Di Bawah Naungan Keadilan: Melodi Kemuliaan Pemimpin Pendengar, Ketika Hati Terbuka untuk Teguran
Entah kenapa saya mengambil buku ini dari rak lemari buku.
Dalam konteks pemimpin yang menghargai diingatkan, contoh yang paling menonjol dalam sejarah Islam adalah kepemimpinan Khalifah Abu Bakar As-Siddiq RA dan Umar bin Khattab RA. Mereka dikenal sebagai pemimpin yang tidak hanya adil dan bijaksana, tetapi juga rendah hati dan terbuka terhadap teguran. Kisah-kisah tentang bagaimana mereka menerima kritik dan nasihat dari rakyatnya menunjukkan pentingnya sikap pemimpin yang baik sesuai dengan ajaran Islam.
Abu Bakar RA, sebagai Khalifah pertama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, menunjukkan sikap terbuka dengan berkata dalam pidato pertamanya, "Aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian, padahal aku bukan yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat benar, bantu aku; jika berbuat salah, tegurlah aku." Ungkapan ini secara jelas menunjukkan rasa rendah hati dan kebutuhan seorang pemimpin terhadap masukan dan koreksi.
Umar bin Khattab RA, sebagai Khalifah kedua, juga dikenal dengan sikapnya yang sangat menghormati pengingatan dari rakyatnya.
Tatkala Abu Bakar ash-Shiddiq merasakan ajalnya sudah dekat, ia mengundang para sahabat untuk membahas siapa penggantinya. Abu Bakar juga menulis surat yang ditujukan kepada khalayak, yang menjelaskan atas apa pilihannya itu. Abu Bakar menjatuhkan pilihannya kepada Umar bin Khaththab. “Tapi, kepada para sahabat, Abu Bakar berkata, ‘Saya menjatuhkan pilihan kepada Umar, tapi Umar bebas menentukan sikap’.”
Rupanya, umat juga bersetuju dengan Abu Bakar. Lalu, kepada Umar, Abu Bakar berpesan, “Sepeninggalku nanti, aku mengangkatmu sebagai penggantiku…” ucap Abu Bakar pada Umar bin Khaththab.
“Aku sama sekali tak memerlukan jabatan khalifah itu,” ujar Umar menolak.
Tapi, atas desakan Abu Bakar dan dengan argumentasi yang membawa misi Ilahi, Umar luluh dan menerimanya. Sepeninggal Abu Bakar, ketika Umar dilantik jadi khalifah, ia justru menangis. Orang-orang pun bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau menangis menerima jabatan ini?”
“Aku ini keras, banyak orang yang takut padaku. Kalau aku nanti salah, lalu siapa yang berani mengingatkan?”
Tiba-tiba, muncullah seorang Arab Badui dengan menghunus pedangnya, seraya berkata, “Aku, akulah yang mengingatkanmu dengan pedang ini.”
“Alhamdulillah,” puji Umar pada Ilahi, karena masih ada orang yang mau dan berani mengingatkannya bila ia melakukan kesalahan.
Sering kali ia berkata,
"Semoga Allah merahmati orang yang memberiku hadiah berupa pengingatkan atas kesalahanku." Sikapnya yang seperti ini membangun budaya di mana tidak ada tempat bagi arogansi atau pembelaan tanpa dasar, melainkan keterbukaan terhadap kritik konstruktif untuk memperbaiki keadaan.
Islam mengajarkan bahwa setiap manusia tidak terlepas dari kesalahan dan kekurangan, dan sang pemimpin bukanlah pengecualian. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak Adam pasti banyak salahnya, dan sebaik-baik orang yang banyak salahnya adalah mereka yang banyak bertaubat.” (HR. Tirmidzi) Dalam budaya kepemimpinan Islam, kebesaran pemimpin tidak dilihat dari ketidaktercelaannya, melainkan dari keberaniannya mengakui kesalahan dan melakukan perbaikan.
Ketika seorang pemimpin bersedia mendengarkan dan menerima nasihat atau teguran, hal itu menciptakan hubungan yang sehat antara pemimpin dan yang dipimpin. Ini mengarah pada sistem yang transparan dan akuntabel. Dengan demikian, seorang pemimpin Islam harus selalu memupuk kualitas keteladanan, tidak saja dalam kata-kata, tetapi juga dalam perbuatan.
Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
"Dan urusan mereka (diurus dengan) musyawarah antara mereka." (QS. Asy-Syura [42]: 38)
Ayat ini mendorong praktik musyawarah atau konsultasi sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan dalam kepemimpinan Islam, yang secara inheren mencakup mendengar pendapat dan pengingatkan dari orang lain.
Kesediaan untuk menerima kritik juga harus diimbangi dengan cara yang bijak dalam menyampaikan kritik itu sendiri. Islam menekankan pentingnya nasihat yang dilakukan dengan cara yang penuh kasih sayang dan kebijaksanaan, tidak menyinggung atau menyakiti perasaan yang lain (Al-Qur'an, 16:125).
Menjalin komunikasi yang baik, membangun kepercayaan, dan berempati terhadap yang dipimpin adalah pondasi yang menguatkan jalinan antara pemimpin dan bawahannya. Sebagaimana Umar bin Khattab RA yang kerap berkunjung ke wilayah kekuasaannya secara rahasia untuk memastikan keadilan dan kesejahteraan rakyatnya, menunjukkan sikap pemimpin yang mau mendengar dan memahami kebutuhan rakyatnya.
Jadi pandangan Islam terhadap kepemimpinan yang baik dan menghargai pengingatkan ketika melakukan kesalahan adalah suatu keharusan. Sebuah kepemimpinan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam harus lahir dari kesadaran bahwa seorang pemimpin adalah pengabdi rakyat, dan terhormat bukan karena jabatannya, melainkan karena upayanya untuk selalu berbuat adil, rendah hati, dan siap memperbaiki diri. Jika hal ini dilakukan, maka tidak hanya akan mendapat pujian dari manusia tetapi juga ridha dari Allah SWT.
Perenungan dan pemikiran sepulang bekerja tadi malam.
Catatan Mas Bojreng
#buku #bacabuku
#book #books #booklover #bookstagram #bookworm #bookstagramchallenge���� #bookbookbook #read #reads #readbook #bookreview #readbooks #readbookseveryday #reading #readingtime #readingchallenge���� #readingbooks #readingforpleasure #readinglist #literate #literature #baca #ilovebooks #ilovebook #ilovereading #library
#catatanmasbojreng #masbojreng
No comments:
Post a Comment