Kemana mana saya selalu membawa tas, dimana selalu ada buku disitu atau ada ipad yang isinya ebook.
Kebiasaan dari dulu memang, apalagi seperti saat ini sambil menunggu pasien disiapkan, baca baca sebentar.
Jadi saya berpendapat kebiasaan membaca adalah ekspedisi wawasan yang kian memudar
Pada zaman di mana setiap detik informasi berseliweran lewat linimasa digital, kebiasaan membaca sepertinya telah menjadi peninggalan zaman. Namun, bagi sebagian orang, membaca bukanlah sebuah aktifitas yang mereka lakukan semata-mata untuk menyandang predikat 'orang pintar'. Membaca sesungguhnya merupakan sebuah jembatan ke alam pemahaman yang lebih luas, suatu sarana untuk menyentuh horison pengetahuan yang tidak terbatas.
Ketertarikan pada buku bukan sekedar hobi, melainkan cara hidup; sebuah perjalanan yang mengantar pada pengayaan diri—secara intelektual dan spiritual. Maka saat literasi masih kerap dianggap sebatas slogan yang indah di bibir para pembicara seminar dan narasi kosong pada seminar-seminar, ada urgensi untuk mengkaji ulang arti dari literasi itu sendiri.
Dikatakan oleh Albert Einstein, "Buku adalah kapal yang membawa kita melintasi lautan pengetahuan." Tanpa bantuan 'kapal' ini, pengetahuan kita akan tetap terkurung dalam kepompong kebiasaan dan persepsi yang stagnan. Kebiasaan membaca yang semakin tergerus ini menjadi ironi ketika peradaban memerlukan wawasan yang mumpuni untuk menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks.
Meski sudah banyak kampanye dan program yang dirancang untuk meningkatkan minat baca, namun masih terdapat jurang pemisah antara niat dan realisasi. Apakah karena buku dianggap sebagai benda antik di era digital? Atau karena kesabaran dan konsentrasi—kedua hal yang sangat dibutuhkan untuk membaca—telah kalah oleh kepraktisan dan instaniasasi? Atau mungkin, kita belum menemukan cara yang tepat untuk memicu kembali hasrat membaca di hati masyarakat?
Membaca adalah proses menyerap ilmu, sesuatu yang sangat ditekankan dalam agama Islam. Islam memulai wahyu pertamanya dengan perintah 'Iqra', yang berarti 'bacalah'. Hal ini mencerminkan pentingnya ilmu dan pembelajaran dalam Islam. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat." Hal ini memperkuat bahwa pembelajaran—dan membaca sebagai salah satu metodenya—adalah kegiatan seumur hidup yang tak terpisahkan dari kehidupan seorang Muslim.
Membaca dalam Islam bukan hanya dianggap sebagai kegiatan yang memberi penerangan mental, tetapi juga spiritual. Melalui membaca, seseorang dapat menjalin hubungan yang lebih dekat dengan kreator, sebab dengan ilmu seseorang dapat lebih memahami alam semesta dan penciptaannya.
Lalu, bagaimana kita membangkitkan kembali kebiasaan membaca? Apakah memungkinkan untuk memadukan kecintaan terhadap buku dengan kemajuan teknologi? Pengintegrasian e-book ke dalam smartphone dan tablet mungkin adalah salah satu solusi. Memanfaatkan platform media sosial untuk mempromosikan buku dan membentuk komunitas pembaca online juga dapat menjadi katalis. Melalui cara-cara tersebut, mungkin literasi tidak lagi menjadi sekadar wacana, tetapi menjadi aksi kolektif yang meriah.
Aksi nyata tersebut membutuhkan lebih dari sekedar motivasi; memerlukan contoh nyata dari para pecinta buku. Mereka yang dengan bangga menampilkan tumpukan bacaan yang baru saja mereka telusuri. Mereka yang tanpa henti membicarakan buku yang sedang mereka baca. Itu semua adalah bagian dari upaya untuk menjadikan literasi sebagai sebuah gaya hidup.
Di tengah kelesuan kebiasaan membaca, ada semacam lampu yang menunjukkan harapan. Ruang-ruang baca publik, perpustakaan keliling, hingga festival literasi yang menjamur menunjukkan bahwa ada usaha untuk menghidupkan kembali minat baca. Peran serta pemerintah bersama dengan lembaga-lembaga non-profit jadi kunci dalam merevitalisasi kebiasaan membaca.
Kita tidak harus menjadi orang pintar untuk menyukai buku dan membaca. Kita hanya perlu memiliki keingintahuan yang tak pernah padam dan kemauan untuk selalu belajar. Seperti kata penulis terkenal Jane Austen: "Entah bagaimana cara membaca saya, aku harus memiliki buku sekeras mungkin." Bukan jumlah buku yang kita baca yang mengubah kita, melainkan kedalaman bagaimana kita menyerap, merenung, dan bertindak sesuai dengan apa yang kita baca.
Oleh karena itu, mari kita mulai dari diri sendiri: menanamkan kembali kebiasaan membaca dalam keseharian kita. Menjadikan bukan hanya sebagai pencari pengetahuan, melainkan juga penggiat pengetahuan yang selalu siap membagikannya. Mari kita mulai membaca, bukan karena kita orang pintar, melainkan karena kita selalu ingin menjadi lebih baik, lebih luas wawasannya, dan lebih bijak dalam menapaki kehidupan yang terus berputar.
Dalam keseharian saat berbincang bincang dengan orang akan terlihat apakah orang tersebut suka membaca ataukah tidak.
Mengajak orang lain untuk ikutan gemar membaca? Susah buat saya, yang bisa saya lakukan ya paling lingkup keluarga saya sendiri.
Catatan Mas Bojreng sambil menunggu persiapan operasi cito
#myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng
No comments:
Post a Comment