Kemarin saya menonton film Hamka & Siti Raham vol 2.
Ada kata kata yang cukup mengena di hati saya. Kalau tidak salah ingat "Menulislah ketika mendapat ilham, yang didapat dari apa yang kita lihat apa yang kita rasakan dan apa yang kita alami ditambahkan dari bacaan yang ada."Ketika kecil dahulu sudah terbiasa menuliskan apa yang saya lihat, alami dan rasakan. Maklum sebagai orang yang cenderung introvert dan lebih suka ndekem di kamar daripada dolan keluar.
Beberapa tahun yang lalu disuruh budhe Dwirani Amelia untuk diisolasi di suatu hotel untuk dilatih menulis bareng dengan orang orang yang luar biasa dan jadilah sebuah buku. Jadi malu saya, karena sampai sekarang kok ya belum juga pinter dalam menulisnya.
Pengen sih bisa menulis dengan baik seperti pakdhe Igun Winarno Ws budhe Meyka Didit pakdhe Abdul Mughni Rozy yang sudah membikin buku yang luar biasa kerennya.
Atau membikin blog yang luar biasa seperti budhe Uniek Kaswarganti .
Maaf saya colek karena bener bener panutan dan pemicu saya supaya tetap menulis. Menulis apa saja dulu deh.
Naguib Mahfouz (Nobel Laureate):
"You can tell whether a man is clever by his answers. You can tell whether a man is wise by his questions."
Sebagaimana saya sebut diatas, tulisan ini saya coba bikin dari dini hari tadi dengan Buya Hamka disebelah saya (tapi jangan bandingkan tulisan ini dengan karya beliau ya.... jauh sekali.. semangat menulis beliau yang menginspirasi untuk menulis?
Buya Hamka, yang merupakan seorang ulama, sastrawan, dan juga tokoh masyarakat Indonesia, memandang kebiasaan menulis sebagai salah satu sarana penting dalam dakwah serta pendidikan Islam. Ia sangat produktif dalam menghasilkan berbagai jenis karya tulis mulai dari tafsir, sastra, hingga pemikiran umum tentang sosial dan keagamaan. Kebiasaan menulisnya tercermin dari berbagai karya yang ia hasilkan, yang sangat berpengaruh di Indonesia, termasuk tafsir Al-Azhar dan banyak lagi.
Pandangan Buya Hamka Tentang Menulis:
Menulis sebagai Sarana Dakwah:
Buya Hamka sering menekankan pentingnya menulis sebagai sarana untuk mendakwahkan ajaran Islam. Menulis tidak hanya memperluas jangkauan pesan yang ingin disampaikan tetapi juga memungkinkan pesan tersebut tersimpan dan diwariskan kepada generasi yang akan datang. Dakwah melalui tulisan dianggap efektif karena dapat menyentuh lebih banyak orang dan bersifat langgeng.
Menulis sebagai Pencarian dan Penyampaian Ilmu:
Bagi Buya Hamka, menulis adalah proses pencarian, pengolahan, dan penyampaian ilmu. Dalam banyak karyanya, ia menggali berbagai sumber ilmu, baik dari teks-teks Islam tradisional maupun pemikiran kontemporer, untuk kemudian disampaikan kembali dengan cara yang relevan dengan konteks sosial dan budaya masyarakatnya. Ini menunjukkan bahwa menulis bukan hanya reproduksi tetapi juga transformasi ilmu pengetahuan.
Menulis sebagai Refleksi Pribadi:
Dalam beberapa tulisan Buya Hamka yang bersifat lebih personal, seperti di dalam otobiografinya, ia menggunakan tulisan sebagai sarana untuk merefleksi dan menjelaskan perjalanan hidup serta pemikirannya. Ini menunjukkan bahwa menulis juga merupakan cara untuk mengintrospeksi diri dan nilai-nilai yang dianut.
Etika Menulis:
Buya Hamka juga menekankan pentingnya etika dalam menulis. Ia sering mengatakan bahwa penulis harus menulis dengan kejujuran dan tanggung jawab, dengan menghindari fitnah dan memastikan keakuratan informasi. Bagi Hamka, menulis adalah amanah yang tidak hanya membutuhkan keahlian tetapi juga keadilan dan kehati-hatian.
Dampak Kebiasaan Menulis Buya Hamka:
Kebiasaan menulis Buya Hamka tidak hanya meninggalkan warisan literatur yang kaya bagi Indonesia dan dunia Islam tetapi juga menginspirasi banyak generasi muda untuk mengambil peran aktif dalam kegiatan literasi dan intelektual. Karya-karyanya masih relevan dan banyak dibaca hingga hari ini, menunjukkan betapa dalamnya pengaruh tulisan yang berlandaskan ilmu dan dilakukan dengan niat yang baik dalam dakwah serta pendidikan.
Buya Hamka melihat menulis sebagai kegiatan yang sangat bermakna dan berdampak besar dalam memformulasikan dan menyebarkan pemikiran serta ajaran Islam, yang harus dilakukan dengan penuh pertimbangan, kejujuran, dan tanggung jawab.
Menulis adalah salah satu cara paling efektif untuk mengungkapkan pikiran, emosi, dan pengalaman hidup. Setiap kata yang ditulis menjadi perwakilan dari kejernihan yang dihasilkan dari proses berpikir serta perasaan yang mendalam. Menulis saat ilham datang seolah-olah membuka pintu ke dalam dunia internal yang penuh warna, dimana hati dan pikiran berbicara seirama.
Ilham untuk menulis dapat muncul kapan saja dan dari mana saja. Mungkin saat kita menyaksikan sebuah kejadian yang menarik di jalan, mendengarkan percakapan yang menyentuh, atau saat mengalami momen-momen yang mendalam dalam kehidupan pribadi kita. Ilham sering datang tanpa diundang dan tanpa peringatan, mendorong kita untuk segera menangkap esensi dari apa yang kita pikirkan atau rasakan sebelum ia menghilang.
Menulis yang terinspirasi dari hati merupakan ekspresi yang paling autentik dari diri seseorang. Ini bukan hanya tentang apa yang terjadi di sekeliling, tetapi lebih tentang bagaimana kejadian tersebut mempengaruhi internal kita, apa yang kita pikirkan dan bagaimana kita merasakannya. Selain itu, menulis dengan hati membantu kita untuk mengenal diri kita lebih dalam. Ini adalah proses introspeksi, mendengarkan bisikan hati dan mengalihkannya ke dalam kata-kata yang bisa dibaca dan dirasakan oleh orang lain.
Menulis dengan hati tidak selalu mudah. Memerlukan keberanian untuk menggali dalam-dalam ke dalam emosi kita, terkadang mengungkap luka atau kegembiraan yang tersembunyi. Namun, kejujuran dalam menulis berpotensi menjangkau pembaca di tingkat yang lebih intim, membuat karya yang ditulis tidak hanya relatable, tetapi juga menggugah dan memotivasi.
Ketika menulis berdasarkan apa yang dipikirkan, dialami, dan dirasakan, kita membuka jendela dunia kita untuk orang lain. Ini adalah pemberian yang rawan dan berani, sebuah tawaran untuk melihat dunia melalui lensa kita. Menulis menjadi medium bagi penulis untuk menceritakan kisahnya, menyuarakan pendapat, dan melukis gambaran tentang perjuangan serta kebahagiaan yang dihadapi.
Dari perspektif teknis, menulis saat inspirasi muncul juga membutuhkan disiplin dan dedikasi. Penting untuk menangkap moment ketika ilham datang, tetapi juga perlu untuk mengembangkannya dengan penjajagan yang lebih dalam melalui penelusuran, penyuntingan, dan revisi. Proses ini membantu untuk memastikan bahwa apa yang kita tulis tidak hanya merupakan reflex dari perasaan sementara, tetapi juga merupakan representasi yang matang dan terpolakan dari apa yang kita ingin sampaikan.
Ada juga tantangan dalam menemukan keseimbangan antara menulis dengan hati dan menjaga struktur serta gaya penulisan yang sesuai untuk pembaca. Penulis harus mengelola agar tidak terlalu tersesat dalam emosi sehingga kehilangan objektivitas atau kejelasan dalam penyampaian. Jadi, sementara menulis dari hati adalah tentang ekspresi yang jujur, menulis juga memerlukan keterampilan untuk menyajikan pemikiran dan perasaan tersebut secara efektif dan menarik.
Menulis juga merupakan cara yang terapeutik. Banyak orang menemukan penulisan sebagai jalan keluar untuk mengatasi stress, kesedihan, atau kegelisahan. Menulis memungkinkan seseorang untuk mengeluarkan beban emosional dalam format yang kreatif dan produktif. Hal ini tidak hanya membantu penulis dalam mengatasi masalah pribadi, tetapi seringkali juga memberi dampak positif pada yang membacanya.
Bagaimanakah menulis menurut agama saya?
Dalam Islam, kebiasaan menulis dilihat tidak hanya sebagai kegiatan intelektual atau profesional, tetapi juga sebagai praktek spiritual yang dapat membawa berbagai manfaat, baik dalam konteks pribadi maupun komunal. Menulis dalam Islam dianggap sebagai sarana untuk memperkuat iman, memperluas ilmu pengetahuan, dan sebagai cara untuk meninggalkan warisan yang bermanfaat bagi generasi yang akan datang.
Aspek-aspek Kebiasaan Menulis dalam Islam:
Pelestarian dan Penyebaran Ilmu:
Dalam sejarah Islam, menulis telah digunakan sebagai alat utama untuk merekam dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Mulai dari ayat-ayat Al-Qur'an, hadits Nabi Muhammad, hingga karya-karya ulama di berbagai bidang seperti fiqh, sejarah, filsafat, dan sains. Kebiasaan menulis ini sangat dihargai karena memungkinkan ilmu yang bermanfaat tersebar luas dan tetap tersedia untuk generasi mendatang.
Mendokumentasikan Pengalaman dan Kejadian:
Menulis juga menjadi cara efektif untuk mendokumentasikan pengalaman hidup, situasi sosial, dan peristiwa penting. Ini penting tidak hanya dari sudut pandang sejarah, tetapi juga dalam konteks memahami kontinuitas dan perubahan dalam masyarakat Muslim.
Refleksi Personal:
Menulis dianggap sebagai cara untuk merefleksikan kehidupan pribadi, membantu dalam memahami dan menginternalisasi ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Menulis jurnal, misalnya, bisa membantu seseorang dalam berdzikir (mengingat Allah) dan melakukan muhasabah (introspeksi).
Dakwah dan Pendidikan:
Menulis sebagai alat dakwah menyediakan platform bagi para da'i (orang yang mengajak ke jalan Allah) untuk mencapai audiens yang lebih luas. Dalam era digital saat ini, menulis artikel, blog, atau media sosial menjadi sarana yang efektif untuk pendidikan dan dakwah.
Etika dan Tanggung Jawab:
Islam mengajarkan bahwa setiap tindakan, termasuk menulis, harus dilakukan dengan etika yang baik. Penulis diharapkan untuk jujur, akurat, dan tidak menyesatkan dalam apa yang mereka tulis. Menulis harus dilakukan dengan niat yang baik dan bertujuan untuk kemaslahatan umum, bukan untuk menyebarkan fitnah atau kebencian.
Dampak dalam Masyarakat
Kebiasaan menulis dalam Islam tidak hanya menguatkan individu dalam iman dan ilmu, tetapi juga memperkuat masyarakat secara keseluruhan. Ilmu yang dituliskan menjadi warisan yang dapat diakses oleh banyak orang, dari berbagai latar belakang dan generasi. Menulis adalah cara untuk membangun peradaban yang kaya dengan pengetahuan dan kebijaksanaan.
Secara keseluruhan, kebiasaan menulis dalam Islam merupakan praktek yang menyeluruh dan multi-dimensi yang meliputi aspek spiritual, intelektual, dan sosial. Menulis dianjurkan tidak hanya sebagai cara untuk menghimpun dan menyebarkan ilmu, tetapi juga sebagai sarana introspeksi, dakwah, dan pengabdian yang dapat membawa dampak luas baik dalam skala individual maupun komunal.
Karena itu, bila ilham mengetuk, buka pintu hati dan biarkan kata-kata mengalir. Tulis tentang apa yang kita pikirkan, apa yang kita alami, apa yang kita rasakan. Biarkan setiap kata menjadi jembatan antara jiwa penulis dengan jiwa pembaca, menciptakan dialog yang bukan hanya mendidik tetapi juga menyentuh. Menulis, dalam esensinya, adalah pemberian dari hati ke hati. Ini adalah proses magis yang harus dirayakan, dilestarikan, dan ditingkatkan, karena melalui penulisan, kita berbicara bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk dunia.
Kalau ada yang tanya darimana sumber bacaan saya? Saya akan menjawab sebagian ada di belakang saya.
Untuk apa tulisan ini saya buat? Saya dedikasikan pada kakak kakak saya yang diatas yang menginspirasi saya untuk terus menulis. Menulis apa saja. Apa yang ada di otak akan saya tuliskan. Haya yang saya upload jelas yang sudah mengalami editan.
Jaluddin Rumi:
"Raise your words, not voice. It is rain that grows flowers, not thunder."
Catatan Mas Bojreng di awal pekan ini. Memulai hari dengan menulis
#tulis #write #writer #read #reading #myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng
No comments:
Post a Comment