Sunday, October 26, 2025

DNR bukan Tentang Menyerah

Dalam dunia kedokteran saya adalah seorang Mudblood (meminjam istilah dalam Hary Potter), kadang saya harus menjelaskan suatu keadaan medis dan tindakan pada keluarga saya yang termasuk dalam golongan Muggle.

4 bulan yang lalu adalah termasuk yang berat buat saya ketika saya memutuskan untuk menandatangani formulir DNR.

Aku tahu arti setiap kata di formulir itu.
Aku tahu bagaimana huruf D-N-R berdiri di atas kertas putih, dingin dan tegas: Do Not Resuscitate.
Sebagai dokter, aku pernah menjelaskan keputusan itu puluhan kali pada keluarga pasien lain — dengan nada tenang, dengan istilah medis yang rapi. Tapi kali ini, yang tertera di kolom nama adalah papaku sendiri.
Tanganku gemetar. Rasanya seperti menandatangani batas antara cinta dan kehilangan.
Di kepalaku, ilmu beradu dengan perasaan. Hatiku berontak, dalam diam dan sendiri air mata sempat menggenang, tapi sisi rasional tahu: CPR tidak akan mengubah apa pun, hanya memperpanjang derita yang sudah terlalu lama.

Setelah tinta mengering di kertas, aku harus berhadapan dengan hal yang lebih sulit: menjelaskan keputusan itu pada keluarga sendiri — dan pada dunia luar.
Beberapa kerabat memandang dengan mata bertanya, bahkan sinis: “Kok bisa seorang dokter malah menolak menyelamatkan ayahnya sendiri?”
Teman sejawat pun tak semua mengerti. Ada yang diam, ada yang menatap dengan pandangan samar antara simpati dan penghakiman.
Padahal bagiku, keputusan itu bukan tentang menyerah.
Itu tentang memahami batas — kapan sains berhenti berdaya, dan cinta mengambil alih dalam bentuk yang lain: membiarkan seseorang yang kita sayangi pulang dengan damai.

DNR, Saat Menolak Diselamatkan Adalah Bentuk Lain dari Cinta

Di ruang perawatan intensif yang dingin dan sunyi, monitor jantung memantulkan cahaya hijau ke wajah seseorang yang terbaring tak berdaya.
Angka-angka di layar menurun pelan.
Napasnya pendek, nyaris tak terdengar.
Dan di ujung ranjang, ada keluarga yang menggenggam tangan, menatap, lalu berbisik pelan pada dokter:
"Kalau nanti berhenti, tolong jangan dihidupkan lagi, ya..."
Kalimat itu terdengar ringan, tapi sesungguhnya mengandung pergulatan panjang:
antara harapan dan kenyataan, antara cinta yang ingin menahan dan kasih yang belajar melepaskan.
Di sanalah konsep DNR — Do Not Resuscitate — lahir: keputusan untuk tidak memaksa hidup, ketika kehidupan sendiri sudah ingin pulang.

Bukan Tentang Menyerah

Banyak orang salah paham. DNR sering dianggap sebagai tanda putus asa — padahal sejatinya, itu keputusan yang justru lahir dari kasih yang paling jujur.
DNR tidak berarti “membiarkan mati”. Ia hanya berarti tidak lagi melakukan perlawanan yang menyakitkan ketika perang sudah usai.
Kalau jantung berhenti, dokter tidak lagi melakukan CPR, tidak lagi memberi kejut listrik, tidak lagi memasukkan selang ke tenggorokan.
Tapi bukan berarti pasien dibiarkan sendirian.
Ia tetap diberi oksigen, pereda nyeri, doa, bahkan genggaman tangan yang menenangkan.
Hidupnya tak lagi diukur dari mesin, tapi dari napas yang masih hangat dan doa yang masih mengalir.

Kapan DNR Jadi Pilihan?
Biasanya, keputusan ini muncul di ujung perjalanan panjang — ketika penyakit sudah tidak bisa dilawan dengan obat, dan tubuh mulai menyerah pelan-pelan.
Ketika penyakit sudah menyebar ke mana-mana, atau paru-paru tak lagi mau bekerja tanpa bantuan mesin.
Dalam kondisi itu, resusitasi tidak lagi menyelamatkan, hanya menunda.
CPR hanya sementara mengembalikan jantung dan napas tapi tidak kesadaran.
Pasien “hidup” secara teknis — tapi bukan lagi dalam arti yang manusia pahami sebagai hidup.
Maka dokter dan keluarga duduk bersama, kadang dalam hening panjang, sebelum akhirnya satu kata keluar: ikhlas.

Hak yang Tak Boleh Diambil Siapa Pun

Meski keputusan DNR sering datang dari ruang rumah sakit, ia bukan milik dokter.
Hak untuk berkata “cukup” tetap milik pasien — atau keluarganya jika ia tak lagi bisa bicara.
Mereka berhak tahu seluruh kenyataan: kondisi tubuh, harapan, risiko, bahkan kemungkinan terbaik dan terburuk.
Tidak ada keputusan yang boleh dipaksakan. Tidak oleh siapa pun.
Dan di balik itu, ada satu hal yang lebih penting dari semua prosedur medis: martabat manusia.
Pasien berhak untuk tetap dirawat dengan lembut, dihormati, didampingi — bukan sekadar “dijaga agar tetap bernapas”.

Ketika Cinta Bertemu Dilema

Kadang cinta justru membuat kita takut membiarkan seseorang pergi.
Kita ingin terus berjuang, terus berharap, karena kita tak siap kehilangan.
Tapi di titik tertentu, perjuangan itu bisa berubah bentuk — dari “menyelamatkan” menjadi “menahan”.
DNR mengajak kita menatap kenyataan paling jujur: bahwa hidup bukan sekadar panjang, tapi juga tentang cara yang bermartabat untuk pulang.
Kadang cinta yang sejati bukan tentang menambah napas, tapi tentang memberi ruang bagi jiwa untuk beristirahat.

Islam dan Kelembutan dalam Menerima Takdir

Dalam pandangan Islam, hidup adalah amanah, tapi kematian bukan kegagalan.
Selama niatnya bukan untuk mempercepat ajal, Islam justru memberi ruang untuk keputusan seperti DNR.
Majma’ al-Fiqh al-Islami — semacam dewan fatwa dunia Islam — pernah menegaskan:
“Kalau dokter yang kompeten sepakat bahwa kondisi pasien tak bisa diperbaiki, maka penghentian alat bantu hidup diperbolehkan.”
Artinya, Islam memahami: ada batas di mana ikhtiar berubah menjadi penyiksaan.

Di titik itu, membiarkan tubuh kembali kepada fitrahnya bukan dosa — itu bentuk rahmah, kasih yang lembut dan bijak.
Yang tak boleh dilupakan hanyalah satu: manusia tetap harus dirawat, didoakan, dihormati.
Karena nyawa bukan sekadar detak jantung — ia juga kehadiran, doa, dan kehangatan orang-orang yang mencintai.

Tentang Ikhlas dan Keberanian

DNR bukan keputusan yang mudah.
Ia menuntut keberanian — bukan untuk menantang kematian, tapi untuk menerimanya dengan damai.
Ia menuntut keikhlasan untuk mengatakan, “Kami sudah berjuang, kini biarlah Tuhan yang melanjutkan.”
Mungkin di situlah makna terdalamnya: menolak diselamatkan bukan karena menyerah, tapi karena akhirnya kita sadar —
bahwa hidup bukan soal berapa lama kita bernapas, tapi seberapa tenang kita melepaskannya.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Kita milik Allah, dan kepada-Nya-lah kita pulang.

Sekarang, Papa sudah tidak sakit lagi. Tidak ada lagi selang, tidak ada lagi mesin yang berbunyi tanpa henti. Hanya doa yang masih mengalir setiap kali namanya saya sebut dalam sujud. Saya percaya, ia sudah kembali ke haribaan Allah SWT — tempat paling tenang yang bisa didapatkan oleh jiwa yang lelah. Tapi di setiap hening malam, saya masih sering berbisik pelan dalam hati: Ya Allah, ampunilah hamba atas keputusan itu. Jika aku khilaf, maka itu karena aku hanya ingin Papa tak lagi menderita.

Dan kepada Papa, saya selalu berkata dalam diam: Maafkan anakmu, Pa, kalau aku belum sempat membuatmu bangga. Tapi aku percaya, kasih sayangmu tetap ada di setiap langkahku — bahkan dalam keputusan paling berat yang pernah kuambil.

Di Ujung Nafas Ayah

Di ruang yang sunyi waktu berhenti,
kutatap wajahmu, setenang pagi.
Antara cinta dan keikhlasan,
kupeluk perpisahan tanpa kata.

Kini kau pulang lewat cahaya,
meninggalkan sakit bersama doa.
Kupasrahkan rinduku pada Tuhan,
sebab cinta tak mati, hanya berpulang.

Memori Mas Bojreng dalam sendiri

#LoveBeyondLife #LettingGoWithGrace #SilentGoodbye #FaithAndFarewell #EternalPeace
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

No comments:

Post a Comment

Dan itu… sudah cukup.

Pernah nggak, suatu pagi bangun dan rasanya dunia sudah “jalan duluan”? Baru melek setengah, masih nyari arah, eh tangan otomatis ngecek po...