReadWithHeart #WhispersOfWisdom #SoulAndScript #JourneyWithin #LightOfWords #poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng

No comments:
Post a Comment