Menahan diri untuk berkomentar, terutama komentar negatif dan tidak perlu.
Dalam kehidupan sosial, rasa ingin menyuarakan pendapat atau berkomentar seringkali muncul secara spontan. Bagi sebagian orang, hal ini bisa bagi sebagian orang, merupakan bentuk kebebasan berbicara dan berekspresi. Namun, dalam Islam, kualitas ucapan seseorang memiliki nilai yang sangat penting dan bahkan dapat menentukan keberadaan seseorang di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, Islam mengajarkan umatnya untuk bijak dalam berkomentar, terutama untuk menahan diri dari berkomentar negatif yang tidak produktif atau yang dapat menyakiti hati orang lain.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menekankan pentingnya menjaga lisan dan berbicara hanya ketika ada kebaikan yang akan terucap. Dari sini, kita dapat merenungkan esensi mendalam tentang pentingnya menahan diri dari komentar negatif.
Pertama, menahan diri dari berkomentar negatif dapat dijadikan sebagai latihan untuk mengendalikan ego dan emosi. Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin ada banyak situasi yang memancing emosi dan keinginan untuk mengkritik. Namun, seorang Muslim diajarkan untuk melakukan muhasabah atau introspeksi diri, dan mempertimbangkan konsekuensi atas ucapan maupun tindakannya.
Kedua, dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan tutupilah aib sesama kamu serta maafkanlah kesalahannya. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Surah An-Nur: 22). Ayat ini membawa pemahaman bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan kesalahan. Sebagai umat yang diajarkan untuk saling menutupi aib dan tidak menyebarkan keburukan orang lain, menjauhi komentar negatif adalah bentuk amalan yang sangat dianjurkan.
Ketiga, menahan diri dari berkomentar negatif juga terkait dengan konsep ghībah (menggunjing) yang sangat dilarang dalam Islam. Ghībah dapat didefinisikan sebagai menyebutkan tentang saudaranya sesuatu yang ia benci. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan bahwa ghībah lebih buruk dari perzinahan, karena zina dapat diampuni dengan taubat, namun ghībah tidak diampuni hingga orang yang digunjing memaafkan. Sehingga, berhati-hati dalam berkomentar mengindarkan seorang Muslim dari perbuatan ghībah.
Keempat, Islam juga mengajarkan prinsip musyawarah dalam mengambil keputusan atau menyampaikan pendapat. Musyawarah merumuskan pendekatan yang santun dan efektif dalam menyampaikan pemikiran tanpa harus menyinggung atau merendahkan orang lain. Hal ini juga membantu dalam menyaring komentar negatif dan mengubahnya menjadi kritik yang konstruktif dan solutif.
Kelima, menahan diri dari berkomentar negatif juga sejalan dengan menjaga kesucian hati dan pikiran. Sebagaimana diketahui, hati yang suci adalah sumber dari pikiran dan perkataan yang baik. Dalam sebuah hadith qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Aku tidak memasukkan dua hati dalam dada seorang hamba,” yang diartikan bahwa hati tidak dapat diisi dengan kebaikan ketika masih dipenuhi oleh kesombongan atau kebencian.
Keenam, lazimnya komentar negatif lahir dari prasangka yang seringkali tidak berdasar. Allah telah memerintahkan dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 12 untuk menjauhi banyak prasangka, karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Sehingga, menghindari komentar negatif juga berarti menjauhkan diri dari prasangka yang buruk terhadap sesama.
Tujuh, sikap sabar dan hikmah juga perlu diterapkan ketika seseorang tergoda untuk berkomentar negatif. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan berikutkanlah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, kemudian kepada-Ku lah kembali kalian semua, maka Aku akan beritahu kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.” (Surah Al-‘Imran: 55). Ayat ini mendorong untuk selalu mengedepankan ketenangan dan kebijaksanaan dalam setiap perbuatan, termasuk dalam berkomentar.
Kesimpulannya, menahan diri dari berkomentar negatif adalah sebuah refleksi dari karakter mulia yang diupayakan dalam ajaran Islam. Hal ini bukan hanya tentang menjaga lisan, tetapi juga tentang menjaga hati, memperkaya jiwa dengan kesabaran dan hikmah, serta membangun hubungan yang lebih baik dengan sesama dan dengan Sang Pencipta. Dengan selalu memfilter ucapan sebelum keluar dari mulut, seorang Muslim tidak hanya terjaga dari dosa lisan, tetapi juga membentuk komunitas yang lebih harmonis dan penuh kasih sayang.
Saya memang masih harus banyak belajar, untuk menahan diri, untuk lebih sering berucap Istighfar.
Pengingat diri sendiri di hari Jumat ini.
Catatan Mas Bojreng
#myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng
No comments:
Post a Comment