Saturday, May 18, 2024

Desa SukaRasa...suatu kisah..

Kisah ini terjadi pada suatu masa dalam suatu periode kehidupan. Di sebuah desa kecil bernama Desa SukaRasa, hiduplah seorang pria yang dikenal sebagai Den BaGuSe Ngibulan. 

Nama ini begitu termahsyur di kalangan para penduduk, namun tidak dalam konotasi yang positif. Den BaGuSe Ngibulan adalah sosok priyayi atau orang terhormat dan terpandang di desa tersebut, tetapi dikenal dengan karakter sombong dan materialistis yang menyulitkan banyak orang. Baginya, segala sesuatu selalu diukur dengan uang dan materi.


Den BaGuSe Ngibulan memiliki penampilan yang rapi dan selalu mengenakan pakaian yang mencolok, menandakan status sosialnya yang tinggi. Sayangnya, sikap dan perkataannya tidak sehalus penampilannya. Ia suka merendahkan orang lain dan merasa dirinya paling benar dalam segala hal. Kata-kata Den BaGuSe sering kali menyakiti hati pendengarnya karena ia berbicara dengan nada merendahkan dan penuh keangkuhan.

Sejak muda, Den BaGuSe Ngibulan selalu diajarkan bahwa status sosialnya membuatnya lebih baik dari orang lain. Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa darah bangsawan di tubuhnya memberinya hak untuk menilai dan memerintah orang-orang di sekitarnya. Pendidikan formalnya tinggi, namun sikapnya tidak mencerminkan norma-norma kesantunan yang semestinya dijunjung tinggi oleh seorang priyayi.

Sikap sok tahu dan ketergantungan Den BaGuSe Ngibulan pada materi sering kali terlihat ketika ia ikut dalam percakapan di balai desa. Baik saat membahas penanaman padi, pengelolaan irigasi, atau bahkan masalah kecil seperti rencana festival panen, Den BaGuSe selalu ingin menang sendiri dan segala keputusannya selalu berdasar pada keuntungan finansial yang dapat diperoleh. Ia tidak segan-segan memotong pendapat orang lain dan menganggap ide-ide mereka tidak berharga. "Mana bisa orang kampung macam kalian ini paham soal manajemen air?" begitu katanya suatu ketika.

Ketika kepala desa yang lama meninggal dunia, Den BaGuSe Ngibulan melihat ini sebagai kesempatan emas untuk akhirnya mengambil posisi puncak dalam hierarki desa. Dengan pengaruh dan kekayaannya, ia berhasil meyakinkan beberapa orang penting untuk mendukung pencalonannya. Tanpa banyak perlawanan, Den BaGuSe Ngibulan pun terpilih menjadi kepala desa SukaRasa.

Pada masa awal jabatannya, Den BaGuSe Ngibulan dengan gegap-gempita menyampaikan pidato berisi janji perubahan besar. "Di bawah kepemimpinan saya, Desa SukaRasa akan menjadi desa terdepan di wilayah ini!" katanya dengan penuh percaya diri. Namun, seiring berjalannya waktu, penduduk desa mulai merasakan bahwa kata-katanya hanya bualan semata.

Sebagai pemimpin, Den BaGuSe Ngibulan tetap mempertahankan sikap sombong dan sok tahu. Ia sering kali memaksakan kehendaknya tanpa mendengarkan masukan dari warga. Ketika ada yang berusaha menyampaikan pendapat atau protes, Den BaGuSe akan langsung memotong dan menyudutkan mereka dengan kata-kata nyinyir dan menyakitkan. "Kamu pikir kamu lebih pintar dari saya? Ngayal sekali!" adalah kalimat yang sering diucapkannya.

Suatu hari, dalam sebuah rapat penting yang membahas tentang pembagian lahan irigasi, seorang petani tua bernama Pak Yunus mencoba menyampaikan solusi hasil musyawarah petani lainnya. Namun, belum selesai Pak Yunus berbicara, Den BaGuSe dengan wajah mencibir mengatakan, "Lahan irigasi adalah urusan penting, bukan permainan mainanmu, Pak Tua!" seketika suasana rapat berubah tegang.

Tak hanya dalam rapat, bahkan dalam keseharian pun Den BaGuSe sering menunjukkan sikap tak menyenangkannya. Ketika berjalan di pasar, bila ada penjual yang mencoba menawarkan dagangannya dengan suara riang, Den BaGuSe menanggapi dengan sinis. "Daganganmu itu tidak bermutu, kenapa harus dijajakan dengan penuh semangat?"

Lambat laun, moral dan semangat warga Desa SukaRasa menurun drastis. Pemborosan anggaran desa terjadi di sana-sini karena keputusan sepihak Den BaGuSe yang tidak berdasar, hanya demi keuntungan pribadinya. Proyek pembangunan sering kali gagal karena ia lebih suka menunjuk teman-temannya yang tidak kompeten daripada mendengarkan saran para ahli.

Namun, Den BaGuSe ternyata tidak segampang itu dikalahkan. Bahkan, semakin lama ia semakin menjadi-jadi. Ia meluncurkan berbagai program yang tampak seperti demi kepentingan masyarakat, tetapi sejatinya hanya untuk keuntungan pribadinya. Dengan kemasan kata-kata manis dan retorika yang memikat, Den BaGuSe membungkus program-programnya dalam jargon demi "kepentingan masyarakat banyak," padahal semua itu berorientasi pada uang.

Pemerintahan Den BaGuSe Ngibulan bukan hanya tidak efektif, tetapi juga menciptakan keterasingan dan ketidakpuasan di antara warga. Orang-orang mulai merasa jengah dan takut untuk berbicara atau berinisiatif karena takut dipermalukan atau dicemooh oleh Den BaGuSe.

Ada kalanya beberapa orang memberanikan diri untuk menyampaikan keresahan mereka. Misalnya Bu Sri, seorang guru di sekolah dasar desa, yang suatu hari menyampaikan perlunya buku-buku bacaan baru dan fasilitas pendidikan yang memadai. Namun, Den BaGuSe menanggapinya dengan justifikasi yang menyakitkan, "Mengapa repot-repot memberi buku baru pada anak-anak kampung ini? Apa mungkin mereka mau belajar lebih giat? Mereka hanya akan bermain-main!"

Ketegangan semakin memuncak, desa kian terpuruk. Pada akhirnya, warga Desa SukaRasa tidak bisa lagi membiarkan Den BaGuSe Ngibulan memimpin dengan tangan besi dan mulut pedasnya. Mereka menginisiasi sebuah musyawarah besar, meskipun dalam suasana penuh kecemasan.

Pada musyawarah tersebut, Pak Karman berdiri dengan keberanian yang baru. "Kami tidak bisa lagi mendengarkan atau menahan luapan kemarahan hatimu, Den BaGuSe. Kepemimpinan adalah tentang mendengarkan dan melayani, bukan menyakiti dan memaksa."

Den BaGuSe, yang biasanya dengan cepat menyahut dan menyingkirkan kritik, kali ini terdiam. Kerumunan warga berdiri di belakang Pak Karman, menunjukkan persatuan dan kekuatan mereka. Akhirnya, pada hari itu, melalui suara bulat warga yang sudah tak tahan, diputuskan bahwa Den BaGuSe Ngibulan harus lengser dari jabatannya.

Namun, ternyata melengserkan Den BaGuSe Ngibulan tidak semudah yang mereka bayangkan. Dengan pengaruh dan kekayaannya, ia berhasil mempertahankan posisinya sebagai kepala desa. Ia menggunakan koneksi dan kekuasaannya untuk menekan dan membungkam perlawanan. Orang-orang pandai dan berpengaruh di desa memilih diam karena takut akan konsekuensi yang lebih buruk. Atau banyak yang hanya nitip nasib saja.

Den BaGuSe Ngibulan tetap berdiri sebagai pemimpin, semakin kuat dan tak tersentuh. Mereka yang menentangnya tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menelan kekecewaan dan ketidakberdayaan. Desa SukaRasa pun terus berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Den BaGuSe yang egois dan otoriter, dengan warga yang hanya bisa berharap suatu hari keadilan akan berpihak pada mereka. Namun untuk saat ini, mereka harus menerima kenyataan pahit bahwa Den BaGuSe Ngibulan masih memegang kendali penuh atas desa mereka.

Ya sudah ini adalah cerita fiksi dan fiktif dari Mas Bojreng.
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Jadi mohon tidak baperan yaaaa...

#fiksi #fiction #cerita #dongeng #fairytale #catatanmasbojreng #masbojreng

No comments:

Post a Comment

Bukti yang Bungkam

Serial CSI (Crime Scene Investigation) itu keren banget karena nunjukin gimana bukti kecil bisa jadi kunci buat ngebongkar kasus besar. Jad...