Adik....
Mengingat akan kematianMengingat akan ibu hamil
Mengingat akan kelahiran
Kematian merupakan satu realitas yang pasti dihadapi oleh setiap makhluk hidup, termasuk manusia. Dalam Islam, kematian dipahami sebagai pengakhiran dari kehidupan dunia dan awal dari kehidupan yang kekal, yaitu kehidupan akhirat. Keunikan dari kematian adalah, ia tidak mengenal waktu, status, atau kekayaan. Semua manusia, tidak peduli seberapa kuat, kaya, atau berkuasa, akan menghadapi kematian ini.
Fenomena kematian adalah mengingatkan kepada kita bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara. Segala apa yang dimiliki di dunia tidak dapat dibawa ke dalam kubur. Posisi sosial, harta kekayaan, bahkan ilmu pengetahuan yang dikejar seumur hidup, semuanya akan tertinggal. Saat seseorang meninggal, yang dibawa hanyalah amal perbuatan selama di dunia yang akan diperhitungkan di akhirat.
Oleh karena itu, Islam mengajarkan bahwa sikap sombong dan hanya mementingkan diri sendiri adalah sikap yang tidak bijaksana. Sikap ini menunjukkan ketidakmengertian atas hakikat kehidupan bahwa suatu saat kita akan meninggalkan semuanya yang dimiliki. Sifat sombong dapat menghalangi seorang dari mengingat kematian dan akhirat, dan mendorongnya untuk terus tenggelam dalam nikmat fana dunia.
Rasulullah Muhammad SAW sering mengingatkan umatnya tentang pentingnya mengingat kematian. Beliau bersabda, "Ingatlah mati itu sering-sering, karena mati itu memutuskan segala kenikmatan dunia.” Mengingat kematian secara teratur bisa menjadi motivasi untuk bertobat, memperbaiki diri dan berbuat baik kepada sesama, karena kita tidak pernah tahu kapan ajal akan tiba.
Mengingat kematian juga menginspirasi untuk berlaku adil dan rendah hati. Ketika seorang Muslim menyadari bahwa kematian bisa datang kapan saja, maka itu memotivasi untuk tidak tertipu oleh kekuasaan sementara atau harta yang dimiliki. Selain itu, ini juga mengajarkan untuk selalu bersikap adil dan tidak bersikap semena-mena terhadap sesama, karena yang ternilai di hadapan Allah adalah ketaatan dan kondisi hati seseorang, bukan kekayaan atau status sosialnya.
Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman, “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga, maka sungguh, ia telah beruntung. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Surah Ali 'Imran, 3:185). Ayat ini memperjelas bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara dan apa yang paling penting adalah persiapan untuk kehidupan yang abadi di akhirat.
Kain kafan tidak berkantung, selalu terngiang ngiang di hati dan pikiran saya.
Ungkapan "kain kafan tidak berkantung" merupakan peribahasa yang penuh makna dalam tradisi Islami yang mengingatkan kita tentang kenyataan hakiki hidup dan mati. Ungkapan ini menggambarkan bahwa ketika seseorang meninggal, tidak ada apapun dari benda material yang bisa dibawa bersamanya ke alam baka. Semua harta, kekayaan, dan kepemilikan material yang telah dikumpulkan dan ditimbun di dunia ini akan terpisah saat ajal menjemput.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, ungkapan ini mengajak kita untuk tidak hanya berkutat dan terobsesi dengan pencarian materi atau uang. Meskipun kebutuhan akan materi dalam hidup ini tidak bisa diabaikan karena terkait erat dengan keberlangsungan hidup, Islam mengajarkan keseimbangan dalam segala aspek kehidupan. Seorang Muslim diingatkan untuk tidak melekatkan hati pada kekayaan yang bersifat sementara dan fana.
Rasulullah Muhammad SAW telah mengajarkan umatnya untuk menjalani hidup ini sebagai seorang musafir yang hanya berada di dunia untuk sementara waktu. Melalui hadis, kita diperingatkan untuk tidak terlalu asyik dengan dunia dan melupakan akhirat. Dengan mengingat kematian dan menyadari bahwa kekayaan dunia tidak bis dibawa ke akhirat, seorang Muslim diajak untuk selalu waspada dan mempersiapkan diri dengan berinvestasi pada amalan yang bermanfaat, seperti berzakat, bersedekah, dan membantu orang lain.
Mengingat kematian dan memahami bahwa "kain kafan tidak berkantung" juga mengajarkan kita untuk mengutamakan perkara yang lebih mendalam dan bermakna dalam hidup, yaitu hubungan dengan Allah, akhlak yang baik, dan hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Ini adalah investasi sejati yang akan berguna di akhirat nanti.
Penekanan pada nilai-nilai spiritual dan bukan materi ini tidak hanya memberikan perspektif yang lebih seimbang dan membebaskan manusia dari perbudakan materialisme, tetapi juga mengarahkan pada kepuasan yang lebih dalam dan kebahagiaan yang hakiki. Kematian mengajarkan kita untuk mengevaluasi ulang prioritas dan mengarahkan usaha ke arah yang lebih memuaskan secara rohani daripada sekadar pemuasan hasrat duniawi yang tidak pernah ada habisnya.
Maka, seharusnya sikap seorang Muslim adalah menghargai setiap momen tanpa kesombongan. Bersikap rendah hati dan selalu memperbaharui niat dan tindakan untuk mencapai ridha Allah. Peringatan tentang kematian dan kesementaraan dunia ini juga menuntun untuk lebih banyak beramal dan menghindari perbuatan yang dapat membuat kita menyesal di akhirat.
Dimana sombongmu? Dimana kekayaanmu? Akhirnya akan sendiri di lubang 2x1.
Refleksi menyentuh ini memang menjadi salah satu pelajaran mendalam dalam Islam dan juga banyak tradisi spiritual lainnya. Kematian, sebagai kebenaran yang universal dan tak terelakkan, memberi perspektif yang sangat jelas tentang kesementaraan dan kerendahan semua ambisi serta pencapaian dunia.
Dalam Islam khususnya, pertanyaan retoris seperti "Mana sombongmu? Mana kekayaanmu?" digunakan untuk menekankan bahwa pada akhirnya, semua status sosial, harta, dan kebanggaan duniawi tidak memiliki arti di hadapan kematian dan pengadilan akhir oleh Allah SWT. Sombong dan kekayaan, yang sering menjadi pusat kehidupan banyak orang, menjadi tidak berarti dan tidak bisa memberikan manfaat apapun di akhirat.
Ayat-ayat Al-Qur'an sering kali mengingatkan tentang kenyataan ini, misalnya dalam Surah An-Naba (78:38), yang menggambarkan hari ketika roh dan malaikat akan berdiri dalam barisan, tidak berbicara, kecuali orang yang diizinkan Allah dan yang akan mengatakan yang benar. Ini adalah gambaran bahwa pada Hari Penghakiman, tidak ada tempat bagi kedudukan atau kekayaan untuk mengubah keputusan Allah.
Sehingga, mengingat kematian dan ketidakberdayaan manusia di hadapan Tuhan mengajak kita untuk hidup dengan kerendahan hati. Kematian mengajarkan untuk memprioritaskan apa yang benar-benar penting: amal sholeh, etika, kasih sayang kepada sesama, dan pengejaran kebenaran dan kebaikan. Kematian mengajak kita untuk memikirkan kembali cara kita berinteraksi dengan orang lain dan dengan dunia di sekitar kita.
Oleh karena itu, Islam mengajarkan umatnya untuk tidak terpaku pada materi semata, tetapi lebih mengutamakan pengembangan spiritual dan kontribusi positif dalam komunitas. Mengingat kematian secara berkala adalah latihan untuk membersihkan hati dari keegoisan dan kesombongan—untuk tidak hanya mempertajam fokus spiritual tapi juga untuk berinteraksi dengan dunia dengan cara yang lebih berarti dan bertanggung jawab. Kematian mengingatkan kita semua bahwa pada akhirnya, apa yang kita bawa bukanlah kekayaan material tetapi kondisi rohani dan amalan kita.
Jadi kematian adalah suatu kepastian yang menantikan kita semua. Mengingat kematian seharusnya membuat kita lebih memaknai hidup, berbuat baik kepada sesama, dan menjalankan perintah agama dengan lebih serius. Kematian tidak mengenal kasta atau kekayaan, mengajarkan kita tentang kesetaraan hakiki antara semua manusia di hadapan penciptanya. Oleh karena demikian, berlakulah dengan kerendahan hati dan berpusat pada apa yang dapat kita bawa kelak dalam kubur, yaitu amal dan perbuatan baik kita.
Pengingat diri pada dini hari tadi.
Catatan Mas Bojreng
#mati #kematian #hidup #kehidupan #death #dead #life #lifequotes #moslem #muslim #myselfreminder #catatanmasbojreng #masbojreng
No comments:
Post a Comment