Seorang pria tua duduk di teras rumahnya, ditemani secangkir kopi yang sudah dingin dan pikiran yang tak mau diam. Dulu, ia bekerja karena cinta — bukan karena angka. Tapi waktu berjalan, kebutuhan bertambah, dan perlahan makna itu mulai pudar. Di tengah tagihan dan kekhawatiran, ia menemukan dirinya kembali berdialog dengan Tuhan. Tentang niat yang bergeser, tentang kejujuran yang harus dijaga, dan tentang rindu yang tumbuh setiap kali jarak antara kening dan sajadahnya terasa jauh.Lewat kesunyian sore itu, ia belajar lagi arti syukur dan ikhlas. Bahwa bahkan dalam sempit pun manusia masih bisa memberi, dan dalam lelah pun masih bisa bersyukur. Ia sadar, rezeki bukan selalu tentang uang — tapi tentang kesempatan untuk sujud, untuk tetap percaya, dan untuk terus berjalan di jalan yang Allah tunjukkan. Karena pada akhirnya, semua yang disandarkan kepada-Nya akan berakhir baik-baik saja.
Di Teras Senja, Percakapan Sunyi Seorang Tua dengan Tuhannya
Sore itu langit mulai pudar. Jingga pelan-pelan berubah jadi abu keunguan, tanda hari sebentar lagi berpamitan. Seorang pria tua duduk sendirian di teras rumahnya. Kursi rotan yang ia duduki sudah berderit, tapi tetap setia menopang tubuhnya yang mulai renta. Di tangannya memegang tongkat kayu, yang digenggam erat, seolah itu satu-satunya teman yang tersisa sore itu.
Ia memandangi halaman yang sepi, sambil sesekali menarik napas panjang. Pikiran melayang ke masa lalu—masa ketika hidup terasa lebih sederhana, ketika bekerja terasa seperti bermain. Dulu, semua hal ia lakukan karena cinta. Karena niat ingin memberi manfaat, bukan karena tuntutan angka.
“Aku dulu kerja karena cinta, bukan karena cicilan,” gumamnya pelan sambil tersenyum getir.
Tapi waktu berjalan. Anak-anak tumbuh, kebutuhan ikut tumbuh. Harga barang naik, biaya sekolah melonjak, dan tiba-tiba dunia jadi terasa sempit. Ia menyadari, perlahan pikirannya berubah. Yang dulu dilakukan dengan hati, kini mulai dilakukan karena “harus”.
Pergulatan Hati
Ia menatap langit. “Ya Allah,” ucapnya lirih, “aku takut kehilangan makna dari pekerjaanku. Takut niatku melenceng, takut bekerja hanya karena dunia.”
Angin sore berhembus lembut, seolah membelai rambut putih di pelipisnya. Dan dalam keheningan itu, ia mendengar gema kalimat yang dulu sering ia dengar:
“Apapun dunia menghancurkan isi hatimu, jangan biarkan jarak antara kening dan sajadahmu kian menjauh.”
Kalimat itu seperti mengetuk batinnya. Ia tahu, sekeras apa pun hidup menekan, satu-satunya tempat bernaung hanyalah sujud. Karena segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah, pada akhirnya akan berakhir baik.
Kadang tidak cepat. Kadang tidak sesuai harapan. Tapi pasti—dengan cara terbaik dari-Nya.
Antara Tagihan dan Tawakal
Setiap akhir bulan, pikirannya sering tidak tenang. Tentang tagihan rumah, biaya sekolah cucu, cicilan kecil yang menumpuk pelan-pelan. Kadang kepikiran sampai sulit tidur. Tapi di sela kecemasan itu, ia ingat sesuatu:
“Ketika kamu lelah dan bosan dengan pekerjaanmu, ingatlah, ada yang berdoa setiap hari untuk bisa kerja.”
Ia terdiam. Kata-kata itu menampar halus. Betapa banyak orang di luar sana yang bahkan rela melakukan apa pun demi punya pekerjaan. Sementara ia, yang sudah diberi kesempatan, malah sering lupa bersyukur.
Memberi Meski dalam Sempit
Sambil menatap halaman, ia teringat tetangganya yang sering datang minta tolong. Kadang meminjam beras, kadang cuma butuh didengar. Ia pun sering memberi, walau hatinya tahu kondisi keuangannya juga pas-pasan. Tapi entah bagaimana, setiap kali ia memberi, selalu ada jalan terbuka.
Ia teringat sabda Rasulullah ﷺ:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Ahmad, Thabrani, dan Daruquthni)
Dan juga janji Allah dalam Al-Qur’an:
“Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir; pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki.”
— (QS. Al-Baqarah: 261)
Ayat itu menenangkannya. Karena Allah tidak melihat besar kecilnya pemberian, tapi keikhlasan di baliknya. Kadang memberi setengah roti lebih bernilai di sisi Allah daripada menyumbang sejuta dengan hati penuh pamrih.
“Bahkan dalam susah pun kita tetap bisa bantu orang lain,” pikirnya.
“Karena mungkin, lewat kebaikan kecil itulah Allah menolong kita kembali.”
Tentang Syukur
Ia menyeruput kopi yang sudah benar-benar dingin. Pahit, tapi jujur. Sama seperti hidup—tidak selalu manis, tapi selalu bisa disyukuri. Ia mengingat sabda Rasulullah ﷺ:
“Barang siapa tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri yang banyak.”
(HR. Ahmad)
“Benar,” gumamnya, “kalau nikmat kecil saja tidak bisa aku syukuri, bagaimana bisa aku mensyukuri nikmat yang besar?”
Ia tersenyum kecil. Kadang yang membuat hidup terasa berat bukan karena kekurangan, tapi karena lupa bersyukur.
Kembali ke Sajadah
Azan magrib berkumandang dari masjid ujung jalan. Ia berdiri perlahan, lututnya berderit, tapi langkahnya mantap. Sajadah di ruang tamu menunggu, seolah sudah tahu akan jadi tempatnya bersandar malam ini.
Ketika air wudhu membasuh wajahnya, terasa dingin tapi menenangkan. Dan saat keningnya bersentuh dengan sajadah, air matanya jatuh tanpa suara. Semua keresahan luruh, semua beban terasa ringan.
“Ya Allah,” bisiknya dalam sujud,
“Terima kasih untuk setiap rezeki, setiap ujian, dan setiap napas yang masih Kau izinkan hari ini.”
Di luar, malam menutup hari dengan lembut. Tapi di dalam hati lelaki tua itu, cahaya kecil menyala—cahaya iman yang tenang, sederhana, tapi cukup untuk menuntun langkah besok.
Karena ia tahu, selama dunia masih berisik dan penuh tuntutan, selalu ada satu tempat untuk kembali tenang:
di antara kening dan sajadah.
Catatan kecil:
Kadang kita lupa, bahwa rezeki tidak selalu tentang uang. Tapi juga tentang kesempatan untuk bekerja, untuk memberi, untuk masih bisa bersujud.
Dan percayalah—selama kita bersandar pada Allah, semua akan berakhir dengan baik-baik saja.
Di Antara Kening dan Sajadah
Di senja yang letih, aku berbincang dengan sunyi,
Tentang kerja, tentang cinta, tentang makna yang hilang perlahan.
Namun dalam sujud, semua kembali sederhana,
Hanya aku, dan Engkau, tanpa jarak, tanpa beban.
Dalam sempit aku belajar memberi,
Dalam pahit aku belajar syukur.
Sebab segala yang kutautkan pada-Mu,
Selalu pulang dalam keadaan baik-baik saja.
Mas Bojreng dalam diam
#Faith #Gratitude #Surrender #SpiritualJourney #PeaceWithin
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng






