Disaat saya memilih berdiam dan menyingkir saja.
Dalam lingkaran pergaulan kita, seringkali kita menemukan situasi di mana seseorang dengan bangga memperlihatkan atau membicarakan tentang pencapaian dan prestasi mereka. Hal ini mungkin terlihat biasa, tetapi ada kalanya memilih untuk menahan diri dalam memberikan tanggapan bisa menjadi keputusan yang lebih bijak. Pertimbangan untuk menahan diri bukan berarti mengurangi apresiasi terhadap prestasi orang lain, melainkan membuktikan kematangan dan pemahaman tentang kapan dan bagaimana cara meresponi situasi tertentu dengan lebih tepat.
Pertama dan utama, penting untuk mengenali bahwa setiap individu memiliki kebanggaannya tersendiri. Bagi sebagian orang, mencapai sesuatu, entah itu besar atau kecil, memerlukan usaha dan pengorbanan yang tidak sedikit. Maka, ketika seseorang membagikan kegembiraannya, itu merupakan momen penting bagi mereka. Namun, reaksi kita terhadap berita tersebut harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Tidak semua situasi membutuhkan kita untuk berbicara banyak atau mengungkapkan pendapat. Terkadang, sebuah ungkapan singkat yang tulus atau sekedar ungkapan senyuman sudah lebih dari cukup.
Alasan untuk menahan diri bisa beragam. Salah satunya adalah untuk menghindari potensi konflik yang dapat timbul dari perbedaan pendapat atau pandangan. Dalam konteks ini, bijaksana dalam berbicara membantu menjaga harmonis dalam hubungan interpersonal. Terlebih dalam sebuah diskusi yang sifatnya sensitif, seperti membahas kesuksesan seseorang, sangat mudah bagi perkataan yang tidak tepat sasaran untuk disalahartikan sebagai iri atau tidak suportif.
Selain itu, menahan diri juga membantu kita untuk lebih mendengarkan. Mendengarkan tidak hanya tentang mendengar kata-kata yang diucapkan, tetapi juga mengerti dan meresapi makna di baliknya. Dengan menahan diri dari terlalu banyak berbicara, kita memberi ruang lebih kepada orang lain untuk mengungkapkan pendapat atau perasaannya. Ini, pada gilirannya, memperdalam pemahaman kita tentang orang tersebut dan situasi yang ia hadapi.
Lebih jauh, saat kita memilih untuk menahan diri, kita juga sedang berlatih sabar dan empati. Empati memungkinkan kita untuk melihat situasi dari perspektif orang lain dan memahami mengapa mereka merasa perlu untuk membagikan pencapaian mereka kepada orang lain. Mungkin bagi mereka, ini adalah cara untuk mencari pengakuan, validasi, atau sekadar ingin berbagi kebahagiaan. Sabar dan empati ini kemudian membentuk dasar dari respons yang lebih bijaksana dan penuh pertimbangan.
Dalam praktiknya, memilih untuk menahan diri dari berkomentar atau bertindak terburu-buru memperlihatkan kematangan karakter. Ini menunjukkan bahwa seseorang dapat mengendalikan ego dan emosi mereka, karakteristik yang sangat dihargai dalam banyak aspek kehidupan. Mengetahui kapan harus berbicara dan kapan harus diam adalah seni yang sulit dikuasai, namun penting untuk hubungan interpersonal yang sehat.
Namun, penting juga untuk mempertimbangkan keseimbangan. Menahan diri tidak berarti selalu diam dalam setiap situasi. Ada kalanya dukungan dan penguatan positif sangat dibutuhkan oleh seseorang yang membagikan pencapaian mereka. Mengetahui kapan harus menunjukkan empati dan kapan harus memberikan dukungan merupakan bagian dari kebijaksanaan sosial.
Menahan diri dalam perbuatan atau perkataan bukanlah tentang mengurangi kepentingan perayaan pencapaian atau mengesampingkan kebutuhan untuk berinteraksi sosial. Sebaliknya, ini tentang mengenali momen ketika kehadiran, mendengarkan, dan pengertian menjadi bentuk dukungan yang paling berarti. Dalam kehidupan sosial yang sering kali rumit ini, kemampuan untuk menahan diri adalah keahlian yang membawa kedamaian dan memperkuat ikatan antarpersonal.
Dalam Islam, menahan diri dalam perkataan dan perbuatan dianjurkan dalam banyak aspek kehidupan. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai kesabaran, kebijaksanaan, dan pertimbangan yang mendalam terhadap dampak dari ucapan dan tindakan kita terhadap sesama. Islam mengajarkan bahwa setiap muslim harus berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang mencerminkan kepribadian terpuji, termasuk dalam menanggapi pencapaian atau prestasi orang lain.
Salah satu prinsip dasar dalam Islam adalah menjaga lisan. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim). Ini mengajarkan pentingnya mengontrol ucapan, di mana lebih baik tidak mengatakan apa-apa daripada berbicara hal yang dapat menyinggung atau menyakiti orang lain. Jadi, ketika seseorang membanggakan prestasi atau pencapaiannya, seorang muslim diajak untuk memilih respon yang konstruktif dan positif, atau memilih untuk menahan diri berbicara jika tidak menemukan kata-kata yang tepat.
Islam juga menekankan pentingnya niat dan keikhlasan dalam setiap tindakan, juga termasuk dalam meresponi pencapaian orang lain. Berempati dan berbahagia dengan keberhasilan saudara kita merupakan bagian dari ukhuwah (persaudaraan) dalam Islam. Dalam surah Al-Mu’minun ayat 1-3 dijelaskan bahwa orang-orang beriman berhasil karena mereka melakukan shalat dengan khusyu' dan mereka "yang menjauhi (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna," menunjukkan pentingnya memilih perilaku dan perkataan yang memberi manfaat.
Islam juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga hati dan tidak terjerumus ke dalam sifat hasad (iri hati) atau nifaq (kemunafikan). Ketika seseorang mendengar tentang keberhasilan orang lain, disarankan untuk mendoakan keberkahan bagi mereka alih-alih merasa iri atau mencoba merendahkannya. Ini tercermin dalam doa yang diajarkan Rasulullah SAW ketika mendengar keuntungan atau kesuksesan orang lain, yaitu dengan mengucapkan, "Barakallahu laka fihi" (Semoga Allah memberkatimu dalam hal itu).
Selain itu, al-Qur'an dan Hadis banyak memberikan contoh tentang pentingnya kesabaran, terutama dalam menghadapi cobaan dan tantangan hidup. Kesabaran ini juga berlaku dalam konteks sosial, di mana seseorang harus bersabar dan bertindak dengan bijaksana dalam setiap situasi, termasuk ketika menghadapi kebanggaan atau kegembiraan orang lain atas pencapaian mereka.
Oleh karena itu, dari perspektif Islam, menahan diri dalam perkataan dan perbuatan adalah bagian dari tindakan iman yang tercermin dalam perilaku sehari-hari. Ini bukan hanya tentang bagaimana menyikapi pencapaian orang lain, tetapi lebih luas lagi adalah tentang bagaimana berinteraksi dengan sesama dengan cara yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan, empati, dan persaudaraan yang diajarkan oleh Islam.
Jadi ada saat-saat ketika lebih baik untuk menahan diri—baik itu dalam perbuatan atau perkataan—khususnya ketika berhadapan dengan pameran pencapaian atau prestasi seseorang. Hal ini bukan berarti mengesampingkan perayaan atau kurang mendukung, melainkan menyesuaikan reaksi kita untuk menjaga hubungan yang harmonis, mendengarkan lebih baik, menunjukkan empati, dan berprilaku dengan kebijaksanaan. Dengan begitu, kita tidak hanya mempertahankan hubungan yang sehat dengan orang lain, tetapi juga memperkaya pengalaman sosial kita sendiri secara keseluruhan.
Pengingat diri di pagi hari ini sambil bersih bersih
Lap sudah semampir di bahu.
Catatan Mas Bojreng
#menahandiri #quiet #peace #solitude #refrain #myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng
No comments:
Post a Comment