Sunday, September 15, 2024

Ketika saya memilih untuk...



Kala kabut menutupi makna,

Aku memilih membisu tanpa suara,
Tak berani menuliskan kata yang tak ku tahu,
Sebab pena bisa melukis fitnah yang keliru,
Dan fitnah adalah bara neraka yang memburu.

Mengapa harus berbicara tanpa dasar?
Lidah dan pena teramat tajam, tak tersasar,
Sedetik saja terlepas dari kebenaran,
Kata-kata menjelma duri yang menyakitkan,
Dosa besar, terhitung dalam catatan Tuhan.

Aku diam, bukan berarti tak paham,
Namun lebih takut pada tuntutan kelak di alam,
Setiap huruf, setiap ucapan akan dihisab,
Di hadapan Allah, tiada dusta yang terselap,
Semua akan tampak, semua akan menggapai jawab.

Wahai hati, berhentilah tergesa dalam prasangka,
Biarkan waktu yang mengurai simpul tanda tanya,
Diamku adalah bentuk kehati-hatian,
Agar tak tergelincir dalam dosa fitnah,
Sebab fitnah, adalah kehancuran yang nyata.

Hati-hatilah, pada lisan dan goresan tangan,
Sebab semua itu, meski tampak ringan,
Akan menjadi beban yang berat di pengadilan akhir,
Di hadapan Allah, tiada satupun tersembunyi,
Maka, aku memilih diam, hingga jelas nurani.

Mas Bojreng

#ThePowerOfSilence #SpeakWithCaution #WordsMatter #TruthInQuiet #AvoidSlander #MindfulSpeech #poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Saturday, September 14, 2024

Sunyi yang Menenangkan


Saat embun pagi enggan bicara,

Aku berdiam dalam riuh tanpa kata,
Sehelai awan melintas tanpa pertanda,
Tak kuikuti jejak angin yang tak pasti,
Sebab suara yang tak tahu, tak layak bersaksi.

Ada rahasia dalam hening,
Ketika pena berhenti menari di atas kertas,
Jemari gemetar, menahan kisah yang samar,
Biarlah sunyi menggulung dirinya,
Sebelum keliru berubah menjadi bara.

Kata-kata terkadang serupa ombak,
Menghempas pasir yang tak lagi putih,
Maka kutahan bisik-bisik yang datang,
Sebab ombak yang liar, bisa menghancurkan karang,
Dan fitnah, bagaikan badai yang tak bertepi.

Kusimpan resah dalam diam,
Bukan karena takut menjawab panggilan,
Namun ada batas yang tak boleh kuterobos,
Karena di balik setiap bisik,
Ada Allah yang melihat dalam sunyi.

Dan di akhir senja,
Di bawah langit yang menyimpan banyak rahasia,
Aku memilih diam, menunggu waktu berkata,
Sebab ada keindahan dalam tak berkata,
Di sana, jiwaku terhindar dari dosa.

Mas Bojreng

#ThePowerOfSilence #SpeakWithCaution #WordsMatter #TruthInQuiet #AvoidSlander #MindfulSpeech #poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Sunday, September 8, 2024

Lu lagi lu lagi lu lagi

Ketika ada tugas yang diberikan dan selalu menghindar atau dilimpahkan ke orang lain.

Sebelum kita melihat orang lain, ada baiknya kita merenung sejenak dan bertanya pada diri sendiri: apakah kita sudah menjalankan tanggung jawab yang diberikan dengan sepenuh hati, atau justru sering menghindar dan melimpahkan beban kepada orang lain? Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin pernah bertemu dengan orang-orang yang tampak hanya pandai berbicara, bahkan berbicara tinggi, namun jarang sekali menunjukkan tindakan nyata. Mari kita lihat sekeliling, apakah kita termasuk di antara mereka yang hanya mencari keuntungan pribadi ataukah kita benar-benar berusaha menjadi individu yang bertanggung jawab dan bermanfaat bagi sesama?


Menolak dan Melimpahkan Tugas dan Tanggung Jawab karena Dipandang tidak Menguntungkan

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai orang-orang yang cenderung menolak tanggung jawab atau pekerjaan yang diberikan kepada mereka. Alasan mereka beragam, namun sebagian besar berpusat pada tidak adanya manfaat pribadi yang dapat mereka peroleh dari tugas tersebut. Orang-orang seperti ini mungkin mahir dalam berbicara, bahkan sering kali dengan nada tinggi atau sombong, tetapi tindakan nyata jarang sekali mengikuti ucapan mereka. Mereka cenderung menghindar dari tugas dan melimpahkannya kepada orang lain. Fenomena ini bukan hanya menjadi masalah dalam dinamika sosial, tetapi juga dipandang sebagai perilaku yang kurang baik dari perspektif Islam.

Menolak Tanggung Jawab dalam Islam

Dalam Islam, tanggung jawab adalah bagian integral dari iman dan kepribadian seorang Muslim. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an, Surat Al-Mulk ayat 2:

"Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."

Ayat ini menekankan bahwa hidup adalah ujian, dan salah satu bentuk ujian itu adalah bagaimana kita menangani tanggung jawab yang diberikan kepada kita. Menolak tanggung jawab tanpa alasan yang jelas atau valid bukan hanya merugikan diri sendiri tetapi juga bisa merugikan orang lain yang bergantung pada kontribusi kita.

Rasulullah SAW juga pernah bersabda:

"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya."

Hadis ini menunjukkan bahwa setiap individu dalam Islam memiliki peran dan tanggung jawab yang harus diemban. Menolak tanggung jawab berarti mengabaikan amanah yang telah diberikan, yang merupakan tindakan yang tidak disukai oleh Allah SWT.

Hanya Berbicara, Tanpa Tindakan

Islam sangat menekankan keseimbangan antara ucapan dan tindakan. Orang yang hanya pandai berbicara tetapi tidak mampu membuktikan kata-katanya melalui perbuatan sering kali disebut sebagai orang yang munafik. Dalam Al-Qur'an, Surat As-Saff ayat 2-3, Allah SWT berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan."

Ayat ini adalah peringatan keras bagi mereka yang gemar berbicara namun tidak menindaklanjuti ucapan mereka dengan tindakan. Islam mengajarkan kita untuk menjaga integritas dan kejujuran dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bertindak sesuai dengan apa yang kita ucapkan. Menjadi seseorang yang hanya bisa berbicara tanpa tindakan nyata adalah sikap yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

Menghindar dan Melimpahkan Tugas

Menghindari tanggung jawab atau melimpahkan tugas kepada orang lain tanpa alasan yang benar adalah bentuk ketidakjujuran dan kurangnya rasa tanggung jawab. Dalam Islam, setiap tugas atau amanah yang diberikan harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an, Surat An-Nisa ayat 58:

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

Ayat ini menekankan pentingnya menunaikan amanah dan tanggung jawab dengan keadilan dan kejujuran. Melimpahkan tugas kepada orang lain tanpa alasan yang kuat bukan hanya menunjukkan kelemahan karakter, tetapi juga bisa merugikan pihak yang mendapatkan limpahan tugas tersebut.

Dampak Sosial dan Spiritual

Orang yang terus-menerus menolak tanggung jawab, hanya berbicara tanpa tindakan, dan melimpahkan tugas kepada orang lain, akan mengalami dampak negatif baik secara sosial maupun spiritual. Secara sosial, mereka akan kehilangan kepercayaan dari orang lain. Ketika seseorang dikenal sebagai orang yang tidak dapat diandalkan, akan sulit bagi mereka untuk mendapatkan dukungan dan penghormatan dari komunitasnya.

Secara spiritual, perilaku seperti ini dapat menjauhkan seseorang dari rahmat Allah SWT. Dalam Islam, setiap amal baik yang dilakukan dengan ikhlas akan mendapatkan pahala, sementara mengabaikan tanggung jawab bisa menjadi sebab hilangnya keberkahan dalam hidup. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an, Surat Al-Baqarah ayat 286:

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya."

Ayat ini menegaskan bahwa setiap tanggung jawab yang diberikan pasti sesuai dengan kemampuan kita. Menolak tanggung jawab berarti menolak rahmat dan kesempatan yang Allah berikan untuk berbuat kebaikan dan mendapatkan pahala.

Sikap yang Dianjurkan dalam Islam

Islam mengajarkan kita untuk menjadi orang yang bertanggung jawab dan berintegritas. Ketika diberikan tugas atau tanggung jawab, kita dianjurkan untuk menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya, tanpa mencari-cari alasan atau melimpahkan kepada orang lain. Bahkan jika tugas tersebut tampak tidak menguntungkan secara pribadi, kita harus ingat bahwa Allah SWT melihat niat dan usaha kita, bukan hasil akhirnya.

Rasulullah SAW bersabda:

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya."

Hadis ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai kontribusi positif seseorang terhadap masyarakat. Mengambil tanggung jawab dan melaksanakan tugas dengan baik adalah salah satu cara untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain.

Selain itu, kita juga diajarkan untuk rendah hati dan tidak sombong. Orang yang sering berbicara tinggi tanpa tindakan nyata sering kali diliputi oleh kesombongan, yang merupakan salah satu sifat yang sangat dibenci dalam Islam. Sebaliknya, kita dianjurkan untuk berusaha semaksimal mungkin dan menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT, dengan penuh kerendahan hati.

Jadi janganlah berperilaku yang bertentangan dengan ajaran agama Islam

Menolak tanggung jawab, hanya bisa berbicara tanpa tindakan, serta melimpahkan tugas kepada orang lain adalah perilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam. Islam mengajarkan kita untuk menjadi orang yang bertanggung jawab, berintegritas, dan rendah hati. Setiap tanggung jawab yang diberikan kepada kita adalah amanah dari Allah SWT yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan menjalankan tanggung jawab dan berbicara sesuai dengan tindakan, kita tidak hanya mendapatkan kepercayaan dari orang lain, tetapi juga meraih ridha dan rahmat Allah SWT.

Saatnya kita merenung dan berpikir, apakah sikap kita selama ini mencerminkan tanggung jawab dan integritas yang diharapkan dalam Islam? Ataukah kita justru sering kali lebih sibuk dengan kata-kata tanpa tindakan nyata, menghindari tugas, dan melimpahkan beban kepada orang lain? Sikap ini bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga dapat mengganggu keharmonisan dalam lingkungan kita, baik di keluarga, tempat kerja, maupun dalam komunitas yang lebih luas. Penting bagi kita untuk menyadari bahwa setiap amanah yang diberikan adalah ujian dari Allah SWT, dan kelalaian dalam menunaikannya bisa menjadi sebab hilangnya keberkahan dalam hidup.

Akhirnya, semoga kita semua dijauhkan dari sifat menolak tanggung jawab, berbicara tanpa tindakan, dan menghindari tugas. Semoga kita senantiasa menjadi pribadi yang bertanggung jawab, berintegritas, dan berbuat dengan niat yang tulus Lillahi ta'ala. Dan bagi orang-orang di sekitar kita yang masih memiliki sifat-sifat tersebut, semoga mereka pergi menjauh atau dijauhkan dari kita, sehingga kita bisa terus berusaha memperbaiki diri dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan diberkahi.

Catatan Mas Bojreng

#Responsibility #Integrity #Accountability #IslamicValues #ActionOverWords #myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng 

Saturday, September 7, 2024

Tetaplah berbuat baik.. niatkan Lillahi ta'ala

Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah: "Biarkan mereka yang berburuk sangka denganmu, tetaplah berbuat baik. Jangan biarkan perkataan manusia menghentikanmu dari melakukan amal kebaikan yang engkau niatkan untuk Allah."

Ketika sedang merasakan kegelisahan yang ads mendapat kalimat penyemangat seperti yang diatas tersebut. Bisakah saya... harus bisa... hayuk beristighfar...

Jangan pedulikan apa pendapat orang lain, pendapat Allah yang utama. Niatkan selalu Lillahi ta'ala

Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah, seorang ulama besar yang sangat dihormati, pernah memberikan nasihat yang luar biasa: "Biarkan mereka yang berburuk sangka denganmu, tetaplah berbuat baik. Jangan biarkan perkataan manusia menghentikanmu dari melakukan amal kebaikan yang engkau niatkan untuk Allah." Ini adalah sebuah pesan yang sederhana, namun mendalam. Sebuah pengingat untuk tetap berbuat baik meskipun orang-orang di sekitar kita meragukan niat atau tujuan kita.

Tantangan dalam Berbuat Baik

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali dihadapkan dengan berbagai tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah menghadapi perkataan orang lain. Ketika kita berusaha untuk berbuat baik, mungkin ada yang meragukan niat kita. Mereka mungkin berpikir bahwa kita melakukannya untuk mencari pujian, keuntungan pribadi, atau karena alasan lain yang tidak tulus.

Ini bisa sangat menyakitkan, terutama jika kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk melakukan hal yang benar. Kita mungkin merasa sedih, kecewa, atau bahkan marah. Namun, nasihat dari Ibnu Qayyim ini mengingatkan kita bahwa pandangan orang lain tidak seharusnya menjadi penghalang bagi kita. Yang paling penting adalah niat kita. Jika niat kita adalah untuk Allah, maka tidak ada alasan untuk berhenti berbuat baik hanya karena ada yang berburuk sangka.

Niat Adalah Kunci

Dalam Islam, niat adalah hal yang sangat penting. Rasulullah SAW pernah bersabda: "Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya." (HR Bukhari dan Muslim). Artinya, setiap perbuatan yang kita lakukan diukur berdasarkan niat di baliknya. Jika niat kita tulus untuk mencari ridha Allah, maka amal kita akan dihitung sebagai kebaikan, terlepas dari apa yang dipikirkan atau dikatakan orang lain.

Seringkali, kita mungkin tergoda untuk berhenti berbuat baik hanya karena merasa tidak dihargai atau diragukan oleh orang lain. Tetapi kita harus ingat bahwa pahala dari perbuatan kita datang dari Allah, bukan dari manusia. Oleh karena itu, fokus kita seharusnya selalu pada niat untuk mencari ridha-Nya, bukan pada apa yang dikatakan orang lain.

Manusia dan Ujian Sosial

Tidak bisa dipungkiri, manusia adalah makhluk sosial. Kita hidup di tengah-tengah masyarakat, dan wajar jika kita peduli pada apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Namun, terkadang perhatian ini bisa menjadi berlebihan dan mengganggu. Kita menjadi terlalu fokus pada pandangan orang lain, sampai-sampai melupakan apa yang sebenarnya lebih penting, yaitu penilaian Allah terhadap kita.

Ketika kita berbuat baik, selalu ada kemungkinan bahwa orang lain akan salah paham atau bahkan mencurigai niat kita. Hal ini adalah bagian dari ujian kehidupan. Kita harus bisa belajar untuk menahan diri dari keinginan untuk selalu mendapat pengakuan dari orang lain, dan sebaliknya lebih fokus pada pengakuan dari Allah.

Ini bukan berarti kita tidak boleh mendengarkan kritik atau saran dari orang lain. Tentu saja, kita harus terbuka untuk menerima masukan yang membangun. Namun, jika kritik itu tidak berdasarkan kebenaran, atau jika itu hanya sekedar prasangka buruk tanpa bukti, maka tidak perlu terlalu memikirkannya. Biarkan saja, seperti yang disarankan oleh Ibnu Qayyim, dan teruslah berbuat baik.

Berbuat Baik Karena Allah

Seringkali, kita mungkin merasa lelah atau putus asa karena terus-menerus berusaha berbuat baik, tetapi tidak mendapatkan apresiasi yang diharapkan. Bahkan, mungkin kita mendapatkan kritik atau prasangka buruk dari orang lain. Pada saat-saat seperti ini, kita perlu mengingat bahwa kita melakukan perbuatan baik bukan untuk mendapatkan pengakuan dari manusia, tetapi untuk mendapatkan ridha Allah.

Berbuat baik karena Allah berarti kita tidak peduli dengan apa yang dikatakan atau dipikirkan orang lain. Selama niat kita benar, dan perbuatan kita sesuai dengan syariat, kita tidak perlu khawatir dengan penilaian manusia. Apa yang penting adalah bagaimana Allah melihat kita.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: "Barang siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah dia mempersekutukan dalam beribadah kepada Tuhannya dengan sesuatu apa pun." (QS. Al-Kahfi: 110). Ayat ini mengingatkan kita bahwa amal yang kita lakukan harus tulus hanya untuk Allah, tanpa ada keinginan untuk dipuji atau diakui oleh orang lain.

Mengatasi Rasa Kecewa

Adalah hal yang wajar jika kita merasa kecewa ketika orang lain salah menilai kita. Namun, kita harus belajar untuk tidak terlalu larut dalam kekecewaan tersebut. Ingatlah bahwa manusia tidak sempurna, dan sering kali mereka salah paham. Yang lebih penting adalah bagaimana Allah menilai kita, dan Allah Maha Mengetahui niat kita yang sebenarnya.

Orang beriman selalu yakin bahwa Allah tidak akan pernah membiarkan dirinya sendirian, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Keyakinan ini didasarkan pada janji Allah yang tercermin dalam perkataan Nabi Muhammad SAW ketika menghadapi momen genting, "Jangan bersedih, Allah bersama kita." (QS. at-Taubah: 40). Pesan ini mengajarkan bahwa sebesar apa pun ujian atau tantangan yang dihadapi, pertolongan Allah selalu ada bagi hamba-Nya yang beriman dan bertawakkal. Rasa tenang dan optimisme muncul ketika kita meyakini bahwa Allah senantiasa dekat, mendengar doa kita, dan siap memberikan bantuan pada waktu yang tepat.

Orang beriman selalu yakin bahwa setiap kesabaran yang mereka tunjukkan akan mendapatkan balasan yang besar dari Allah. Keyakinan ini didasarkan pada janji Allah dalam firman-Nya, "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS az-Zumar: 10). Ujian dan kesulitan dalam hidup tidak membuat mereka putus asa, karena mereka tahu bahwa dengan bersabar, mereka akan memperoleh pahala yang tak terhingga. Kesabaran adalah kunci untuk meraih rahmat dan ganjaran yang luar biasa dari Allah, dan balasannya tidak akan terlewatkan, baik di dunia maupun di akhirat.

Orang beriman selalu bersyukur bahwa selama alam ini diatur dan diurus oleh Allah, Allah SWT pasti akan menghadirkan kebaikan bagi umat manusia. Itulah pengakuan yang terucap lewat lisan saat kita membaca surah al-Fatihah, “Alhamdulillah Rabbil alamin.”

Dalam hadis qudsi Allah berfirman, “Aku bersama prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Jika ia berprasangka baik, itulah yang ia dapatkan. Namun, jika ia berprasangka buruk, itu pula yang ia dapatkan” (hadis hasan dalam kitab al-Jami ash-Shaghir lis Suyuthi).


Ini berarti, jika kita yakin bahwa Allah akan membalas kebaikan kita dengan kebaikan pula, maka itulah yang akan terjadi. Oleh karena itu, jangan biarkan prasangka buruk manusia merusak hubungan kita dengan Allah atau menghentikan kita dari berbuat baik.

Jadi Tetaplah Berbuat Baik

Pesan dari Ibnu Qayyim ini mengajarkan kita untuk tidak berhenti berbuat baik hanya karena ada orang yang berprasangka buruk. Biarkan mereka berpikir apa yang mereka mau, dan tetaplah fokus pada tujuan kita, yaitu untuk mendapatkan ridha Allah. Jangan biarkan perkataan atau penilaian manusia menghentikan kita dari melakukan amal kebaikan yang kita niatkan untuk Allah.

Teruslah berbuat baik, meskipun tidak ada yang melihat. Teruslah membantu, meskipun tidak ada yang mengakui. Pada akhirnya, semua amal kita akan dihitung oleh Allah, dan itulah yang terpenting. Biarkan manusia dengan prasangka mereka, dan kita tetap dengan niat baik kita. Allah Maha Mengetahui, dan itu sudah cukup.

Catatan Mas Bojreng

#KeepDoingGood #IgnoreNegativity #SeekAllahsApproval #FocusOnIntentions #StayPositive #myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng 

Friday, September 6, 2024

Sebuah Renungan Tentang Kehidupan yang Sementara

Perjalanan kemarin membuat saya merenung dan berpikir. Terasa ada yang mengganjal.

Ketika merasa ada kegelisahan di hati, dunia terasa sedemikian berubahnya dan dengan terasa cepatnya. Entah kenapa saya memilih untuk memperlambat diri, bahkan cenderung menjauh daripada mendekat.


Apa yang dicari dan berusaha dipertahankan didunia ini? Toh akhirnya akan kembali juga ke 2 x 1 meter. Membuat saya merenung di malam nan sepi ini.

Harta dan Jabatan Tak Akan Mengikut Ketika Kita Mati

Di dunia yang serba cepat ini, kita sering kali terjebak dalam kesibukan mengejar harta, jabatan, dan status sosial. Segala usaha dikerahkan untuk memperoleh kedudukan tinggi, kehidupan mewah, dan pengakuan dari orang lain. Seolah-olah, harta dan jabatan adalah tujuan akhir yang mampu memberikan kebahagiaan dan kepuasan hidup. Namun, ada satu kenyataan yang sering terlupakan, yaitu bahwa tidak ada satu pun dari semua itu yang akan mengikuti kita saat kita mati. Harta benda, jabatan, bahkan pengaruh sosial tidak akan menolong di hadapan kematian yang tak terelakkan.

Kehidupan Dunia yang Sementara

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

"Ketahuilah, bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak-anak." (QS. Al-Hadid: 20)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan sementara, penuh dengan permainan dan persaingan dalam hal kekayaan, status, serta anak keturunan. Orang berlomba-lomba untuk menggapai kekayaan dan jabatan tanpa menyadari bahwa semua itu hanya fana. Kehidupan di dunia ini hanyalah persinggahan singkat sebelum menuju kehidupan akhirat yang abadi. Ketika kematian tiba, apa pun yang kita kumpulkan di dunia tidak lagi berarti.

Kematian adalah Pintu Menuju Kehidupan Abadi

Kematian adalah suatu kepastian. Baik orang kaya, pejabat, ataupun orang biasa, tidak ada yang dapat menghindarinya. Rasulullah SAW bersabda, "Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (yaitu kematian)." (HR. Tirmidzi).

Mengingat kematian seharusnya menyadarkan kita bahwa harta dan jabatan yang kita kejar dengan penuh ambisi akan tertinggal saat kita meninggalkan dunia ini. Apa yang kita usahakan selama bertahun-tahun, apa yang kita banggakan di dunia, tidak ada artinya lagi di alam kubur. Liang lahat yang kita tempati tidak akan membedakan antara pejabat, orang kaya, atau orang miskin. Semua terbaring dalam liang yang sama, berukuran 2x1 meter.

Namun, ada sesuatu yang membedakan kita ketika kita sudah berbaring dalam kubur. Bukan harta, bukan jabatan, melainkan amal kebaikan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Mengapa Begitu Banyak Orang Terjebak dalam Mengejar Harta dan Jabatan?

Meskipun kita sadar bahwa kematian adalah kepastian, banyak orang masih terjebak dalam perlombaan duniawi. Mereka berusaha mati-matian mempertahankan harta, jabatan, dan pengaruh, bahkan dengan cara yang tidak diridhai Allah SWT. Mengapa demikian?

Pertama, karena ketidakmampuan melihat esensi kehidupan. Banyak yang lupa bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah ujian. Setiap harta, jabatan, dan kenikmatan yang kita peroleh hanyalah titipan sementara dari Allah SWT. Pada akhirnya, semuanya akan kembali kepada-Nya.

Kedua, godaan dunia sangat kuat. Dunia menawarkan kenyamanan, pengakuan, dan kekuasaan yang sering kali memabukkan. Banyak orang menjadi buta oleh nafsu dan keinginan untuk dihormati, sehingga lupa bahwa tujuan utama kita di dunia ini adalah mengabdi kepada Allah dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.

Ketiga, rasa takut kehilangan dan kekhawatiran tentang masa depan sering membuat orang bergantung pada harta dan jabatan. Mereka berpikir bahwa dengan memiliki lebih banyak kekayaan dan kedudukan, mereka akan merasa aman dan terlindungi. Padahal, keamanan sejati hanya datang dari Allah SWT, bukan dari harta yang fana.

Liang Lahat yang Sama, Tapi Apa yang Membedakan Kita?

Ketika kita wafat, kita semua akan dimasukkan ke dalam liang lahat yang sama, terlepas dari status kita di dunia. Namun, apa yang membedakan satu orang dengan orang lain setelah kematian?

Jawabannya adalah amal kebaikan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Orang yang rajin beribadah, beramal dengan ikhlas, dan menjalani hidup dengan prinsip kejujuran serta ketakwaan, akan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT di alam kubur. Sebaliknya, orang yang sibuk mengejar dunia dan melalaikan akhirat akan menuai penyesalan.

Rasulullah SAW bersabda, "Jika manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh." (HR. Muslim).

Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa yang abadi bukanlah harta atau jabatan, melainkan amal yang ikhlas, ilmu yang bermanfaat, dan doa dari anak-anak yang saleh. Harta dan jabatan hanyalah alat untuk berbuat kebaikan di dunia, bukan tujuan akhir yang harus kita agung-agungkan.

Menyadari Kebahagiaan Sejati

Kebahagiaan sejati bukan terletak pada seberapa banyak harta yang kita miliki atau seberapa tinggi jabatan yang kita capai. Kebahagiaan sejati adalah hidup dengan ridha Allah SWT, menjalani setiap hari dengan penuh keikhlasan, dan merasa cukup dengan apa yang Allah berikan.

Dalam pandangan Islam, harta dan jabatan bukanlah hal yang salah untuk dimiliki, selama keduanya diperoleh dengan cara yang halal dan digunakan untuk kebaikan. Namun, harta dan jabatan tidak boleh menjadi tujuan utama hidup kita. Ketika kita terlalu terikat pada harta dan jabatan, kita rentan terhadap kesombongan, kezaliman, dan lupa diri. Sebaliknya, ketika kita menyadari bahwa harta dan jabatan hanyalah titipan, kita akan lebih mudah bersikap rendah hati, dermawan, dan berserah diri kepada Allah SWT.

Mengingat Kematian Sebagai Pengingat Hidup

Salah satu cara terbaik untuk menghindari keterikatan pada dunia adalah dengan sering mengingat kematian. Mengingat bahwa kehidupan di dunia ini sangat singkat akan membuat kita lebih fokus pada hal-hal yang abadi, yaitu amal kebaikan dan keridhaan Allah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang paling cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah kematian." (HR. Ibnu Majah).

Mengingat kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan dijadikan sebagai motivasi untuk berbuat baik. Dengan mengingat kematian, kita akan lebih berhati-hati dalam menjalani hidup, lebih ikhlas dalam beramal, dan lebih fokus pada tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu mencari ridha Allah SWT.

Harta, jabatan yang dikejar, diperebutkan atau dipertahankan tidak akan ikut saat kita mati.

Harta, jabatan, dan segala yang kita kumpulkan di dunia ini tidak akan mengikuti kita ketika kita mati. Hanya amal kebaikan dan ketakwaan kepada Allah SWT yang akan menolong kita di akhirat. Oleh karena itu, mari kita gunakan harta dan jabatan sebagai alat untuk kebaikan, bukan sebagai tujuan hidup. Kehidupan dunia ini hanyalah sementara, sedangkan kehidupan akhirat akan abadi. Dengan mengingat kematian dan mempersiapkan diri untuk kehidupan setelahnya, kita akan menjalani hidup dengan lebih bermakna dan penuh keikhlasan. Semoga Allah SWT menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang selalu ingat akan hakikat kehidupan dan senantiasa berusaha untuk meraih ridha-Nya.

Pada akhirnya, apa sih yang benar-benar kita kejar dalam hidup ini? Harta, jabatan, atau pengakuan dari orang lain? Semua itu nggak akan ada yang bisa dibawa saat kita meninggal. Yang akan menemani kita di alam kubur hanyalah amal baik dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Kalau kita terlalu sibuk mengejar dunia, bisa-bisa kita lupa bahwa tujuan sebenarnya adalah akhirat. Coba renungkan, apa yang sudah kita siapkan untuk kehidupan setelah mati?

Mari kita sama-sama berpikir ulang, apakah yang kita kejar sekarang benar-benar memberi makna dalam hidup kita. Apakah kita sudah memanfaatkan harta dan jabatan untuk kebaikan, atau hanya sekadar untuk pamer dan mengejar pengakuan? Yuk, mulai sekarang kita perbanyak ibadah, berbuat baik, dan selalu ingat bahwa hidup ini cuma sementara. Yang kekal adalah akhirat, dan hanya amal baik yang akan menolong kita nanti.


Catatan dan renungan Mas Bojreng
entah kenapa saya sering sekali merenung dan menulis tentang kematian sebagai pengingat diri.

#WealthAndPositionFade #PrepareForAfterlife #DeathIsCertain #LiveForEternity #TrueHappinessInFaith #myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng 

Thursday, September 5, 2024

Menyikapi lelah dengan senyum

Teringat jaman sekolah dulu..

Bisa tertidur dimana saja, bahkan di tempat yang dianggap tidak nyaman sekalipun.

Ketika pulang dari praktek, disambut istri saya yang bertanya "capek ya mas?"
Entah kenapa jadi teringat quotes dari Kim Sabu dari drakor dr Romantic dibawah ini.
“are you tired? that means you’re doing well.”

Lanjut kami mengobrol, saat acara mitoni alias 7 bulanan si sulung ada pengajian di rumah, saya semester satu pendidikan spesialis, kata istri saya temannya melihat saya mengaji dan kelihatan khusyuk... istri saya hanya tersenyum dan berkata lirih.. coba dilihat lebih jelas.... terlihat saya duduk bersila sambil merem.... saya tertidur dalam posisi duduk bersila di karpet 😁😁😁 habis jaga dan kasus pasien banyak hahahaha....

Menjalani Pekerjaan dengan Ketulusan dan Sabar

Setiap hari kita dihadapkan dengan berbagai tuntutan pekerjaan yang tak jarang membuat kita merasa lelah, baik fisik maupun mental. Kadang, lelah itu membuat kita ingin mengeluh atau bahkan menyerah. Namun, sebagai seorang Muslim, penting untuk kita mengingat bahwa setiap lelah yang kita rasakan dalam bekerja bisa bernilai pahala di sisi Allah SWT, selama kita menjalaninya dengan ikhlas dan sabar.

Menemukan Makna di Balik Pekerjaan

Dalam Islam, bekerja bukan sekadar mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bekerja adalah bagian dari ibadah, cara kita berkontribusi pada masyarakat, dan bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Ketika kita bekerja dengan niat yang benar, yaitu untuk mencari ridha Allah, maka setiap langkah, setiap keringat yang mengalir, bahkan setiap lelah yang kita rasakan, semuanya akan diperhitungkan sebagai amal kebaikan.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an, “Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu...’” (QS. At-Taubah: 105). Ayat ini mengajarkan bahwa apa pun pekerjaan yang kita lakukan, selama itu halal dan bermanfaat, maka Allah akan melihatnya dan menilainya. Oleh karena itu, bekerja dengan baik, tekun, dan penuh tanggung jawab merupakan bentuk ketaatan kepada-Nya.

Lelah dalam Bekerja: Bagian dari Ujian

Lelah adalah hal yang wajar. Sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan fisik dan mental yang membuat kita mudah merasa capek setelah bekerja seharian. Namun, lelah ini juga merupakan ujian bagi kesabaran dan keteguhan hati kita. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barang siapa yang bekerja keras untuk keluarganya, maka dia berada di jalan Allah (fi sabilillah)” (HR. Thabrani).

Ketika kita merasa lelah, ingatlah bahwa kelelahan itu bukan tanpa makna. Itu adalah pengorbanan yang kita lakukan demi kebaikan keluarga, demi memenuhi kebutuhan hidup, dan demi menjaga martabat sebagai seorang Muslim yang tidak meminta-minta kepada orang lain. Dengan mengingat tujuan mulia ini, kita bisa lebih kuat menghadapi kelelahan dan tidak mudah mengeluh.

Jangan Mudah Mengeluh

Mengeluh adalah hal yang sering kita lakukan tanpa sadar. Ketika pekerjaan menumpuk, ketika hasil yang diharapkan tidak sesuai, atau ketika merasa tidak dihargai, keluhan mudah sekali keluar dari mulut kita. Namun, Islam mengajarkan kita untuk menahan diri dari mengeluh. Sebab, mengeluh hanya akan menambah beban mental dan membuat kita semakin sulit untuk bersyukur.

Dalam Islam, kita diajarkan untuk selalu bersabar dan bersyukur dalam segala keadaan. Allah SWT berfirman, “Jika kamu bersyukur, niscaya akan Aku tambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7). Ayat ini mengingatkan kita bahwa dengan bersyukur atas apa yang kita miliki dan apa yang kita kerjakan, Allah akan menambahkan nikmat-Nya, termasuk kekuatan untuk menjalani pekerjaan kita dengan lebih baik.

Menyikapi Lelah dengan Positif

Bagaimana caranya agar kita bisa menyikapi lelah dengan positif? Pertama, perkuat niat kita dalam bekerja. Ingatkan diri kita bahwa bekerja adalah ibadah dan cara kita mencari ridha Allah. Dengan niat yang lurus, lelah pun akan terasa lebih ringan karena kita tahu ada pahala yang menanti di balik setiap usaha kita.

Kedua, istirahatlah dengan cukup dan manfaatkan waktu sebaik mungkin. Jangan forsir diri bekerja tanpa henti, karena tubuh kita memiliki hak untuk beristirahat. Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk seimbang dalam hidup, termasuk dalam hal bekerja dan beristirahat. Beliau bersabda, “Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketiga, berdoalah kepada Allah agar diberikan kekuatan dan kesabaran dalam menjalani setiap pekerjaan. Doa adalah senjata paling ampuh bagi seorang Muslim. Dengan berdoa, kita memohon pertolongan langsung dari Allah yang Maha Kuat. Tidak ada yang lebih bisa memberikan kita kekuatan selain Dia.

Mengingat Balasan di Akhirat

Terakhir, selalu ingat bahwa setiap usaha kita di dunia ini akan diperhitungkan di akhirat kelak. Ketika kita bekerja dengan ikhlas, sabar, dan tidak mudah mengeluh, pahala besar menanti kita di sisi Allah. Bahkan, kelelahan yang kita rasakan akan menjadi penghapus dosa-dosa kecil kita.

Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang muslim tertimpa kelelahan, sakit, kesedihan, gangguan, dan kesusahan, hingga duri yang menusuknya, kecuali Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan sebab hal itu” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini memberikan kita penghiburan bahwa kelelahan yang kita rasakan bukanlah sia-sia. Setiap rasa lelah itu adalah ladang pahala dan penghapus dosa bagi kita.

Jangan mudah mengeluh

Bekerja adalah bagian dari kehidupan yang tidak bisa dihindari, namun bagaimana kita menyikapinya yang akan menentukan apakah pekerjaan itu menjadi beban atau ibadah. Jangan mudah mengeluh saat lelah, karena setiap lelah yang kita rasakan dalam bekerja bisa bernilai pahala jika dijalani dengan niat yang benar, ikhlas, dan sabar.

Menghadapi pekerjaan dengan penuh kesadaran bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi dan tanggung jawab adalah bagian dari amanah yang harus dijalankan. Sebagai seorang dokter obgyn, saya dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk selalu siap sedia 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Ketika panggilan dari rumah sakit datang, terutama untuk kasus-kasus gawat darurat, saya harus segera merespons dan hadir untuk memberikan penanganan terbaik. Kesiapan ini adalah bagian dari komitmen yang harus saya penuhi, dan lelah yang dirasakan menjadi bagian dari pengorbanan dalam menjalankan amanah ini. Karena buat saya ini bukan hanya sekedar pekerjaan buat saya ini adalah passion saya.

Setiap pekerjaan memiliki tantangannya masing-masing, dan sebagai seorang Muslim, kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang kita lakukan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Bekerja dengan penuh tanggung jawab, tidak mudah mengeluh, dan tetap teguh dalam menghadapi setiap lelah adalah cara kita menjaga amanah tersebut. Dengan niat yang ikhlas dan kesabaran, insya Allah, segala lelah yang kita rasakan akan bernilai pahala dan menjadi jalan menuju ridha-Nya. Jangan lupa bahwa kesungguhan dalam pekerjaan adalah bentuk nyata dari pengabdian kita kepada Allah SWT, yang akan senantiasa membalas setiap usaha yang kita lakukan dengan kebaikan yang lebih besar.

Ingatlah selalu bahwa Allah SWT melihat setiap usaha kita, dan Dia tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Jika kita merasa lelah, bersandarlah kepada Allah, mintalah kekuatan dari-Nya, dan jangan lupa untuk selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah kita terima. Dengan begitu, kita bisa menjalani pekerjaan kita dengan lebih tenang, penuh semangat, dan insya Allah, diberkahi oleh-Nya.

Alhamdulillah tadi malam sambil menunggu pasien disiapkan untuk operasi karena kasus kegawatan bisa menyelesaikan satu tulisan.

Catatan Mas Bojreng

#WorkWithPurpose #PatienceInWork #NoComplaints #IslamicPerspective #GratitudeAtWork
#doctor #doctorslife #doctors #dokter #itsmylife #myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng 

Wednesday, September 4, 2024

Hidup apa adanya saja....

Ketika tiba tiba terasa kurang dalam kehidupan, ada yang secara tidak langsung mengingatkan saya hidup qanaah, apa adanya, lebih tenang daripada hidup memaksakan diri mengikuti gaya hidup. Membuat saya terinspirasi untuk menuliskan pendapat saya.

Hidup Qanaah adalah Menjalani Kehidupan dengan Apa Adanya


Dalam dunia yang penuh dengan godaan materialisme dan tekanan sosial untuk mencapai standar kehidupan yang tinggi, kita sering kali terjebak dalam perlombaan untuk memiliki lebih banyak. Kita terdorong untuk mengikuti gaya hidup yang tidak sesuai dengan kemampuan kita demi mendapatkan pengakuan dari orang lain. Namun, Islam mengajarkan kita untuk hidup dalam qanaah, yaitu menerima dengan ikhlas segala apa yang telah Allah berikan kepada kita. Hidup dalam qanaah memberikan ketenangan jiwa dan ketentraman hati yang jauh lebih berharga daripada kebahagiaan semu yang diperoleh dari hidup yang memaksakan diri.

Qanaah dalam Perspektif Islam

Qanaah berasal dari kata bahasa Arab yang berarti "puas" atau "merasa cukup". Dalam konteks kehidupan sehari-hari, qanaah berarti merasa puas dengan rezeki yang telah diberikan oleh Allah SWT, baik dalam hal harta, kesehatan, maupun takdir lainnya. Seseorang yang memiliki sifat qanaah tidak akan merasa iri dengan apa yang dimiliki orang lain, melainkan selalu bersyukur atas apa yang ada dalam genggamannya.

Rasulullah SAW bersabda, "Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian dan janganlah melihat kepada orang yang berada di atas kalian, karena hal itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian." (HR. Muslim). Hadis ini mengajarkan kita untuk tidak selalu membandingkan diri dengan orang yang memiliki lebih banyak, tetapi untuk bersyukur atas nikmat yang telah diberikan kepada kita.

Qanaah merupakan Kunci Ketenangan Jiwa

Salah satu keutamaan dari hidup qanaah adalah ketenangan jiwa. Ketika seseorang merasa cukup dengan apa yang dimilikinya, ia tidak akan terjebak dalam kecemasan untuk terus mengejar lebih banyak. Rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT memberikan perasaan damai, karena kita yakin bahwa segala sesuatu yang ada pada kita adalah yang terbaik untuk kita menurut Allah.

Sebaliknya, hidup yang selalu memaksakan diri untuk mengikuti gaya hidup orang lain atau standar sosial tertentu sering kali membawa ketidakpuasan. Kita terus merasa kurang, walaupun secara materi kita memiliki banyak. Hal ini karena hati kita tidak pernah merasa puas, selalu ingin lebih, dan akhirnya hidup dalam kecemasan serta ketidakbahagiaan.

Bahaya Memaksakan Diri Mengikuti Gaya Hidup

Di zaman modern ini, tekanan untuk tampil dengan gaya hidup yang "mewah" atau sesuai dengan tren sangat besar, terutama dengan adanya media sosial. Kita sering kali melihat kehidupan orang lain yang terlihat sempurna dan menginginkan hal yang sama, tanpa mempertimbangkan apakah kita mampu atau tidak. Akibatnya, banyak orang yang memaksakan diri untuk mengikuti gaya hidup tersebut dengan berhutang, bekerja lebih keras tanpa henti, atau mengorbankan kesehatan dan waktu berharga bersama keluarga.

Namun, hidup dalam kepalsuan ini hanya akan membawa kita pada kehancuran. Hutang yang menumpuk, stres yang berkepanjangan, dan hubungan yang retak adalah sebagian dari konsekuensi dari hidup yang memaksakan diri. Pada akhirnya, meskipun kita mungkin berhasil mencapai standar hidup yang kita inginkan, kebahagiaan yang dihasilkan hanyalah sementara dan sering kali disertai dengan rasa cemas dan takut kehilangan apa yang sudah kita capai.

Hidup Sederhana adalah Jalan Menuju Kebahagiaan Sejati

Islam mengajarkan kita untuk hidup sederhana dan tidak berlebihan. Rasulullah SAW sendiri adalah contoh terbaik dalam hal ini. Meskipun beliau adalah pemimpin umat dan mendapatkan banyak harta dari peperangan dan zakat, beliau tetap hidup sederhana, bahkan memilih untuk tidur di atas tikar kasar dan makan dari makanan yang sederhana.

Dengan hidup sederhana, kita akan lebih mudah merasa puas dan bersyukur. Tidak ada beban untuk terus mengejar lebih banyak, dan kita bisa lebih fokus pada hal-hal yang lebih penting dalam hidup, seperti ibadah, keluarga, dan berbagi dengan sesama. Hidup sederhana juga membantu kita untuk lebih menghargai nikmat yang kecil dan tidak selalu menginginkan yang besar.

Selain itu, hidup dalam qanaah akan menjauhkan kita dari sifat-sifat tercela seperti iri hati, rakus, dan tamak. Kita menjadi lebih ikhlas dalam menerima takdir Allah dan lebih mampu menghadapi ujian hidup dengan tenang. Ketika kita tidak terlalu terikat pada dunia, kita akan lebih siap untuk menghadapi kematian dan kehidupan setelahnya.

Qanaah dan Keseimbangan Hidup

Kehidupan yang qanaah bukan berarti kita tidak boleh berusaha untuk meningkatkan taraf hidup atau mencapai kesuksesan. Islam tidak melarang kita untuk bekerja keras dan meraih rezeki yang halal. Namun, qanaah mengajarkan kita untuk selalu merasa cukup dengan hasil yang kita peroleh, tidak tergoda untuk mencari lebih banyak dengan cara yang tidak halal, dan tidak mengorbankan nilai-nilai yang kita pegang teguh.

Keseimbangan hidup dapat dicapai ketika kita tahu kapan harus berusaha dan kapan harus menerima. Berusaha keras untuk mencapai cita-cita adalah kewajiban, tetapi kita harus tetap mengingat bahwa hasil akhirnya adalah kehendak Allah. Ketika kita telah berusaha semampu kita, kita harus menerima apapun hasilnya dengan lapang dada, itulah qanaah.

Hidup qanaah adalah jalan menuju tenangnya hati

Hidup qanaah adalah jalan menuju ketenangan jiwa dan kebahagiaan sejati. Dalam dunia yang penuh dengan godaan materialisme dan tekanan sosial, qanaah mengajarkan kita untuk merasa cukup dengan apa yang telah Allah berikan. Dengan hidup sederhana dan tidak memaksakan diri mengikuti gaya hidup orang lain, kita akan terhindar dari stres dan ketidakbahagiaan. Sebaliknya, kita akan merasakan kedamaian dalam hati dan ketentraman dalam hidup, karena kita selalu bersyukur atas nikmat yang telah Allah karuniakan kepada kita.

Ketika kita merenung lebih dalam, kita akan menyadari bahwa segala harta, kemewahan, dan status sosial yang kita kejar di dunia ini hanyalah sementara. Pada saat kematian datang menjemput, semua yang kita banggakan akan tertinggal di dunia. Rumah megah, kendaraan mewah, dan segala kemilau materi akan tetap berada di sini, sementara kita sendiri hanya akan membawa amal kebaikan, keikhlasan, dan ketakwaan kepada Allah SWT sebagai bekal untuk perjalanan selanjutnya.

Maka dari itu, mari kita berpikir dengan jernih dan bertanya pada diri sendiri: Apakah kita ingin menghabiskan hidup ini dengan memaksakan diri mengejar sesuatu yang akan ditinggalkan, ataukah kita ingin fokus pada hal-hal yang akan kita bawa ke akhirat? Dengan memilih hidup dalam qanaah, kita tidak hanya mendapatkan ketenangan di dunia, tetapi juga menyiapkan bekal yang lebih baik untuk kehidupan abadi di akhirat. Hanya amal, doa, dan ketakwaan yang akan menyertai kita dalam perjalanan menuju Allah SWT, sementara dunia akan kita tinggalkan selamanya.

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya..." (QS. Al-Baqarah: 286)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa Allah SWT memberikan rezeki, ujian, dan tanggung jawab sesuai dengan kemampuan kita. Dengan memahami dan menerima hal ini, kita dapat hidup dalam qanaah, merasa cukup dengan apa yang Allah berikan, dan tidak memaksakan diri untuk mengikuti gaya hidup yang melebihi kemampuan kita.

Pada akhirnya, qanaah adalah kunci untuk menjalani kehidupan yang lebih tenang, seimbang, dan penuh dengan berkah. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk selalu merasa cukup dengan rezeki yang telah Dia berikan dan menjauhkan kita dari sifat-sifat yang dapat merusak ketenangan jiwa kita. Amin.

Catatan Mas Bojreng

#ContentmentInLife #SimplicityIsKey #InnerPeace #GratitudeAlways #RejectMaterialism #myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng 

Tuesday, September 3, 2024

Kembalikan ke niat yang baik.. Lillahi ta'ala

Entah kenapa semakin kesini semakin banyak hingar bingar yang saya lihat dan saya rasakan.

Seringkali menyebabkan rasa semakin ingin menjauh, menjauh dari segala macam hingar bingar, asumsi dan prasangka yang ada. Mereka bilang perubahan, perubahan memang akan terjadi tapi apakah selalu kearah yang lebih baik?

Saya tidak tahu.

Hari ini saya diingatkan oleh suatu quotes dari Hasan Al-Basri: "Jika seseorang berprasangka buruk kepadamu, ingatlah bahwa pahala tetap terjaga jika niatmu bersih di hadapan Allah. Jangan biarkan hati dan amalmu terganggu oleh prasangka manusia."

Walaupun saya sering berkata, biarlah saya tidak mempedulikan penilaian orang terhadap saya, biarlah dalam hidup ini saya mencari Ridho Illahi saja. Tapi dalam hati sering terjadi kegelisahan dan keresahan akan prasangka dan asumsi orang. Mungkin memang ibadah saya kurang khusyuk, masih harus banyak belajar terutama tentang keikhlasan dan kerelaan hati. Harus banyak berucap Istighfar.

Sebagaimana disebutkan didalam Surah Al-Hujurat, yang berbicara tentang pentingnya menjaga niat, menghindari prasangka buruk, dan menjaga hubungan baik antar sesama Muslim:

"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang."
(QS. Al-Hujurat: 12)

Ayat ini mengingatkan kita untuk menjauhi prasangka buruk, karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Ini sejalan dengan pesan Hasan Al-Basri tentang menjaga niat agar tetap bersih di hadapan Allah SWT, meskipun ada prasangka buruk dari orang lain.

Menghadapi Prasangka dengan Niat yang Lurus

Dalam menjalani kehidupan, kita tidak lepas dari penilaian dan prasangka orang lain. Sering kali, kita merasa dinilai secara tidak adil, bahkan disalahpahami. Prasangka buruk terhadap diri kita bisa datang dari berbagai pihak, baik dari orang yang kita kenal dekat maupun dari mereka yang hanya melihat kita dari kejauhan. Namun, di tengah situasi seperti ini, nasihat bijak dari Hasan Al-Basri datang sebagai pengingat yang menenangkan hati: "Jika seseorang berprasangka buruk kepadamu, ingatlah bahwa pahala tetap terjaga jika niatmu bersih di hadapan Allah. Jangan biarkan hati dan amalmu terganggu oleh prasangka manusia."

Kata-kata ini bukan sekadar nasihat, melainkan panduan untuk menjaga ketenangan batin di tengah hiruk-pikuk kehidupan sosial yang sering kali dipenuhi dengan prasangka dan penilaian negatif. Dalam pandangan Islam, niat adalah fondasi dari setiap amal. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan" (HR. Bukhari dan Muslim). Dari sini, kita belajar bahwa Allah SWT lebih memperhatikan apa yang tersembunyi di dalam hati kita daripada apa yang terlihat di mata manusia.

Prasangka Manusia adalah Sebuah Keniscayaan

Prasangka adalah bagian dari fitrah manusia. Sering kali, orang-orang membuat penilaian tanpa mengetahui keseluruhan cerita. Mereka hanya melihat sepintas dari luar, tanpa benar-benar memahami situasi yang sebenarnya. Prasangka ini bisa muncul dari berbagai alasan: kurangnya informasi, pengalaman masa lalu, atau sekadar ketidaksukaan pribadi. Namun, sebagai seorang Muslim, kita diajarkan untuk tidak terpengaruh oleh prasangka tersebut. Alih-alih membiarkan prasangka merusak ketenangan batin kita, kita harus fokus pada niat dan tujuan yang lurus di hadapan Allah SWT.

Hasan Al-Basri mengingatkan kita bahwa jika niat kita murni, prasangka buruk tidak akan mengurangi pahala dari amal yang kita lakukan. Allah SWT mengetahui niat di balik setiap tindakan kita, dan Dia-lah yang akan memberikan ganjaran sesuai dengan ketulusan niat tersebut. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu menjaga niat kita agar tetap lurus dan bersih, terlepas dari apa yang orang lain pikirkan atau katakan.

Mengatasi Prasangka dengan Keikhlasan

Salah satu cara terbaik untuk menghadapi prasangka adalah dengan ikhlas. Ikhlas berarti melakukan segala sesuatu hanya karena Allah SWT, tanpa mengharapkan pujian atau penghargaan dari manusia. Ketika kita ikhlas, prasangka buruk dari orang lain tidak akan mempengaruhi kita. Kita tidak akan merasa terbebani oleh penilaian mereka, karena kita tahu bahwa yang terpenting adalah penilaian Allah SWT.

Keikhlasan juga membawa ketenangan hati. Ketika kita ikhlas, kita tidak akan merasa tertekan oleh ekspektasi orang lain. Kita tidak akan terpengaruh oleh apa yang mereka pikirkan tentang kita, karena kita tahu bahwa hanya Allah SWT yang mengetahui niat kita yang sebenarnya. Dengan demikian, keikhlasan menjadi perisai yang melindungi kita dari efek negatif prasangka buruk.

Namun, ikhlas bukanlah hal yang mudah dicapai. Ia membutuhkan perjuangan batin dan pengendalian diri yang kuat. Kita harus terus-menerus mengingatkan diri sendiri untuk melakukan segala sesuatu karena Allah SWT, bukan karena ingin mendapatkan pengakuan atau penghargaan dari manusia. Ini adalah proses yang membutuhkan latihan dan kesabaran, tetapi hasilnya adalah ketenangan batin dan kepuasan yang luar biasa.

Menghindari Dampak Negatif Prasangka

Prasangka buruk dari orang lain dapat memiliki dampak negatif pada diri kita jika kita membiarkannya. Hal ini bisa menyebabkan stres, kecemasan, dan bahkan mempengaruhi kualitas ibadah kita. Ketika kita terlalu memikirkan apa yang orang lain katakan tentang kita, kita bisa kehilangan fokus pada tujuan sebenarnya dari hidup kita, yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT dan mencari ridha-Nya.

Oleh karena itu, penting untuk menghindari dampak negatif dari prasangka dengan cara tetap fokus pada niat dan amal yang benar di hadapan Allah SWT. Jangan biarkan prasangka manusia mengganggu ketenangan hati dan pikiran kita. Sebaliknya, kita harus selalu kembali kepada Allah SWT, memohon kekuatan dan keteguhan hati untuk tetap berada di jalan yang benar, terlepas dari apa yang orang lain katakan atau pikirkan.

Mengambil Hikmah dari Prasangka

Meskipun prasangka buruk dapat menyakitkan, kita bisa mengambil hikmah darinya. Prasangka tersebut bisa menjadi pengingat bagi kita untuk selalu mengevaluasi diri dan memperbaiki niat serta amal kita. Kadang-kadang, prasangka orang lain bisa menjadi cermin yang menunjukkan kelemahan atau kekurangan kita, yang mungkin tidak kita sadari. Dengan demikian, prasangka dapat menjadi peluang untuk introspeksi dan memperbaiki diri.

Selain itu, menghadapi prasangka dengan sabar dan ikhlas dapat meningkatkan kualitas diri kita. Kita belajar untuk tidak mudah terpengaruh oleh apa yang orang lain katakan, dan kita menjadi lebih kuat dalam menghadapi ujian hidup. Ketika kita berhasil melewati ujian ini dengan kesabaran dan keikhlasan, kita akan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah SWT.

Prasangka dan asumsi akan selalu ada dalam kehidupan.

Prasangka buruk adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan manusia. Namun, sebagai seorang Muslim, kita diajarkan untuk tidak membiarkan prasangka tersebut mengganggu ketenangan hati dan amal kita. Nasihat Hasan Al-Basri mengingatkan kita bahwa selama niat kita lurus di hadapan Allah SWT, pahala kita tetap terjaga, meskipun orang lain berprasangka buruk terhadap kita.

Sebagai manusia, kita sering dihadapkan pada asumsi dan prasangka yang datang tanpa dasar yang jelas. Dalam situasi seperti ini, penting bagi kita untuk merenung dan berpikir secara mendalam tentang niat kita yang sebenarnya. Apakah kita telah berusaha dengan tulus untuk menjaga niat yang lurus di hadapan Allah SWT? Jika iya, maka tidak ada prasangka buruk yang dapat merusak ketenangan batin kita. Sebaliknya, kita harus berusaha untuk tetap fokus pada ibadah dan amal kita, serta menjauhkan diri dari pikiran-pikiran negatif yang hanya akan mengganggu hati dan jiwa.

Oleh karena itu, mari kita selalu menjaga niat kita agar tetap ikhlas, melakukan segala sesuatu karena Allah SWT, bukan karena mengharapkan pengakuan dari manusia. Dengan demikian, kita akan mampu menghadapi prasangka dengan hati yang tenang, tidak terpengaruh oleh penilaian negatif, dan tetap fokus pada tujuan hidup kita yang sejati: mencari ridha Allah SWT.

Marilah kita selalu berdoa kepada Allah SWT agar dijauhkan dari asumsi dan prasangka buruk, baik yang datang dari orang lain maupun dari diri kita sendiri. Semoga Allah SWT melindungi kita dari orang-orang yang senantiasa berprasangka buruk dan menjauhkan mereka dari kehidupan kita. Dengan begitu, kita dapat terus menjalani hidup dengan hati yang tenang, penuh ketulusan, dan senantiasa mengharapkan ridha-Nya. Semoga Allah SWT membimbing kita untuk selalu berada di jalan yang benar dan memberikan kita kekuatan untuk tetap teguh dalam menghadapi segala ujian hidup.

Semoga Allah SWT senantiasa meluruskan niat kita, menjauhkan kita dari prasangka buruk, dan memberikan kita keteguhan hati dalam menjalani kehidupan ini.

Catatan Mas Bojreng

#PureIntentions #FacingJudgment #InnerPeace #SincerityInFaith #OvercomingNegativity #myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng 

Monday, September 2, 2024

Kematian.... refleksi dan muhasabah

Tiba tiba muncul di wall saya kata kata ini


Mungkin saja satu jam yang lalu engkau masih ketawa haha hihi, lalu kemudian kini engkau terdiam (mati)

Mendapat pertanyaan dari malaikat di dalam kubur.
Tidakkah kita berpikir akan datangnya saat-saat itu terjadi ?
Tidakkah kita merenung bagaimana jika ajal itu datang tiba-tiba ?
Sementara kita masih tetap melewati hari dan menghidupkan waktu tetap dalam maksiat dan dosa.
bermuhasabahlah..

Menghadapi Kenyataan Kehidupan dan Kematian, Refleksi dan Muhasabah

Mungkin saja satu jam yang lalu, engkau masih tertawa dengan gembira, menikmati canda dan tawa bersama teman-teman atau keluarga. Namun, dalam sekejap mata, semua itu bisa berubah. Waktu yang tampaknya berjalan lambat, tiba-tiba bisa mempercepat perjalanan hidup menuju akhir yang tak terhindarkan—kematian. Kematian adalah kepastian yang tak terelakkan, tetapi sering kali kita abaikan. Kita begitu sibuk dengan kehidupan sehari-hari, hingga lupa bahwa setiap detik yang berlalu membawa kita semakin dekat pada akhir kehidupan kita di dunia.

Kematian Suatu Kepastian yang Sering Diabaikan

Dalam kesibukan dan hiruk-pikuk kehidupan, kita cenderung melupakan bahwa kematian bisa datang kapan saja, tanpa peringatan. Hidup yang penuh dengan tawa dan canda bisa berubah menjadi keheningan yang menakutkan ketika kita berhadapan dengan malaikat maut. Allah SWT telah mengingatkan kita dalam Al-Qur'an bahwa setiap jiwa pasti akan merasakan mati. Firman-Nya:

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan." (QS. Al-Ankabut: 57).

Sayangnya, kesadaran ini sering kali terbenam dalam rutinitas dan kesenangan duniawi. Kita sering kali melupakan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah sementara, dan apa yang benar-benar penting adalah bagaimana kita mempersiapkan diri untuk akhirat.

Tanda-tanda dan Pertanyaan di Alam Kubur

Setiap orang yang meninggal dunia akan dihadapkan dengan pertanyaan di alam kubur oleh malaikat Munkar dan Nakir. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah tentang siapa Tuhan kita, apa agama kita, dan siapa nabi kita. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya datang dari lisan, tetapi dari keyakinan dan amal perbuatan kita selama hidup di dunia. Namun, bagaimana jika ajal itu datang tiba-tiba, saat kita masih tenggelam dalam dosa dan kemaksiatan? Apakah kita siap untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan tersebut?

Dalam keadaan seperti itu, seharusnya kita merenung dan bermuhasabah. Muhasabah adalah introspeksi diri yang sangat penting dalam Islam. Ia merupakan upaya untuk mengevaluasi diri kita sendiri, apakah kita sudah menjalani hidup sesuai dengan ajaran Islam, ataukah kita masih sering lalai dan terlena oleh godaan duniawi.

Muhasabah, Merenungkan Ajal yang Bisa Datang Kapan Saja

Muhasabah mengajarkan kita untuk merenung tentang kehidupan dan kematian. Ketika kita merenungkan betapa cepatnya waktu berlalu, kita akan menyadari betapa pentingnya setiap detik yang kita miliki. Setiap detik adalah anugerah dari Allah yang harus kita manfaatkan sebaik mungkin untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan dosa serta kemaksiatan.

Bayangkan jika ajal menjemput kita saat kita masih dalam keadaan bermaksiat. Bagaimana kita akan mempertanggungjawabkan perbuatan kita di hadapan Allah? Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu siap dan waspada, serta menjauhi perbuatan dosa yang dapat menjerumuskan kita ke dalam kehancuran. Rasulullah SAW bersabda:

"Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan, yaitu kematian." (HR. Tirmidzi).

Dengan mengingat kematian, kita akan terdorong untuk lebih berhati-hati dalam bertindak dan lebih banyak melakukan amal kebaikan sebagai persiapan untuk kehidupan di akhirat.

Kehidupan dalam Cahaya Ketaatan

Kehidupan ini adalah perjalanan sementara, dan kita adalah musafir yang sedang menuju tujuan akhir, yaitu akhirat. Segala sesuatu yang kita lakukan di dunia ini akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Oleh karena itu, kita harus memastikan bahwa setiap langkah yang kita ambil adalah langkah yang mendekatkan kita kepada Allah SWT, bukan yang menjauhkan kita dari-Nya.

Salah satu cara untuk tetap berada di jalan yang benar adalah dengan menghidupkan waktu dalam ketaatan kepada Allah. Ketika kita menyadari betapa berharganya waktu, kita akan berusaha untuk mengisinya dengan amal-amal yang bermanfaat, seperti shalat, membaca Al-Qur'an, berdzikir, dan berbuat kebaikan kepada sesama.

Namun, sering kali kita terjebak dalam rutinitas yang menjauhkan kita dari Allah. Kita sibuk dengan pekerjaan, mengejar materi, dan mencari kesenangan duniawi, hingga melupakan hakikat hidup yang sebenarnya. Kita sering kali menunda-nunda untuk bertaubat dan memperbaiki diri, dengan alasan masih ada waktu nanti. Padahal, kita tidak pernah tahu kapan ajal akan menjemput kita.

Taubat dan Kembali kepada Allah

Jika kita sadar bahwa hidup kita masih penuh dengan dosa dan kemaksiatan, maka jangan menunggu lebih lama lagi untuk bertaubat. Allah SWT sangat mencintai hamba-Nya yang bertaubat dan kembali kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur'an:

"Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'" (QS. Az-Zumar: 53).

Taubat adalah pintu rahmat yang selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin kembali kepada Allah. Kita harus segera mengambil kesempatan ini sebelum pintu taubat tertutup selamanya. Selain itu, kita harus berusaha untuk menghidupkan hati kita dengan keimanan dan ketaatan, serta menjauhi segala bentuk kemaksiatan yang bisa mengundang murka Allah.

Refleksi untuk Menyongsong Kematian dengan Kesiapan

Masihkah kita berhura-hura, tertawa-tawa, dan benar-benar tidak mengingat kematian? Padahal, setiap detik yang berlalu membawa kita semakin dekat kepada akhir kehidupan di dunia ini. Kita begitu sibuk mengejar jabatan, harta, dan kesenangan duniawi, hingga lupa bahwa semuanya hanya sementara. Kematian adalah kepastian yang bisa datang sewaktu-waktu, tanpa pemberitahuan, dan tanpa persiapan.

Kehidupan dunia hanyalah persinggahan yang singkat. Segala yang kita kumpulkan di dunia ini tidak akan berarti apa-apa ketika kita dipanggil kembali kepada-Nya. Oleh karena itu, mari kita manfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik-baiknya, mempersiapkan diri untuk kehidupan yang kekal di akhirat. Jangan biarkan diri kita terlena dalam kesenangan sementara dan melupakan tujuan akhir yang sebenarnya.

Akhirnya, mari kita renungkan, bahwa mungkin saja satu jam yang lalu kita masih tertawa dan bersenda gurau, tetapi kita tidak pernah tahu kapan saatnya kita akan terdiam untuk selama-lamanya. Oleh karena itu, mari kita jadikan setiap detik yang kita miliki sebagai kesempatan untuk berbuat kebaikan, memperbanyak ibadah, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Jangan biarkan hidup kita berlalu begitu saja dalam kemaksiatan dan dosa. Bermuhasabahlah setiap hari, periksa hati kita, dan pastikan bahwa kita selalu berada di jalan yang diridhai Allah. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk tetap istiqamah di jalan-Nya dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi kehidupan yang kekal di akhirat. Aamiin.

Jangan mengharap dan menghamba penilaian orang, karena pada akhirnya kita akan sendiri, berharaplah pada Allah SWT.

Catatan Mas Bojreng

#ReflectOnLife #PrepareForDeath #RememberAllah #SeekForgiveness #TimeIsPrecious #myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng 

Sunday, September 1, 2024

Senandung Sunyi di Ujung Malam

Pagi ini

Dalam sepi, aku sendiri,

Dini hari menyapa dalam sunyi,
Ayat-ayat suci mengalun dari masjid,
Menyentuh hati yang lelah berkelana,
Menemukan damai dalam kesendirian.

Tiap lafaz Al-Quran mengisi malam,
Meresap dalam jiwa yang gelisah,
Menghapus resah dan kegundahan,
Mengajak bercakap dengan Sang Pencipta,
Mengukir doa dalam setiap helaan nafas.

Hanya aku dan Allah di sini,
Dalam hening yang suci dan murni,
Tak perlu kata, hanya bisikan hati,
Menyampaikan segala keluh kesah,
Dalam diam, kuberserah penuh kepada-Nya.

Kesendirian bukanlah beban,
Ia adalah ruang untuk mendekat,
Pada Yang Maha Mendengar,
Dalam sunyi, kusadari arti hidup,
Bahwa semua akan kembali pada-Nya.

Malam kian larut, subuh mendekat,
Dalam kesendirian yang penuh hikmah,
Kupanjatkan syukur dan istighfar,
Di setiap hembusan doa yang lirih,
Kutitipkan semua kepada-Mu, ya Allah.

Mas Bojreng

#DiniHari #Kesendirian #DoaDalamSunyi #MendekatKepadaAllah #KetenanganJiwa #poem #poet #poetry #poets #poetrycommunity #poetrylovers #poetryofinstagram #catatanmasbojreng #masbojreng 

Mengeluh tanpa hasil

Menjalani bimbingan psikolog selama dua tahun telah memberi saya banyak pelajaran berharga tentang bagaimana menghadapi hidup dengan lebih bijaksana. Salah satu hal yang paling penting yang saya pelajari adalah pentingnya menjaga lisan dan pikiran, terutama ketika menghadapi kesulitan.

Mengeluh mungkin terasa melegakan sesaat, tetapi terlalu sering melakukannya, terutama kepada orang yang tidak tepat, bisa berdampak buruk pada diri sendiri dan orang-orang yang kita cintai. Mari kita renungkan bersama, apakah setiap keluhan yang kita sampaikan benar-benar bermanfaat, atau justru menambah beban bagi orang lain?


Mengeluh adalah bagian alami dari kehidupan manusia. Namun, terlalu sering mengeluh atau mengeluhkan hal-hal kepada orang yang tidak tepat bisa berdampak buruk, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Dalam Islam, kita diajarkan untuk bersabar, menjaga lisan, dan selalu mengingat Allah SWT dalam setiap keadaan.

Entah kenapa saya ingin membikin tulisan yang mencoba  mengupas pentingnya menghindari kebiasaan mengeluh, mengapa sebaiknya kita lebih banyak berbincang dengan Allah SWT, serta bagaimana menjaga kebahagiaan keluarga dan orang-orang yang kita cintai dengan cara yang bijaksana.

Ya ini memang tulisan versi saya dan menurut saya. Dan selalu saya coba praktekan.

Mengeluh dan Putus Asa merupakan Perangkap yang Harus Dihindari

Mengeluh dan putus asa adalah dua hal yang bisa menguras energi dan semangat hidup. Ketika kita mengeluh, secara tidak sadar kita memfokuskan diri pada sisi negatif dari keadaan yang kita hadapi. Hal ini dapat mempengaruhi cara pandang kita, membuat masalah yang sebenarnya kecil terasa lebih besar dan lebih berat. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:

"Dan sesungguhnya Kami akan berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 155).

Ayat ini mengingatkan kita bahwa cobaan adalah bagian dari kehidupan, dan kesabaran adalah kunci dalam menghadapi segala ujian. Mengeluh, apalagi kepada orang yang tidak bisa memberikan solusi, tidak akan membawa manfaat. Sebaliknya, hal ini bisa menambah beban pikiran dan membuat kita semakin terpuruk.

Berbincang dengan Allah SWT  Sang Pencipta yang Maha Mendengar

Alhamdulillah ketika mendapat undangan didini hari, dan betapa sedihnya ketika undangan itu saya lewatkan.

Dalam Islam, salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan adalah berdoa. Berdoa bukan hanya untuk meminta sesuatu, tetapi juga untuk mencurahkan segala keluh kesah kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku." (QS. Al-Baqarah: 186).

Berbicara dengan Allah SWT adalah cara terbaik untuk menenangkan hati dan pikiran. Allah adalah Sang Pencipta yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Mengeluh kepada-Nya tidak hanya membuat kita merasa lega, tetapi juga meningkatkan keimanan dan keyakinan kita bahwa semua masalah yang kita hadapi ada dalam kendali-Nya. Setiap masalah yang kita hadapi adalah ujian untuk melihat sejauh mana kita bersabar dan bertawakkal kepada-Nya.

Menjaga Kebahagiaan Keluarga dan Orang-Orang Tercinta

Dalam menjalani kehidupan ini, setiap orang pasti menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan. Namun, bagaimana kita menyikapi tantangan tersebut juga berdampak pada orang-orang di sekitar kita, terutama keluarga dan orang-orang yang kita cintai. Terkadang, tanpa sadar, kita membuat mereka ikut terbebani dengan masalah yang kita hadapi. Padahal, salah satu bentuk kasih sayang kepada mereka adalah dengan tidak membuat mereka khawatir atau merasa terbebani.

Untuk orang tua, misalnya, ada baiknya kita menunjukkan bahwa kita baik-baik saja. Mereka sudah melalui banyak hal untuk membesarkan kita, dan di usia mereka yang semakin lanjut, sudah saatnya bagi kita untuk meringankan beban mereka, bukan menambahkannya. Sebagai anak, kita harus berusaha menjadi penyejuk hati bagi orang tua, bukan sebaliknya.

Demikian pula untuk anak-anak kita. Biarkan mereka tumbuh dalam kebahagiaan dan ketenangan. Jangan sampai mereka merasakan beban yang seharusnya belum mereka pahami. Tugas kita sebagai orang tua adalah membimbing mereka dengan cinta dan dalam tuntunan agama Islam, agar mereka tumbuh menjadi generasi yang kuat dan berakhlak mulia.

"Life is Beautiful" Keteladanan dalam Menyembunyikan Kesedihan

Film Life is Beautiful yang dibintangi oleh Roberto Benigni adalah contoh yang indah tentang bagaimana seorang ayah berusaha keras menyembunyikan kesedihan dan kesulitan dari anaknya demi menjaga kebahagiaan anak tersebut. Meskipun situasi yang dihadapi sangat berat, sang ayah tetap berusaha menciptakan kebahagiaan dan tawa bagi anaknya, meskipun itu berarti harus menyembunyikan kenyataan yang pahit.

Dalam kehidupan nyata, kita juga sering dihadapkan pada situasi di mana kita harus menyembunyikan kesulitan yang kita alami demi orang-orang yang kita cintai. Bukan berarti kita berpura-pura atau hidup dalam kepalsuan, tetapi lebih kepada bagaimana kita berusaha memberikan yang terbaik bagi mereka yang kita sayangi. Mengeluh atau menunjukkan kesedihan secara berlebihan hanya akan menambah beban mereka.

Pilihlah untuk Bersabar dan Bertawakkal

Mengeluh adalah hal yang manusiawi, tetapi mengeluh terlalu sering dan kepada orang yang tidak tepat hanya akan membuat kita semakin terbebani. Sebaliknya, berbicara kepada Allah SWT, Sang Pencipta yang Maha Mendengar, adalah cara terbaik untuk menenangkan hati dan mendapatkan solusi atas setiap masalah yang kita hadapi. Dengan tidak mengeluh kepada sembarang orang, kita juga menjaga kebahagiaan dan ketenangan orang-orang yang kita cintai, terutama keluarga.

Saat menghadapi kesulitan dalam hidup, penting bagi kita untuk merenung sejenak dan mempertimbangkan dampak dari setiap keluhan atau curahan hati yang kita sampaikan kepada orang lain. Terutama bagi orang-orang yang kita cintai—orang tua, anak, dan keluarga—kita perlu menjaga agar mereka tidak terbebani oleh masalah yang kita hadapi. Sebelum berbicara atau mengeluh, pikirkanlah apakah mereka benar-benar mampu memberikan solusi, atau apakah kita hanya menambah beban pada mereka yang sebenarnya ingin melihat kita bahagia.

Daripada curhat pada sembarang orang yang mungkin tidak memiliki kapasitas untuk membantu, lebih baik kita mencari solusi dari orang-orang yang memiliki keahlian atau kebijaksanaan yang diperlukan. Jika perlu, berkonsultasilah dengan tenaga ahli seperti psikolog, psikiater, atau pemuka agama seperti kyai atau ustadz yang bisa memberikan arahan dan nasihat yang tepat. Dengan demikian, kita tidak hanya menjaga hubungan kita dengan keluarga dan orang yang kita cintai, tetapi juga memastikan bahwa masalah yang kita hadapi ditangani dengan cara yang bijak dan penuh hikmah.

Seperti yang digambarkan dalam film Life is Beautiful, kita bisa memilih untuk menyebarkan kebahagiaan meskipun dalam kesulitan. Dengan bersabar, bertawakkal, dan selalu mengingat Allah SWT, insyaAllah setiap masalah yang kita hadapi akan terasa lebih ringan dan kita akan menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijaksana.

Catatan Mas Bojreng

#PatienceAndTawakkul #SpeakToAllah #ProtectLovedOnes #InnerStrength #LifeIsBeautiful #myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng 

Titip Hati pada Allah

Sebagian hati kutinggal di sana, di sisi ranjang dan napas renta. Tak terucap kata, hanya diam yang bercerita, tapi ada kewajiban yang ta...