Friday, November 7, 2025

Di Teras Senja, Percakapan Sunyi Seorang Tua dengan Tuhannya

Seorang pria tua duduk di teras rumahnya, ditemani secangkir kopi yang sudah dingin dan pikiran yang tak mau diam. Dulu, ia bekerja karena cinta — bukan karena angka. Tapi waktu berjalan, kebutuhan bertambah, dan perlahan makna itu mulai pudar. Di tengah tagihan dan kekhawatiran, ia menemukan dirinya kembali berdialog dengan Tuhan. Tentang niat yang bergeser, tentang kejujuran yang harus dijaga, dan tentang rindu yang tumbuh setiap kali jarak antara kening dan sajadahnya terasa jauh.

Lewat kesunyian sore itu, ia belajar lagi arti syukur dan ikhlas. Bahwa bahkan dalam sempit pun manusia masih bisa memberi, dan dalam lelah pun masih bisa bersyukur. Ia sadar, rezeki bukan selalu tentang uang — tapi tentang kesempatan untuk sujud, untuk tetap percaya, dan untuk terus berjalan di jalan yang Allah tunjukkan. Karena pada akhirnya, semua yang disandarkan kepada-Nya akan berakhir baik-baik saja.

Di Teras Senja, Percakapan Sunyi Seorang Tua dengan Tuhannya

Sore itu langit mulai pudar. Jingga pelan-pelan berubah jadi abu keunguan, tanda hari sebentar lagi berpamitan. Seorang pria tua duduk sendirian di teras rumahnya. Kursi rotan yang ia duduki sudah berderit, tapi tetap setia menopang tubuhnya yang mulai renta. Di tangannya memegang tongkat kayu, yang digenggam erat, seolah itu satu-satunya teman yang tersisa sore itu.

Ia memandangi halaman yang sepi, sambil sesekali menarik napas panjang. Pikiran melayang ke masa lalu—masa ketika hidup terasa lebih sederhana, ketika bekerja terasa seperti bermain. Dulu, semua hal ia lakukan karena cinta. Karena niat ingin memberi manfaat, bukan karena tuntutan angka.
“Aku dulu kerja karena cinta, bukan karena cicilan,” gumamnya pelan sambil tersenyum getir.

Tapi waktu berjalan. Anak-anak tumbuh, kebutuhan ikut tumbuh. Harga barang naik, biaya sekolah melonjak, dan tiba-tiba dunia jadi terasa sempit. Ia menyadari, perlahan pikirannya berubah. Yang dulu dilakukan dengan hati, kini mulai dilakukan karena “harus”.

Pergulatan Hati

Ia menatap langit. “Ya Allah,” ucapnya lirih, “aku takut kehilangan makna dari pekerjaanku. Takut niatku melenceng, takut bekerja hanya karena dunia.”
Angin sore berhembus lembut, seolah membelai rambut putih di pelipisnya. Dan dalam keheningan itu, ia mendengar gema kalimat yang dulu sering ia dengar:

“Apapun dunia menghancurkan isi hatimu, jangan biarkan jarak antara kening dan sajadahmu kian menjauh.”

Kalimat itu seperti mengetuk batinnya. Ia tahu, sekeras apa pun hidup menekan, satu-satunya tempat bernaung hanyalah sujud. Karena segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah, pada akhirnya akan berakhir baik.
Kadang tidak cepat. Kadang tidak sesuai harapan. Tapi pasti—dengan cara terbaik dari-Nya.

Antara Tagihan dan Tawakal

Setiap akhir bulan, pikirannya sering tidak tenang. Tentang tagihan rumah, biaya sekolah cucu, cicilan kecil yang menumpuk pelan-pelan. Kadang kepikiran sampai sulit tidur. Tapi di sela kecemasan itu, ia ingat sesuatu:
“Ketika kamu lelah dan bosan dengan pekerjaanmu, ingatlah, ada yang berdoa setiap hari untuk bisa kerja.”
Ia terdiam. Kata-kata itu menampar halus. Betapa banyak orang di luar sana yang bahkan rela melakukan apa pun demi punya pekerjaan. Sementara ia, yang sudah diberi kesempatan, malah sering lupa bersyukur.

Memberi Meski dalam Sempit

Sambil menatap halaman, ia teringat tetangganya yang sering datang minta tolong. Kadang meminjam beras, kadang cuma butuh didengar. Ia pun sering memberi, walau hatinya tahu kondisi keuangannya juga pas-pasan. Tapi entah bagaimana, setiap kali ia memberi, selalu ada jalan terbuka.

Ia teringat sabda Rasulullah ﷺ:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Ahmad, Thabrani, dan Daruquthni)
Dan juga janji Allah dalam Al-Qur’an:
“Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir; pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki.”
— (QS. Al-Baqarah: 261)
Ayat itu menenangkannya. Karena Allah tidak melihat besar kecilnya pemberian, tapi keikhlasan di baliknya. Kadang memberi setengah roti lebih bernilai di sisi Allah daripada menyumbang sejuta dengan hati penuh pamrih.
“Bahkan dalam susah pun kita tetap bisa bantu orang lain,” pikirnya.
“Karena mungkin, lewat kebaikan kecil itulah Allah menolong kita kembali.”

Tentang Syukur

Ia menyeruput kopi yang sudah benar-benar dingin. Pahit, tapi jujur. Sama seperti hidup—tidak selalu manis, tapi selalu bisa disyukuri. Ia mengingat sabda Rasulullah ﷺ:
“Barang siapa tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri yang banyak.”
(HR. Ahmad)
“Benar,” gumamnya, “kalau nikmat kecil saja tidak bisa aku syukuri, bagaimana bisa aku mensyukuri nikmat yang besar?”
Ia tersenyum kecil. Kadang yang membuat hidup terasa berat bukan karena kekurangan, tapi karena lupa bersyukur.

Kembali ke Sajadah

Azan magrib berkumandang dari masjid ujung jalan. Ia berdiri perlahan, lututnya berderit, tapi langkahnya mantap. Sajadah di ruang tamu menunggu, seolah sudah tahu akan jadi tempatnya bersandar malam ini.
Ketika air wudhu membasuh wajahnya, terasa dingin tapi menenangkan. Dan saat keningnya bersentuh dengan sajadah, air matanya jatuh tanpa suara. Semua keresahan luruh, semua beban terasa ringan.

“Ya Allah,” bisiknya dalam sujud,
“Terima kasih untuk setiap rezeki, setiap ujian, dan setiap napas yang masih Kau izinkan hari ini.”
Di luar, malam menutup hari dengan lembut. Tapi di dalam hati lelaki tua itu, cahaya kecil menyala—cahaya iman yang tenang, sederhana, tapi cukup untuk menuntun langkah besok.
Karena ia tahu, selama dunia masih berisik dan penuh tuntutan, selalu ada satu tempat untuk kembali tenang:
di antara kening dan sajadah.

Catatan kecil:
Kadang kita lupa, bahwa rezeki tidak selalu tentang uang. Tapi juga tentang kesempatan untuk bekerja, untuk memberi, untuk masih bisa bersujud.
Dan percayalah—selama kita bersandar pada Allah, semua akan berakhir dengan baik-baik saja.

Di Antara Kening dan Sajadah

Di senja yang letih, aku berbincang dengan sunyi,
Tentang kerja, tentang cinta, tentang makna yang hilang perlahan.
Namun dalam sujud, semua kembali sederhana,
Hanya aku, dan Engkau, tanpa jarak, tanpa beban.

Dalam sempit aku belajar memberi,
Dalam pahit aku belajar syukur.
Sebab segala yang kutautkan pada-Mu,
Selalu pulang dalam keadaan baik-baik saja.

Mas Bojreng dalam diam

#Faith #Gratitude #Surrender #SpiritualJourney #PeaceWithin
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Thursday, November 6, 2025

PCOS dan Gaya Hidup Sehat. Jangan Cuma Ikut Tren, Nikmati Prosesnya.


Pernah dengar PCOS? Jadi gini, PCOS atau Polycystic Ovary Syndrome itu kondisi yang lumayan sering dialami perempuan di usia subur. Biasanya karena hormon di tubuh lagi nggak seimbang. Tandanya bisa macem-macem — haid yang suka molor atau malah nggak datang-datang, jerawat yang bandel banget, rambut halus tumbuh di tempat yang aneh kayak dagu atau perut, sampai berat badan yang naik terus padahal makan rasanya biasa aja.

Nah, meskipun terdengar menakutkan, kabar baiknya: terapi utama PCOS bukan selalu obat. Justru fondasinya adalah gaya hidup sehat — alias lifestyle change. Dua kata kuncinya: makan dengan bijak dan rajin bergerak.

Mulai dari Piring Makanmu
Diet untuk PCOS bukan berarti harus hidup hanya dari salad dan dada ayam rebus. Intinya adalah menstabilkan kadar gula darah dan menekan resistensi insulin (yang sering jadi biang kerok PCOS makin parah).
Coba tips ini:
• Pilih karbo kompleks seperti nasi merah, oats, atau kentang rebus.
• Isi setengah piringmu dengan sayur warna-warni.
• Pilih protein sehat: tahu, tempe, telur, ikan, atau ayam tanpa kulit.
• Kurangi minuman manis dan makanan olahan.
Makan dengan sadar, bukan sekadar karena lapar mata. Ingat, PCOS bukan cuma soal hormon, tapi juga soal metabolisme tubuh yang perlu kamu jaga pelan-pelan tapi konsisten.

Olahraga itu Nggak Harus Berat, Asal Rutin dan Menyenangkan
Banyak yang salah kaprah, mengira olahraga untuk PCOS harus ekstrem — maraton, angkat beban berat, atau kelas HIIT yang bikin ngos-ngosan. Padahal, kuncinya bukan di intensitas, tapi di konsistensi.
Kamu boleh banget mulai dari tren — ikut FOMO sedikit tidak apa-apa! Misalnya:
• Lagi musim sepeda? Coba ikut gowes bareng teman.
• Teman kantor lagi semangat lari? Coba ikutan fun run 5K.
• Sekarang lagi heboh padel tennis? Coba saja, siapa tahu ketagihan!
Yang penting: temukan jenis olahraga yang kamu nikmati. Karena kalau sudah senang, kamu akan melakukannya bukan karena “terpaksa demi PCOS”, tapi karena tubuhmu merasa segar setelahnya.
Beberapa pilihan olahraga yang cocok untuk PCOS:
• Cardio ringan: jalan cepat, bersepeda, berenang.
• Latihan kekuatan: yoga, pilates, atau latihan beban ringan (bagus untuk menstabilkan hormon dan meningkatkan metabolisme).
• Gabungan keduanya: misalnya senam zumba, dance class, atau hiking di akhir pekan.
Tips: Jadwalkan olahraga seperti kamu menjadwalkan janji penting. Kalau perlu, jadikan “me time” — musik favorit di telinga, sepatu olahraga kesayangan, dan sedikit waktu tanpa distraksi.

Kenapa Olahraga Penting untuk PCOS?
Karena olahraga bukan cuma membakar kalori. Buat wanita dengan PCOS, manfaatnya jauh lebih dalam:
• Meningkatkan sensitivitas insulin (menurunkan risiko diabetes).
• Menyeimbangkan kadar hormon.
• Membantu ovulasi lebih teratur.
• Menstabilkan suasana hati dan menurunkan stres (yang sering memperburuk PCOS).
• Menurunkan berat badan — tapi lebih penting lagi, memperbaiki komposisi tubuh.
Jadi, walau timbangan nggak langsung berubah drastis, tubuhmu sebenarnya sedang memperbaiki dirinya dari dalam.

Kiat Agar Tetap Konsisten
• Jangan perfeksionis. Nggak apa-apa kalau seminggu cuma sempat olahraga 2 kali. Yang penting mulai dan lanjut.
• Cari teman seperjuangan. Olahraga bareng bisa bikin semangat dan saling mengingatkan.
• Catat progres kecil. Misal: “bulan ini sudah jalan kaki total 20 km.” Kecil tapi nyata.
• Hadiahkan dirimu. Setelah sebulan rutin, boleh beli baju olahraga baru atau sepatu yang lebih nyaman.
• Dengarkan tubuhmu. Kalau lelah, istirahat. Kalau semangat, tingkatkan. PCOS bukan lomba siapa paling cepat sembuh, tapi perjalanan panjang menuju tubuh yang lebih seimbang.

Jadi Nikmati Prosesnya

Mengubah gaya hidup untuk mengatasi PCOS memang butuh waktu. Kadang turun-naik semangat, kadang malas, kadang hasilnya belum terlihat. Tapi jangan lupa: setiap langkah kecil — dari memilih makan lebih sehat sampai bergerak 30 menit sehari — adalah bentuk kasih sayangmu pada tubuh sendiri.
Mulai boleh dari FOMO, tapi lanjutkan karena kamu benar-benar menikmati prosesnya. Karena ketika gaya hidup sehat sudah jadi bagian dari keseharian, PCOS bukan lagi momok — tapi bagian dari perjalananmu menuju versi terbaik diri sendiri. 

Wednesday, November 5, 2025

Cerita anak seorang guru

Saya anak seorang guru. Dari kecil, saya akrab dengan aroma kapur tulis dan suara ayah yang selalu sabar menjelaskan sesuatu dengan cara yang entah bagaimana—selalu bisa membuat orang tenang. Tapi jujur, saya dulu yakin: saya tidak akan seperti beliau. Terlalu berat. Terlalu idealis. Saya ingin dunia yang berbeda—lebih dinamis, lebih hidup, lebih… saya. Maka saya memilih kedokteran. Dunia di mana hidup dan mati sering hanya berjarak satu keputusan. Saya jadi dokter kandungan, seorang klinisi yang hidup di antara tangisan pertama bayi dan air mata lega seorang ibu. Saya pikir, cukup sampai di situ peran saya: menyembuhkan, bukan mengajar.

Tapi hidup kadang punya cara halus untuk bercanda. Sekarang, saya bekerja di rumah sakit tempat para dokter muda menimba pengalaman. Mereka datang dengan semangat membara, dengan idealisme yang belum sempat tergoda kenyataan. Dan pelan-pelan saya sadar—tanpa niat, tanpa rencana—saya sedang mengulang jejak ayah saya. Saya menjadi “guru.” Tapi entahlah, saya masih belum siap menyebut diri saya begitu. Kata itu terasa besar, penuh tanggung jawab.

Aku lebih suka nyebutnya: berbagi. Berbagi cerita, berbagi pengalaman, juga berbagi kesalahan yang dulu pernah terjadi. Buatku, kedokteran itu nggak cuma soal teori atau ilmu. Di dalamnya ada sains, tapi juga hati dan rasa. Ilmu bisa kasih tahu apa yang terjadi, tapi empati yang bikin kita ngerti siapa yang sedang kita hadapi.

Ibnu Sina, tokoh besar dari dunia Islam, pernah bilang kalau tugas seorang tabib itu bukan cuma ngurus tubuh, tapi juga jiwa. Katanya, keseimbangan antara raga dan ruh itu kunci dari penyembuhan yang sesungguhnya. Dan entah kenapa, aku ngerasa itu masih relevan banget. Soalnya, sering kali yang datang ke ruang periksa bukan cuma penyakitnya, tapi juga rasa takut, sepi, atau kehilangan harapan.

Beberapa abad setelah Ibnu Sina, muncul dr. Hunter “Patch” Adams—dokter nyentrik yang percaya bahwa tawa dan cinta juga bisa jadi obat. Ia bilang, “You treat a disease, you win, you lose. You treat a person, I guarantee you’ll win no matter what the outcome.” Dua tokoh dari dua zaman berbeda, tapi suaranya sama: bahwa kedokteran sejati bukan tentang penyakit, tapi tentang manusia.

Namun, jujur saja—menjadi dokter hari ini tak semudah dulu. Dunia berubah. Sistem makin kaku, birokrasi makin rumit, pasien makin kritis (kadang karena Dr. Google lebih dulu memberi “diagnosis”). Generasi muda dokter tumbuh di zaman yang serba cepat, serba digital, serba diukur dengan angka. Tapi seperti kata Ali bin Abi Thalib, “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Maka tugas kita bukan memaksa mereka jadi seperti kita, tapi membantu mereka menemukan idealisme mereka sendiri—tanpa kehilangan arah.

Idealismemu akan diuji. Integritasmu akan digoda. Etikamu akan diuji di tempat-tempat tak terduga—kadang bukan di ruang operasi, tapi di ruang rapat, di balik laporan, atau dalam pilihan kecil yang tidak ada saksi. Tapi justru di situlah maknanya. Karena sumpah dokter bukan sekadar kalimat indah saat wisuda. Itu kompas hidup. Dan ketika sistem mulai terasa terlalu dingin, satu-satunya yang bisa membuat kita tetap hangat adalah hati.

Saya sering bilang pada para co-ass yang belajar bersama saya, “Tak apa takut. Yang penting jangan berhenti jadi manusia.” Karena di balik jas putih dan gelar panjang, dokter tetaplah manusia biasa. Kita bisa salah, bisa lelah, bisa sedih. Kita pun berdoa—kadang diam-diam, kadang dalam hening di ruang bersalin yang sepi. Berdoa agar diberi ketenangan dalam keputusan yang sulit, agar tangan ini tetap menjadi alat kebaikan, bukan sekadar profesi.

Dan kini saya mengerti, mungkin darah seorang guru memang tidak bisa dihindari. Tapi ternyata, itu bukan beban—melainkan anugerah. Karena ngajar itu bukan tentang siapa yang paling pinter, tapi siapa yang paling mau berbagi. Kayak yang pernah dibilang Ibnu Sina, “Ilmu tanpa amal itu cuma jadi hiasan, dan amal tanpa ilmu bisa nyasar ke mana-mana.”
.” Maka saya belajar untuk terus belajar. Bahwa dokter sejati bukan hanya menyembuhkan tubuh, tapi menyalakan jiwa—jiwa pasien, jiwa murid, dan jiwa kita sendiri.

Dan di atas semuanya, saya belajar untuk hidup dengan kesadaran bahwa kelak, semua amal, semua pilihan, semua tindakan akan bersuara—meski lisan terdiam. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Yasin ayat 65:
"Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami, dan kaki mereka akan memberi kesaksian tentang apa yang dahulu mereka kerjakan."
Ayat itu selalu membuat saya berhenti sejenak. Mengingatkan bahwa profesi ini bukan sekadar pekerjaan, tapi juga kesaksian hidup. Bahwa setiap tindakan adalah kalimat yang akan dibacakan kembali suatu hari nanti. Maka, saya ingin tangan ini hanya menulis kebaikan, kaki ini hanya melangkah menuju kemanusiaan, dan hati ini tetap jujur pada nurani.

Mungkin, di sanalah makna sejati profesi ini: bukan sekadar menjaga kehidupan, tapi menjaga nilai-nilai yang membuat hidup layak dijalani. Dan selama saya masih bisa melakukannya dengan hati—dengan tangan yang kelak bersaksi baik di hadapan-Nya—saya tahu, dunia kedokteran masih punya harapan.

Papa, Sang Guru

Engkau menanam kata di tanah hati,
dengan sabar, tak menuntut panen.
Kini aku berjalan di jejakmu yang sunyi,
mengajar tanpa sadar, mencinta tanpa pamrih.

Di ruang hidup yang penuh detak dan doa,
aku belajar bahwa ilmu pun punya jiwa.
Dari tanganmu, Papa, aku paham akhirnya—
menyembuhkan dan mengajar, sejatinya sama: melayani cinta.

Mas Bojreng refleksi 4 Oktober 2025

#LegacyOfTeaching #HeartOfHealing #WisdomAndCompassion #LessonsFromFather #HumanityInMedicine
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Tuesday, November 4, 2025

Dari Halaman ke Hati

Pagi ini, setelah menutup Al-Qur’an, ada rasa hangat dan hening yang aneh tapi nyaman. Rasanya kayak baru selesai ngobrol panjang sama sahabat lama yang ngerti banget kita—tapi sahabatnya nggak kelihatan. Sahabatnya Allah. Aku duduk sebentar di pojok kamar, memandangi cahaya rembulam yang menyelinap lewat jendela. Ada rasa lega, tapi juga seperti energi baru yang perlahan masuk ke dada dan pikiran.


Di saat itu, aku langsung teringat Almarhum Papa. Beliau selalu bilang sejak aku kecil, “Ingat, ayat pertama yang turun itu Iqra, baca! Bukan cuma baca buku, tapi baca hidup juga. Jangan cuma pinter di kepala tapi kosong di hati.” Kata-kata itu dulu terdengar sederhana, hampir seperti klise, tapi sekarang rasanya seperti lonceng yang terus berdentang di kepala, mengingatkan siapa aku dan ke mana aku harus melangkah.

Makanya, sejak aku masih kecil, Almarhum Papa selalu mengajakku ke toko buku. Bukan sekadar jalan-jalan atau beli buku baru, tapi supaya aku terbiasa melihat dunia lewat tiap halaman. Kadang aku bosan memilih buku, kadang aku ribut sama Papa soal mana buku yang lebih menarik, tapi beliau selalu sabar. Beliau ingin aku membiasakan diri membaca, bertanya, merenung, bahkan tersenyum atau terharu sendiri karena cerita yang dibaca. Kebiasaan itu ternyata bikin aku terbiasa membuka pikiran, melihat banyak sudut pandang, dan nggak gampang sempit atau cepat menilai orang lain.

Aku ingat satu momen di toko buku langganan kami. Aku waktu itu masih kelas tiga SD, cuma pengin beli komik favorit. Papa menepuk pundakku pelan, sambil menunjuk rak buku yang penuh warna dan bertuliskan “Cerita Dunia dan Kehidupan.” Beliau bilang, “Lihat ini, Nak. Baca ini suatu hari nanti, jangan cuma komik. Dunia orang lain bisa kita kenal lewat buku. Pikiranmu bakal makin luas.” Aku waktu itu cuma angguk-angguk, tapi entah kenapa kata-kata itu tertanam perlahan, meski belum terasa efeknya.

Seiring waktu, buku-buku itu menjadi teman yang setia. Novel membuatku ikut merasakan hidup orang lain; biografi mengajarkan perjuangan orang-orang yang tak selalu mudah; buku sejarah dan sains memaksa berpikir kritis, mempertanyakan, dan mencari kebenaran sendiri. Semua itu memperluas perspektif, melatih empati, bahkan kadang memaksa aku menatap diri sendiri dengan jujur. Tanpa sadar, membaca sejak kecil membentuk cara aku memahami dunia—dunia yang luas, kompleks, tapi juga penuh warna.

Tapi Almarhum Papa selalu menekankan satu hal: Al-Qur’an tetap nomor satu. Membaca Al-Qur’an bukan cuma menuntaskan halaman atau menghafal ayat, tapi meresapi maknanya. Rasanya berbeda ketika ayat itu mulai “nyangkut” di hati dan perlahan mengubah cara kita bertindak sehari-hari. Hati dan pikiran jadi nyambung, hidup terasa lebih bermakna.

Sekarang, banyak sekali slogan literasi di mana-mana. “Baca itu keren!” atau “Salam literasi!” Tapi kadang, aku merasa banyak yang berhenti di situ. Banyak orang ikut-ikutan, tapi tidak merasakan apa makna membaca sebenarnya. Almarhum Papa dulu selalu bilang, membaca itu bukan sekadar kata-kata di halaman, tapi soal membuka diri, memahami dunia, dan mengubah cara kita melihat hidup.

Aku jadi sadar, membaca itu seperti percakapan panjang. Dengan buku, kita ngobrol sama pikiran penulis, sama cerita yang ditulis, bahkan sama diri kita sendiri. Dengan Al-Qur’an, kita ngobrol sama Allah, dan hati kita ikut tersentuh pelan-pelan. Kalau kita mau, membaca bisa membuka jendela dunia, memberi perspektif baru, dan membuat kita berani jadi versi diri kita yang lebih baik.

Ada momen lain yang masih aku ingat jelas: suatu sore, aku dan Almarhum Papa duduk di ruang tamu, secangkir teh hangat di tangan, aku membuka buku biografi seorang ilmuwan. Papa duduk di sebelahku, membiarkan aku membaca sendiri, tapi sesekali beliau menatap, tersenyum, lalu berkomentar ringan, “Pintar ya orang ini… tapi inget, Nak, kita nggak cuma belajar dari orang lain. Belajar dari hidup sendiri juga penting.” Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi menempel. Membaca bukan cuma soal tahu banyak, tapi soal bisa memetik pelajaran, meresapi, dan menerapkannya dalam kehidupan.
Aku juga ingat malam-malam saat Almarhum

Papa mengingatkan aku untuk membaca Al-Qur’an. Kadang aku malas, kadang ngantuk, tapi beliau selalu menekankan: “Jangan cuma selesai baca, tapi resapi. Biar tiap ayat nyampe ke hati. Biar hidupmu nggak cuma jalan di permukaan.” Sekarang, kalimat itu terasa seperti mantra. Rasanya setiap halaman Al-Qur’an yang kubaca adalah percakapan langsung dengan Allah, mengingatkan aku tentang apa yang penting dalam hidup, tentang kebaikan, tentang sabar, tentang bersyukur.

Dan kalau dipikir-pikir, membaca buku lain pun sama pentingnya. Novel bikin aku ikut merasakan emosi orang lain; buku sains memaksa aku berpikir logis; sejarah memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang nggak pernah aku pikirkan sebelumnya. Semua itu memperluas cara pandang, bikin kita nggak gampang menilai orang lain cuma dari satu sisi, dan bahkan bikin kita lebih empati terhadap diri sendiri.

Almarhum Papa selalu menutup nasihatnya dengan kalimat sederhana tapi berat maknanya: “Baca, resapi, jalankan. Jangan cuma tahu, tapi hidupkan. Biar hidup nggak cuma jalan di permukaan, tapi nyentuh makna.”

Pagi ini, setelah menutup Al-Qur’an, aku nggak merasa selesai. Malah rasanya baru mulai bab baru: membaca dunia, membaca buku, membaca diri sendiri, dan tentu saja terus membaca Al-Qur’an. Pesan Almarhum Papa tetap menempel di hati: jangan sampai literasi cuma slogan. Baca, resapi, dan jalankan. Biarkan hidup terasa penuh makna, bukan cuma lewat kata-kata.

Dan aku jadi tersenyum sendiri, membayangkan apabila Almarhum Papa duduk di sebelah, tersenyum seperti dulu. Rasanya, setiap lembar halaman yang kubaca, setiap ayat demi ayat yang kubaca, adalah hadiah kecil dari beliau yang diwariskan: bukan sekadar kata-kata, tapi the way of life .

Kadang aku mikir, cara kita ngelihat dunia, cara kita menghormati orang lain, bahkan cara kita bangun diri sendiri, semuanya balik lagi ke satu hal: gimana kita mau belajar. Dan buatku, belajar paling asik itu lewat membaca.

Membaca itu nggak harus selalu serius kayak di sekolah. Nggak perlu juga dianggap tugas atau kewajiban yang berat. Buat aku, membaca itu teman yang selalu siap nemenin kapan aja. Kadang jadi sahabat, kadang guru yang nyentil halus, kadang malah jadi penuntun yang muncul diam-diam waktu lagi butuh arah.

Dan di antara semua hal yang aku baca, Al-Qur’an selalu jadi titik balik. Ada sesuatu yang nggak bisa dijelasin cuma lewat logika. Semakin dibaca, makin terasa tenang. Ayat-ayatnya bukan cuma ngasih tahu apa yang benar atau salah, tapi juga ngajarin cara ngerasain hidup.
Buat aku, membaca Al-Qur’an itu  bikin kepala terbuka dan bikin hati tenang. Kalau dua-duanya dibaca pakai hati, bukan cuma mata, pelan-pelan cara kita ngelihat dunia juga ikut berubah. Kita jadi lebih sabar, lebih ngerti, dan mungkin juga lebih manusiawi.

Aku menarik napas panjang, memejamkan mata sebentar, lalu tersenyum kecil. Ingatan tentang Almarhum Papa muncul lagi—dengan senyum khasnya dan suara lembutnya waktu bilang, “Baca, resapi, jalankan.”

Hari ini rasanya bukan cuma tentang menutup mushaf dan bilang “akhirnya khatam,” tapi tentang mulai lagi. Mulai membaca dunia, membaca diri sendiri, dan meneruskan pesan yang Papa tinggalin. Pesan yang sederhana tapi berat maknanya.
Dan kalau boleh berharap, semoga siapa pun yang baca ini juga bisa ngerasain hal yang sama. Nggak perlu buru-buru, nggak harus dipaksain. Cukup mulai aja dulu. Baca dengan hati yang terbuka. Karena dari situ, pelan-pelan, dunia bisa terasa lebih luas… dan hidup, lebih bermakna.

Dalam Hening Kata yang Terbaca

Di tiap huruf, dunia menua pelan,
Di tiap ayat, hati kembali pulang.
Membaca bukan melihat, tapi merasakan,
Antara kertas dan langit, jiwa berpegangan.

Al-Qur’an membuka dan menuntun,
Satu menenangkan, satu menumbuhkan.
Dan di tengah sunyi nasihat Papa,
Aku belajar membaca kehidupan.

Mas Bojreng dini hari ini

#ReadWithHeart #WhispersOfWisdom #SoulAndScript #JourneyWithin #LightOfWords  #poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Monday, November 3, 2025

Suara yang Masih Tertinggal di Langit Sore

 

Masih terdengar suara Papa, lembut namun tegas,

"Tom, ayuk sholat ke masjid," katanya,
Suara itu menembus waktu dan jarak,
Menggugah langkah yang sempat ragu.

Langkahkan kakimu, anakku, ke rumah-Nya,
Di sana tenang menunggu dalam diam,
Sholat bukan sekadar gerak tubuh,
Ia adalah pelukan Tuhan pada jiwa yang resah.

Sholatlah dengan tenang, dunia masih bisa menunggu,
Biarkan urusan fana menepi sebentar,
Sujudmu lebih berharga dari segala hiruk pikuk,
Dalam diam itu, langit pun ikut tunduk.

Sholatlah dengan tenang, masalahmu takkan lari,
Waktu ada untuk mereka yang bersabar,
Dan jika dunia runtuh di tengah doamu,
Kau telah berada di tempat paling aman.

Sholatlah dengan tenang, selesaikan ibadahmu,
Tinggalkan sejenak dunia yang bising,
Biarkan pikiranmu beristirahat di pangkuan sujud,
Sebab mungkin, di sana, Papa masih tersenyum.

Mas Bojreng melangkahkan kaki pagi ini


#PrayerWhispers #EchoOfFaith #CalmInSujood #SoulAndSilence #HeavenInTheHeart
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Saturday, November 1, 2025

Masih Kudengar di Antara Hening

Di telingaku masih bergetar suaramu, Pa,

lembut, namun tegas seperti angin subuh.

“Jaga emosimu… jangan cepat marah,

ucapkan istighfar,” begitu kau ulang.


Kini suaramu tak lagi datang,

tapi dari dalam dada, saat aku hampir meledak.

Setiap dentum amarah menemu tembok nasihatmu,

dan runtuh jadi lirih air mata.


Sabar ya… begitu gema yang kau titipkan,

menyelusup di sela napas dan waktu.

Jaga emosi, istighfar selalu,

agar jiwa tak retak meski dunia mengguncang.


Engkau sudah tak menahan sakit lagi, Pa,

sudah tenang di haribaan Allah yang kau rindukan.

Tapi di tiap diam malamku,

aku masih mendengarmu, seperti doa yang bergaung.


Maafkan anakmu ini, Pa,

yang belum pandai menenangkan hatinya sendiri.

Aku masih belajar sabar dari bayangmu,

masih berlatih tenang dari kehilanganmu.


Mas Bojreng dalam kegelapan rindu ,5 minggu berlalu hari ini


#FatherlyWisdom #InLovingMemory #ForeverInMyHeart #LessonsOfPatience #RestInPeace

#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng

Friday, October 31, 2025

Monetisasi hobimu

Beberapa hari terakhir, dunia terasa seperti memaksa semua hal untuk bernilai materi.

“Monetisasi hobimu!” “Jadikan karya ini penghasilan!”
Setiap kata, setiap jepretan, seolah harus dihitung dalam dolar atau like.

Tapi bagaimana menjaga niat tetap Lillahi ta’ala di tengah semua itu?
Pertama, sadari niatmu sebelum mulai berkarya: bukan untuk trending, bukan untuk sorotan,
tapi untuk menyalurkan cinta yang Allah titipkan di dalam hatimu.

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan, seraya berkata: ‘Kami memberi makanan ini karena mengharapkan wajah Allah, kami tidak ingin balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.’”
(QS. Al-Insan: 8-9)

Kedua, jangan biarkan validasi dunia menandingi ridha-Nya.
Kalau orang nggak melihat, nggak apa-apa — yang penting Dia melihat.
Kalau karya tidak viral, tidak apa-apa — yang penting niatmu tetap murni.
Ketiga, jadikan setiap karya kecil itu sebagai sarana dzikir dan tafakur:
setiap foto bisa jadi pengingat keagungan-Nya,
setiap tulisan bisa jadi refleksi hati, bukan algoritma.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari & Muslim)

Dan ketika semua tergoda oleh angka, likes, atau views, ingat kata Rabiah Al-Adawiyah:
Jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka-Mu, bakarlah aku di dalamnya.
Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu, haramkanlah aku daripadanya.
Namun jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, jangan palingkan wajah-Mu dariku.

Karya, hobi, dan kata-kata kita bisa jadi doa jika lahir dari cinta sejati kepada-Nya, bukan karena tuntutan dunia.
Di sinilah keindahan seni dan ibadah bertemu: sederhana, murni, dan abadi.

“Create with your heart, offer it to Allah, and let the world be a witness, not a judge.”

Catatan Mas Bojreng

#DoItForLoveNotMoney #SoulOverCurrency #CreateForAllah #ArtWithIntention #BeyondTheLikes
#poem #poetry #poetsofinstagram #poets #poet #poetrycommunity #catatanmasbojreng #masbojreng 

Di Teras Senja, Percakapan Sunyi Seorang Tua dengan Tuhannya

Seorang pria tua duduk di teras rumahnya, ditemani secangkir kopi yang sudah dingin dan pikiran yang tak mau diam. Dulu, ia bekerja karena c...