Sunday, May 12, 2024

Gaya hidup, beban hidup?

Namaku bukan Tomi Moeis.

Beberapa saat lalu ada kasus yang menghebohkan dunia negara ini. Tertangkapnya seseorang yang merugikan negara ini sedemikian banyaknya. Sebelum tertangkap sang istri dan keluarga sering sekali mengupload di platform medsosnya, tentang gaya hidupnya.


Apakah perubahan hidup bisa merubah gaya hidup sebelumnya? Bisa jadi merubah sifat pun bisa.

Flexing, istilah yang mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita, khususnya di kalangan generasi muda. Kata ini seringkali dihubungkan dengan perilaku memamerkan kekayaan atau prestasi di media sosial atau dalam kehidupan sehari-hari. Namun, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan flexing itu dan bagaimana ia menjadi bagian dari gaya hidup di era modern ini?

Flexing berasal dari kata "flex" yang dalam konteks ini berarti pamer. Istilah ini menjadi populer dan sering digunakan untuk mendeskripsikan aksi seseorang yang secara terang-terangan memperlihatkan barang-barang mewah, seperti mobil, rumah, atau pakaian mahal yang mereka miliki atau kenakan. Tujuannya? Tentu saja, untuk menunjukkan status sosial atau keberhasilan yang telah dicapai.

Di era sosial media yang booming saat ini, praktik flexing ini semakin marak. Media sosial menjadi platform utama bagi banyak orang untuk memamerkan kehidupan yang sepertinya sempurna. Tidak hanya kalangan selebritas, bahkan anak muda dan remaja pun kini ikut-ikutan melakukan flexing, meski dalam skala yang berbeda.

Facebook, Instagram, TikTok, dan Snapchat adalah beberapa contoh platform di mana flexing seringkali terlihat. Orang-orang memposting foto dan video yang menampilkan liburan eksotis, pengalaman makan di restoran mahal, atau sekedar penampilan hari itu dengan outfit yang branded. Semua ini dilakukan untuk mendapatkan pengakuan, pujian, dan tentu saja, like dari para pengikutnya.

Namun, ada sisi lain dari fenomena ini yang sering tidak terlihat. Melakukan flexing bisa memberikan tekanan psikologis yang tidak sehat baik bagi pelakunya maupun bagi mereka yang melihatnya. Bagi pelaku, terdapat tekanan untuk terus menerus mempertahankan atau meningkatkan standar yang mereka set sendiri. Sementara bagi penonton, terutama yang muda dan mudah terpengaruh, ini bisa menimbulkan perasaan iri dan tidak puas dengan apa yang mereka miliki.

Dari perspektif ekonomi, flexing juga bisa menstimulasi perilaku konsumsi yang tidak bertanggung jawab. Gaya hidup konsumerisme yang berlebihan ini tidak hanya mempengaruhi kesehatan finansial seseorang, tetapi juga berpotensi membahayakan stabilitas ekonomi mereka dalam jangka panjang.

Pada level yang lebih mendalam, flexing sering kali menimbulkan pertanyaan tentang nilai dan prioritas dalam hidup. Banyak orang yang melakukan flexing sebenarnya mencari validasi dari luar karena merasa tidak cukup yakin dengan nilai diri mereka sendiri. Hal ini dapat menimbulkan diskusi tentang pentingnya mengembangkan rasa harga diri yang tidak bergantung pada materialisme.

Namun, tidak semua aspek dari flexing adalah negatif. Dalam beberapa kasus, fenomena ini bisa menginspirasi dan memotivasi orang untuk bekerja lebih keras dan mencapai tujuan mereka. Melihat orang lain yang berhasil bisa menjadi pemicu untuk beberapa orang untuk melanjutkan usaha dalam mencapai kesuksesan yang serupa.

Dalam beberapa tahun terakhir, ada juga gerakan yang mengadvokasi bentuk flexing yang lebih positif dan berdampak sosial. Misalnya, beberapa influencer kini menggunakan platform mereka untuk memamerkan kegiatan amal atau kemajuan dalam inisiatif keberlanjutan. Ini adalah contoh bagaimana media sosial dan perilaku flexing dapat digunakan untuk tujuan yang lebih baik dan menginspirasi perubahan sosial yang positif.

Singkatnya, flexing adalah fenomena yang kompleks dengan berbagai dampak yang bisa positif maupun negatif. Penting untuk kita menghadapinya dengan cara yang seimbang, mempertimbangkan dampak jangka panjang dari perilaku kita, dan selalu mencari cara untuk mengintegrasikan nilai yang lebih mendalam dan berarti dalam tindakan kita. Flexing, seperti halnya alat lainnya, tergantung pada cara kita memakainya. Sebaiknya kita menggunakan platform dan kesempatan yang kita miliki untuk membangun pengaruh yang positif dan mendukung perkembangan diri serta komunitas kita.

Bagaimanakah pandangan dalam Islam? konsep flexing atau pamer kekayaan dan prestasi dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Agama Islam menekankan pentingnya kesederhanaan, kerendahan hati, dan menghindari kesombongan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam menampilkan harta dan pencapaian pribadi.

1. Kerendahan Hati (Tawadhu'): Islam mengajarkan pentingnya kerendahan hati. Nabi Muhammad SAW sering mengingatkan umatnya untuk tidak sombong atau pamer, karena semua nikmat dan keberhasilan yang diperoleh adalah dari Allah SWT. Dalam sebuah hadis, dikatakan, "Siapa pun yang memiliki serat keangkuhan di hatinya, tidak akan masuk surga" (HR. Muslim). Ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga hati dari sifat ujub (bangga diri) dan takabur (sombong).

2. Zuhud: Zuhud dalam Islam adalah konsep untuk tidak terlalu terikat dengan dunia material dan lebih fokus pada kehidupan akhirat. Kemewahan yang ditampilkan secara berlebihan bisa bertentangan dengan prinsip ini, karena mengarah pada kecenderungan menyukai dunia dan mengabaikan nilai-nilai spiritual.

3. Fitnah dan Dengki (Hasad): Menampilkan kekayaan secara berlebihan dapat memicu fitnah (perpecahan) dan hasad (iri hati) di antara manusia. Islam mengajarkan umatnya untuk mencegah fitnah dan menjauh dari perbuatan yang dapat memicu rasa iri dan dengki yang dapat merusak keharmonisan sosial.

4. Sifat Qana’ah (Kepuasan): Islam mengajarkan qana’ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang telah Allah berikan. Hal ini bertujuan untuk membantu umat Muslim merasa puas dengan nikmat yang mereka miliki dan mengurangi keinginan untuk terus menerus berkompetisi dalam hal duniawi.

5. Sedekah dan Kebaikan: Dalam Islam, jika seseorang dianugerahi kekayaan, disarankan untuk menggunakan kelebihan tersebut dalam kegiatan yang berfaedah, seperti berbagi dengan yang membutuhkan. Memamerkan kekayaan tanpa memberikan manfaat kepada orang lain bisa dianggap sebagai tindakan yang egois dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.

6. Introspeksi dan Akuntabilitas di Hari Akhir: Setiap Muslim akan dimintai pertanggungjawaban tentang cara mereka menggunakan harta benda mereka di dunia. Hal ini termasuk bagaimana mereka memperolehnya, bagaimana mereka membelanjakannya, dan apakah mereka telah memamerkannya atau menggunakannya untuk tujuan yang baik.


Dalam konteks ini, Islam bukan hanya mengajarkan tentang batasan-batasan material semata, tetapi juga tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya menggunakan apa yang telah Allah berikan kepada mereka untuk tujuan yang lebih besar dan lebih berarti yaitu ketaqwaan dan kebaikan sosial. Menampilkan kekayaan dengan cara yang sombong dan berlebihan sangat bertentangan dengan nilai-nilai ini.

Umar bertanya, “Makanan apa yang paling lezat yang pernah dimakan oleh Rasululloh SAW dirumahmu?” “Roti yang terbuat dari tepung kasar yang dicelupkan ke dalam minyak.” jawab Hafshah. “Alas tidur apa yang paling baik yang pernah digunakan Rasululloh SAW dirumahmu?” tanya Umar lagi. “Sehelai kain, yang pada musim panas dilipat empat dan pada musim dingin dilipat dua; separuh untuk alas tidurnya dan separuh lagi untuk selimut,” jawab Hafshah lagi. Khalifah Umar Bin Khattab berkata, “Sekarang, pergilah. Katakan kepada mereka, Rasululloh SAW telah mencontohkan pola hidup sederhana, merasa cukup dengan apa yang ada demi meraih kebahagian akhirat. Aku tentu akan mengikuti teladan beliau....”

Bagaimanakah sudut pandang anda akan hal ini?

Berbeda? Bisa saja ...


Catatan dan pengingat diri Mas Bojreng


#flex #flexing #flexingchallenge #gaya #gayahidup #life #lifestyle #lifestyleblogger #Pride #myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng

No comments:

Post a Comment

Bukti yang Bungkam

Serial CSI (Crime Scene Investigation) itu keren banget karena nunjukin gimana bukti kecil bisa jadi kunci buat ngebongkar kasus besar. Jad...