Saturday, March 1, 2025

Negeri Tanpa Pelipur


Di lembar janji yang dulu bersinar,

terukir harapan yang kini pudar.
Negeri menjanjikan kasih dan rawat,
namun kini semua dihitung harga, bukan niat.

Di lorong sunyi rumah sakit,
ratapan sakit menggema sendiri.
Obat menjadi angka, nafas jadi beban,
nyawa ditimbang dalam timbangan kepentingan.

Bapak tersebut duduk di singgasana kuasa,
menghitung laba, membagi asa.
Bukan lagi penjaga, tapi pedagang,
menjual sehat bagi mereka yang sanggup memegang.

Sakit bukan lagi tentang derita,
tapi tentang banyak cerita yang tak terungkap.
Hanya ada tangan yang berusaha merawat,
hanya senyum dokter yang terhimpit mandat.

Para dokter hanya bisa terpaku,
terikat aturan, tak mampu bertindak.
Tangan dan kaki terbelenggu pilu,
oleh titah mereka yang merasa paling bijak.

Namun masih ada yang tak mau diam,
bertahan melawan arus yang kelam.
Demi sumpah, demi kemanusiaan,
meski harus berjuang dalam keterasingan.

Maka kita bertanya pada angin malam,
di mana letak nurani yang pernah tenggelam?
Jika negeri menjual hidup dan mati,
maka kepada siapa lagi kita mencari arti?

Puisi ini mencoba mencerminkan keterbatasan dokter dalam sistem yang tidak berpihak pada mereka, serta adanya segelintir yang masih berjuang demi idealisme meskipun penuh risiko. Semoga masih ada harapan, hanya kepada Allah SWT kami bergantung.

Mas Bojreng tentang sosialisme kesehatan

#HealthcareForProfit #BrokenPromises #MedicalInjustice #ProfitOverPeople #HealthIsNotACommodity
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

No comments:

Post a Comment

Titip Hati pada Allah

Sebagian hati kutinggal di sana, di sisi ranjang dan napas renta. Tak terucap kata, hanya diam yang bercerita, tapi ada kewajiban yang ta...